Riset Pengurangan Risiko Rokok Belum Banyak Digarap
Riset tentang upaya mengurangi risiko rokok di Indonesia dinilai belum signifikan. Padahal, ada sejumlah potensi riset dan inovasi yang bisa dikembangkan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Riset pengurangan risiko kesehatan dan lingkungan di Indonesia dinilai belum signifikan. Padahal, ada sejumlah riset yang potensial, seperti riset pengurangan risiko rokok. Perguruan tinggi didorong berpartisipasi untuk menghasilkan penelitian inovatif.
Penelitian untuk mengurangi risiko rokok penting mengingat besarnya jumlah perokok. Diperkirakan ada 65,7 juta perokok dengan 270.000 kematian akibat penyakit yang berhubungan dengan merokok. Sebanyak 70 persen laki-laki di Indonesia pun diperkirakan perokok. Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi perokok di Indonesia 33,8 persen.
Walau berdampak buruk bagi kesehatan, merokok sulit dihentikan karena menyebabkan kecanduan dan karena telah ”membudaya”. Kebiasaan merokok dikenal di Jawa sejak abad ke-17. Pada awal abad ke-17, tembakau telah ditanam di seluruh Nusantara. Merokok sebagai kebiasaan penyegar pikiran pun mulai diterima secara luas sejak saat itu (Kompas, 8/1/1988).
Produk tembakau yang dipanaskan (tobacco heating system/THS) memang tidak 100 persen aman bagi kesehatan, tetapi relatif lebih aman dari rokok konvensional. (M Khotib)
Mantan Direktur Kebijakan Riset Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tikki Elka Pangestu, Rabu (8/12/2021), mengatakan, kini ada produk tembakau alternatif (PTA) yang risiko kesehatannya lebih rendah dari rokok konvensional. Beberapa di antaranya snus atau nikotin bubuk serta produk tembakau yang dipanaskan atau HNB (heat-not-burn).
”Risiko kesehatan PTA 90-95 persen lebih rendah dari rokok yang dibakar. PTA juga lebih efektif dari NRT (nicotine replacement therapy) untuk berhenti merokok,” kata Tikki pada diskusi daring Peranan Universitas dalam Mendorong Inovasi dan Mengurangi Risiko Kesehatan dan Lingkungan.
Penggunaan PTA didukung sejumlah negara untuk menurunkan prevalensi merokok, seperti Inggris, Selandia Baru, dan Jepang. Tikki menambahkan, PTA turut andil dalam penurunan penjualan rokok.
Kendati demikian, inovasi PTA di Indonesia di Indonesia terkendala riset yang terbatas. Ini berpengaruh ke persepsi publik soal PTA yang dinilai sama-sama berbahaya dengan rokok konvensional.
Kepala Laboratorium Jasa Pengujian Kalibrasi dan Sertifikasi IPB University M Khotib mengatakan, produk tembakau yang dipanaskan (tobacco heating system/THS) melepaskan komponen kimia yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan rokok yang dibakar. Kadar senyawa toksik pada THS, seperti nitrogen dioksida dan belerang dioksida, turun 80-90 persen dibandingkan dengan rokok konvensional.
”THS memang tidak 100 persen aman bagi kesehatan, tetapi relatif lebih aman dari rokok konvensional. Semoga penelitian ini bisa ditindaklanjuti di Indonesia,” kata Khotib.
Peluang riset
Peluang riset pengurangan risiko rokok masih terbuka luas. Menurut Khotib, teknologi filtrasi pada rokok bisa diteliti sehingga ada inovasi untuk mengurangi dampak rokok bagi kesehatan. Peluang inovasi membran rokok yang minim asap juga ada.
Sementara itu, dosen farmakokimia Institut Teknologi Bandung, Rahmana Emran Kartasasmita, mengatakan, pihaknya sedang melakukan kajian literatur tentang perbedaan dampak PTA dengan rokok konvensional. Kajian itu mencakup pula identifikasi dan perhitungan sumber bahaya dalam asap rokok konvensional dan uap produk THS.
”Produk itu (PTA) sudah masuk ke Indonesia secara terbatas. Karena itu, penelitian dan kajian literatur ilmiah perlu dilakukan. Penelitian bertujuan untuk mempelajari aspek keamanan, kehalalan, dan manfaat produk untuk publik,” tutur Rahmana.
Penelitian pengurangan risiko rokok ini mesti dilakukan berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi. Dunia pendidikan pun didorong bekerja sama dengan dunia industri untuk melakukannya. Penelitian juga mendorong mahasiswa untuk mengamati dan terlibat langsung dengan isu nyata di masyarakat.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim mengatakan, pemerintah menyediakan program riset gabungan agar perguruan tinggi dan industri bisa berkolaborasi. Peluang penelitian pun semakin terbuka dengan program Kampus Merdeka.
”Dengan Kampus Merdeka, peran perguruan tinggi akan semakin besar dan bermakna dalam upaya membawa perubahan. Perguruan tinggi akan berperan aktif mengurangi risiko isu yang dihadapi sekarang dan di masa depan,” katanya.