Masa Natal dan Tahun Baru Jadi Momentum Perkuat Penanganan Pandemi
Masa libur, termasuk Natal dan Tahun Baru, selalu diiringi peningkatan mobilitas masyarakat dan berisiko mendorong lonjakan kasus Covid-19. Perlu pengawasan dan pembatasan ketat untuk mengantisipasi hal tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Sekalipun sudah ada imbauan mengurangi mobilitas selama masa Natal dan Tahun Baru, tidak sedikit warga yang masih berencana bepergian selama periode tersebut. Berbagai aturan pun diterbitkan untuk mengantisipasi dampak dari peningkatan mobilitas pada akhir tahun.
Berdasarkan survei yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan, potensi pergerakan masyarakat selama periode Natal dan Tahun Baru mencapai 7,1 persen atau sekitar 11 juta orang. Khusus di wilayah Jabodetabek, potensi pergerakannya sebesar 2,3 juta orang.
Potensi pergerakan masyarakat itu juga terlihat dari hasil jajak pendapatLitbang Kompas. Sebanyak 18,7 persen dari responden berencana melakukan perjalanan selama masa Natal dan Tahun Baru. Dari responden yang berencana untuk bepergian itu, alasannya antara lain karena merasa aman sudah divaksinasi, sudah merupakan tradisi untuk liburan selama Natal dan Tahun Baru, serta merasa pandemi Covid-19 sudah tidak berbahaya.
Terkait hal itu, Ketua Ikatan Ahli Masyarakat Indonesia Ede Surya Darmawan, Selasa (21/12/2021), mengatakan, transmisi virus Sars-CoV-2 penyebab Covid-19 masih terjadi di tengah masyarakat. Meskipun kasus baru yang dilaporkan saat ini masih terbilang rendah, potensi penularan masih ada. Mobilitas yang meningkat bisa menyebabkan penularan meluas.
Baca Juga: Antara Penyekatan dan Pembatasan Libur Natal dan Tahun Baru
”Kemampuan deteksi kita masih belum optimal. Maka, yang paling memungkinkan adalah menjalankan protokol kesehatan, termasuk membatasi mobilitas orang dan menghindari kerumunan. Seseorang berpotensi menjadi pembawa virus sehingga akan berbahaya ketika bertemu dengan orang lain di daerah yang tingkat vaksinasinya masih rendah,” tuturnya saat dihubungi di Jakarta.
Menurut Ede, kasus baru varian Omicron yang telah teridentifikasi di Indonesia perlu menjadi pengingat untuk meningkatkan kewaspadaan penularan Covid-19. Lonjakan kasus akibat varian tersebut tentu tidak diharapkan terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, upaya pemerintah untuk meningkatkan deteksi, karantina, dan pembatasan pergerakan masyarakat amat diperlukan.
Pengetatan aturan pengendalian Covid-19 harus diberlakukan ketika laporan kasus baru mulai meningkat. Pengawasan pada potensi kerumunan juga perlu diperkuat. Pemerintah daerah pun diharapkan sigap mengeluarkan aturan baru yang lebih tegas apabila ada peningkatan kasus di daerahnya.
Seseorang bisa berpotensi menjadi pembawa virus sehingga akan berbahaya ketika bertemu dengan orang lain di daerah yang tingkat vaksinasinya masih rendah.
Kasus baru
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyampaikan, dua pasien terkonfirmasi positif varian Omicron kembali terdeteksi di Indonesia. Dengan begitu, total kasus positif varian Omicron di Tanah Air kini menjadi lima kasus.
Satu kasus di antaranya merupakan kontak erat dari kasus positif M, yang baru tiba dari Inggris. Sementara satu kasus lainnya merupakan pelaku perjalanan luar negeri dari Inggris, tetapi berbeda pesawat dengan kasus sebelumnya.
Pelacakan dan pemeriksaan pada kontak erat terus dilakukan agar kasus baru Omicron bisa segera terdeteksi. Selain itu, karantina kepada pelaku perjalanan luar negeri yang tiba di Indonesia juga harus dipastikan dijalani dengan baik.
Baca Juga: Waspadai Omicron, Warga Diimbau Tak ke Luar Negeri
”Daerah-daerah yang menjadi pintu masuk negara, baik udara, laut, dan darat, harus tegas melaksanakan karantina untuk dimonitor bersama, termasuk masyarakat yang akan keluar dari wilayah Indonesia melalui perbatasan darat,” ujar Nadia.
Dalam laman resmi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia disebutkan, kewaspadaan perlu ditingkatkan pada penularan varian Omicron. Varian tersebut telah ditetapkan sebagai variant of concern (VOC) oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Varian Omicron dinyatakan memiliki potensi penyebaran yang lebih cepat dibandingkan dengan varian lain.
Meskipun penelitian sementara menunjukkan gejala yang muncul dari penularan varian ini tergolong ringan, risiko reinfeksi atau terjadi infeksi kembali terhadap orang yang sudah pernah tertular Covid-19 bisa terjadi. Selain itu, sebagian besar orang yang tertular juga sudah divaksinasi.
