Dampak Cahaya Buatan untuk Wisata Malam di Kawasan Konservasi Diteliti
Potensi wisata malam dikembangkan di sejumlah kawasan konservasi di Indonesia. Karena itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional meneliti dampak cahaya buatan saat malam hari terhadap ekosistem di area tersebut.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wisata malam di kebun raya atau taman hutan berkembang di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Namun, kegiatan wisata malam yang memakai cahaya buatan ini dikhawatirkan berdampak negatif terhadap eksosistem tumbuhan dan hewan di area konservasi alam tersebut.
Untuk menyusun panduan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah bagi pengelola kebun raya, Badan Riset dan Inovasi Nasional menggelar riset untuk memastikan dampak aktivitas malam bagi ekosistem di suatu kawasan konservasi.
Pelaksana Tugas Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Hayati, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Iman Hidayat di acara Sapa Media bertajuk ”Riset Ekofisiologi di Kebun Raya Bogor” yang digelar BRIN, Jumat (31/12/2021), mengatakan, di luar negeri, wisata malam di kebun raya atau taman hutan jadi daya tarik.
Di Indonesia, sejumlah lokasi, seperti Taman Hutan Raya Djuanda di Bandung, Jawa Barat, sudah menggelar wisata malam pada tahun 2021. Hal ini menjadi tantangan bagi peneliti konservasi untuk melihat sejauh mana dampak cahaya buatan terhadap fungsi fisiologi pertumbuhan tumbuhan dan hewan.
”Dinamika akhir-akhir ini terkait wisata malam di kebun raya cukup menjadi perbincangan. BRIN berinisiatif mulai melakukan kajian ilmiah bagaimana pengaruh aktivitas manusia dan lingkungan (polusi udara, suara, cahaya) terhadap tumbuhan dan hewan yang hidup di suatu ekosistem,” kata Iman.
Seperti diketahui, Kebun Raya Bogor berencana menggelar wisata malam bertajuk ”Glow Kebun Raya”. Ada instalasi cahaya buatan yang ditengarai bisa berdampak negatif terhadap ekosistem di Kebun Raya sebagai tempat konservasi tumbuhan dan hewan.
Iman menambahkan, BRIN sudah lama tidak meneliti pengaruh lingkungan terhadap eksosistem hewan dan tumbuhan. Selama ini riset ekologi sering dilakukan di kawasan hutan alam terkait pengaruh lingkungan, seperti perubahan suhu dan pengaruh lainnya yang sifatnya alami oleh aktivitas manusia seperti pembukaan lahan di kawasan Kalimantan.
”BRIN sebagai lembaga ilmiah harus bisa menyampaikan kepada masyarakat secara terbuka berdasarkan bukti ilmiah dan dampaknya supaya bisa dipertanggungjawabkan, dan tidak berdasarkan kira-kira untuk mengatakan dampak aktivitas di kebun raya terhadap ekosistem tumbuhan dan hewan di sana,” kata Irman.
Menurut Iman, ada riset khusus yang dilakukan di Kebun Raya Bogor. Nantinya hasil riset itu dijadikan basis bagi pengelola taman/kebun raya untuk membuat kebijakan dan batasan dalam menyelenggarakan layanan wisata tipe ini.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Deputi Bidang Infrastruktur Riset dan Inovasi BRIN Yan Rianto memaparkan, ada lima kebun raya nasional di bawah BRIN dan akan bertambah. Kebun Raya Puspitek Serpong, Banten, dan di Kota Kebumen, Jawa Tengah, serta daerah lain akan dibuka.
”Di kebun raya atau taman hutan ada fungsi konservasi, penelitian, edukasi, dan jasa lingkungan. Kita membutuhkan data empiris di lapangan, dari hasil pengukuran dan riset di Kebun Raya Bogor, termasuk kebun raya daerah, supaya bisa jadi referensi bagi BRIN dalam pengembangan kebun raya lain,” ujar Yan.
Ada tiga penelitian terkait dampak cahaya malam buatan atau sering disebut ALAN (artificial light at night) yang digunakan, salah satunya untuk wisata malam di kebun raya atau kawasan konservasi lain. Riset dilakukan di Kebun Raya Bogor untuk dijadikan rujukan bagi lokasi konservasi lainnya.
Yayan Kusuma, Peneliti di Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya, BRIN, mengutarakan, Kebun Raya Bogor terletak di tengah kota sehingga terdampak sinar malam buatan dari luar ataupun dalam kebun raya. Cahaya buatan pada malam hari berpotensi mengganggu siklus alami dari terang dan gelap yang bisa menimbulkan dampak pada level bioma, ekosistem, spesies, dan perilaku.
”Penelitian mengenai dampak cahaya malam pada ekofisiologis tumbuhan yang ada di Kebun Raya Bogor dilakukan dalam waktu cukup panjang, sekitar 6 bulan. Seberapa dampak cahaya malam atau ALAN dengan intensitas banyak, sedikit, dan sedang pada beberapa jenis tumbuhan dewasa dan anakan,” kata Yayan.
Didit Pribadi, peneliti lain di BRIN, akan mengkaji dampak cahaya malam buatan pada kesehatan tumbuhan. ”Dampak cahaya buatan di kebun raya sebagai area konservasi di perkotaan tidak hanya terkait wisata. Pertumbuhan kota membuat paparan cahaya malam buatan jadi masif. Dari riset ini akan menjadi panduan pengelolaan kebun raya ke depan,” ujarnya.
Dampak cahaya buatan di kebun raya sebagai area konservasi di perkotaan tidak hanya terkait wisata. Pertumbuhan kota membuat paparan cahaya malam buatan jadi masif.
Sementara Encilia, peneliti di Pusat Riset Biologi BRIN atau Tim Peneliti Zoologi akan meneliti pengaruh ALAN terhadap populasi dan komunitas serangga di Kebun Raya Bogor. Jumlah serangga paling banyak dibandingkan fauna jenis lain di kebun raya. Selain itu ada sensitivitas serangga terhadap ALAN.
Meski cahaya malam buatan ini bisa berdampak, itu dinilai bukan menjadi faktor satu-satunya perubahan ekosistem tumbuhan dan hewan di sekitarnya. Jadi perlu riset panjang untuk mendapat rekomendasi yang tepat dan bisa menyeimbangkan kebutuhan konservasi serta perkembangan wisata malam.
Sejumah riset ini untuk memberi rekomendasi ilmiah nasional mengenai pengelolaan lokasi tempat tumbuh konservasi. Pengelolaan cahaya buatan perlu diketahui standarnya dan dampaknya terhadap ekosistem, perubahan iklim, dan mutu udara.
”Riset mengenai ALAN mulai marak belakangan ini. Semakin disadari kita butuh ruang terbuka hijau untuk mendorong jasa lingkungan, yakni serapan karbon dan polusi. Kalau tanaman tidak sehat, jadi tidak fungsional secara ekologi. Riset ini untuk memastikan bagaimana merekomendasi bagi spesies yang rentan, mau dibuka berapa hari, hingga panjang gelombang yang dipakai agar tumbuhan tetap sehat,” kata Didit.