Meminta maaf dan memberi maaf perlu diajarkan sejak dini kepada anak. Ini membantunya untuk mengurangi konflik serta memahami perspektif orang lain.
Oleh
Ichwan Susanto
·3 menit baca
Memberi maaf ataupun sebaliknya, meminta maaf, mungkin merupakan hal sulit untuk dilakukan kebanyakan orang meskipun hal itu sangat dianjurkan. Perilaku baik itu penting ditanamkan dan diajarkan kepada anak sejak dini.
Hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa mengajarkan anak untuk memahami perspektif orang lain dapat mempermudahnya untuk belajar memaafkan orang lain. Temuan lain dari studi tersebut, dengan mengajari anak-anak untuk meminta maaf secara tulus, dapat membantu mereka menerima pengampunan dari orang lain.
Studi berjudul ”Peran Teori Pikiran, Keanggotaan Kelompok, dan Permintaan Maaf dalam Pengampunan Antar Kelompok di Antara Anak-anak dan Remaja”, diterbitkan dalam Journal of Experimental Psychology: General.
”Pengampunan penting pada anak-anak dan orang dewasa untuk memulihkan hubungan dan membatasi konflik di masa depan,” kata Kelly Lynn Mulvey, penulis utama studi dan profesor psikologi di North Carolina State University, dalam siaran pers kampus tersebut, Rabu (8/12/2021).
Permintaan maaf perlu menjelaskan bahwa seseorang mengerti mengapa apa yang mereka lakukan salah.
Meski tahu hal itu penting, para peneliti tersebut mengakui tidak tahu banyak tentang apa yang membuat anak-anak lebih cenderung memaafkan orang lain, terutama dari masa kanak-kanak hingga remaja. Inilah yang coba diungkap melalui penelitian mereka.
Untuk itu, Mulvey dan kolaboratornya meminta partisipasi 185 anak berusia 5-14 tahun, dalam penelitian ini. Peneliti mewawancarai secara mendalam setiap anak serta mengumpulkan informasi latar belakang dan menilai keterampilan ”teori pikiran” anak. Theory of mind adalah kemampuan Anda untuk memahami bahwa keyakinan, niat, dan keinginan orang lain berbeda dari Anda sendiri.
Peneliti kemudian membawa setiap anak melalui serangkaian skenario yang melibatkan anak-anak lain secara in group dan out group. Secara khusus, setiap peserta studi diberi tahu bahwa mereka bagian dari kelompok, seperti tim hijau.
Selama wawancara, peneliti menggambarkan beberapa anak dalam skenario seperti berada di tim hijau (membuat mereka in group), sementara anak-anak lain dalam skenario berada di tim kuning (membuat mereka out group). Dalam setiap skenario, pewawancara bertanya kepada peserta studi apakah mereka bersedia memaafkan kelompok yang meninggalkan mereka dari permainan atau aktivitas.
Hasil temuan
Ada tiga temuan utama yang menarik. Pertama, anak-anak lebih cenderung memaafkan seseorang jika mereka telah meminta maaf. Kedua, anak-anak lebih mungkin untuk memaafkan orang-orang yang ”dalam kelompok atau in group”. Ketiga, semakin maju keterampilan ”teori pikiran” seorang anak, semakin besar kemungkinan mereka untuk memaafkan orang lain.
”Kami menemukan bahwa anak-anak memiliki kemampuan canggih untuk memaafkan orang lain. Anak-anak mampu memulihkan hubungan dengan orang lain dan biasanya tertarik untuk melakukannya,” kata Mulvey.
Para peneliti mengidentifikasi dua hal yang orangtua dan guru mungkin ingin fokuskan terkait dengan pengampunan. Salah satunya adalah membantu anak-anak memahami betapa pentingnya meminta maaf dengan cara yang berarti atau tulus.
”Anak-anak mampu membedakan permintaan maaf yang tidak tulus. Permintaan maaf yang tidak tulus ini tidak kondusif mendorongnya untuk memberikan pengampunan,” kata Mulvey.
Permintaan maaf perlu menjelaskan bahwa seseorang mengerti mengapa yang mereka lakukan salah. Ini, pada gilirannya, membuat anak-anak lain lebih mungkin memberi mereka kesempatan kedua.
Area fokus kedua adalah membantu anak-anak memahami perspektif orang lain, bahkan jika mereka berbeda dari Anda. ”Salah satu implikasi terbesar dari penelitian kami adalah bahwa guru dan orang tua perlu secara aktif membantu anak-anak mengembangkan teori keterampilan pikiran,” kata Mulvey.
”Titik awal yang baik adalah membuat anak-anak menjelaskan alasan di balik tindakan mereka dan bagaimana perasaan orang lain. Membantu kaum muda mengembangkan keterampilan ini di masa kanak-kanak akan membantu mereka dalam menavigasi dunia yang beragam dan kompleks.”
Agustine Dwiputri, psikolog klinis dari Fakultas Psikologi Indonesia dalam tulisannya berjudul Meminta Maaf, Mudahkah? (24 Juli 2021) pun menyebutkan pandangan Juliana Breines (2013), psikolog sosial dan kesehatan, yang mengatakan bahwa permintaan maaf yang tulus dapat membantu menghilangkan permusuhan, mendorong pemaafan, dan memperbaiki relasi yang rusak.
Namun, meminta maaf secara tulus tak semudah itu dilakukan. Secara alami manusia memiliki pertahanan psikologis untuk menghadapi kemungkinan bahwa diri kita salah.
Meski tak mudah, setidaknya itu bisa dicoba daripada tidak sama sekali. Setidaknya diajarkan kepada anak sedini mungkin.