Namun, vaksinasi tetap diperlukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya gejala yang lebih berat hingga kematian. Perlindungan lewat vaksinasi ini terutama diperlukan bagi kelompok rentan, seperti lansia dan masyarakat dengan komorbid (penyakit penyerta).
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, upaya pengendalian Covid-19 harus dilakukan secara komprehensif. Pembatasan dan pengawasan pada pintu masuk negara terus diperkuat. Selain itu, pelacakan, tes, dan vaksinasi juga ditingkatkan dan diperluas.
Masyarakat diimbau terus disiplin menjalankan protokol kesehatan. Vaksinasi harus dipahami sebagai salah satu upaya untuk mengurangi risiko penularan Covid-19, bukan satu-satunya cara untuk mencegah penyakit menular tersebut.
”Perlu diperhatikan bahwa netralisasi virus pasca-infeksi dan imunisasi bisa menurun terhadap Omicron dibandingkan varian lain sehingga ada kemungkinan besar beberapa orang yang sudah divaksinasi lengkap ataupun booster tetap tertular Omicron,” tuturnya.
Baca Juga: 11 Juta Orang Berpotensi Bepergian Selama Libur Natal-Tahun Baru
Hal serupa disampaikan Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito. Menurut dia, vaksinasi bukan faktor tunggal pencegahan Covid-19. Hal itu dibuktikan dari kasus penularan yang terjadi di luar negeri. Amerika Serikat memiliki cakupan vaksinasi dosis lengkap sebesar 61 persen. Begitu pula dengan Korea Selatan yang memiliki cakupan vaksinasi dosis lengkap hingga 92 persen. Namun, kedua negara itu tetap mengalami kenaikan kasus, terutama dengan adanya penularan dari varian Omicron.
”Vaksin memang besar manfaatnya untuk mencegah keparahan hingga kematian, tetapi penularan hanya dapat dicegah dengan disiplin protokol kesehatan dan kebijakan pelaku perjalanan internasional yang tepat,” ujar Wiku.
Oleh karena itu, ia mengatakan, protokol kesehatan masyarakat harus terus ditingkatkan. Saat ini masih ada 1.948 desa/kelurahan atau 22,69 persen desa atau kelurahan yang dilaporkan tidak patuh memakai masker dan 23,24 persen desa/kelurahan yang tidak patuh menjaga jarak.
Antisipasi lonjakan kasus
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyampaikan, sejumlah aturan akan diterbitkan untuk mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19 selama periode Natal dan Tahun Baru. Aplikasi Peduli Lindungi akan semakin intensif digunakan untuk mengawasi pergerakan masyarakat.
Ia menambahkan, Operasi Lilin mulai dilaksanakan pada 24 Desember 2021 sampai 2 Januari 2022. Kegiatan pra-operasi juga sudah dilakukan tujuh hari sebelum pelaksanaan Operasi Lilin dan tujuh hari setelah Operasi Lilin dilaksanakan. Jumlah petugas pengawasan untuk mengantisipasi pergerakan masyarakat juga ditambah di semua area yang berpotensi menimbulkan kerumunan, seperti mal, restoran, jalan tol, dan tempat wisata.
”Pemerintah juga akan menjalankan komunikasi publik yang baik dan efektif dengan narasi tunggal bahwa pemerintah melaksanakan kebijakan ini untuk mencegah gelombang penularan Covid-19 berikutnya, terutama dengan munculnya varian baru Omicron,” tutur Muhadjir.
Baca Juga: Volume Kendaraan Kembali Normal, Jasa Marga Siapkan Skenario Libur Akhir Tahun
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menambahkan, pemerintah saat ini masih mengimbau masyarakat untuk tidak melakukan perjalanan ke luar negeri sebagai bentuk pencegahan masuknya varian Omicron. Aturan untuk pelaku perjalanan luar negeri juga belum berubah. Selain syarat tiga kali hasil negatif pemeriksaan PCR, pelaku perjalanan diwajibkan pula melakukan karantina selama 14 hari.
”Namun, akan ada kemungkinan, jika akhirnya ada kenaikan kasus di Indonesia, mereka yang pulang dari luar negeri harus menjalani karantina selama 14 hari. Oleh karena itu, sebaiknya menunda dulu ke luar negeri terutama jika tidak mendesak,” ujarnya.
Dari Surat Edaran Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 25 Tahun 2021 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional pada Masa Pandemi Covid-19, ada 11 negara yang sementara ditutup untuk masuk ke Indonesia. Negara tersebut adalah Afrika Selatan, Botswana, Hong Kong, Angola, Zambia, Zimbabwe, Malawi, Mozambique, Namibia, Eswatini, dan Lesotho. Khusus WNI yang tiba dari negara tersebut tetap diperbolehkan masuk ke Indonesia, tetapi diwajibkan karantina selama 14 hari.
Sebagai pembaruan, ada tiga negara tambahan yang untuk sementara dilarang masuk ke Indonesia, yakni Inggris, Norwegia, dan Denmark. Larangan yang sebelumnya berlaku untuk pelaku perjalanan dari Hong Kong dihapuskan.