Bahaya Kolateral Gunung Semeru yang Luput Diantisipasi
Erupsi Gunung Semeru bersamaan dengan hujan lebat mengikis tumpukan material di sekitar mulut kawah, memicu awan panas guguran dan banjir lahar yang tak dapat diantisipasi. Bencana alam itu menimbulkan banyak korban.
Oleh
Ahmad Arif
·6 menit baca
Erupsi Gunung Semeru pada Sabtu (4/12/2021) tidak didahului kegempaan kuat yang biasanya menandai akan terjadinya letusan magmatis besar sehingga tidak ada kenaikan status bahaya dan peringatan dini. Namun, erupsi yang bersamaan hujan lebat ini mengikis tumpukan material di sekitar mulut kawah, memicu awan panas guguran dan banjir lahar dahsyat yang tak terantisipasi.
Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Senin (6/12) pukul 17.30 WIB, bencana ini mengakibatkan 22 orang meninggal. ”Korban di Kecamatan Pronojiwo 14 orang, di Kecamatan Candipuro delapan orang,” kata Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari, saat konferensi pers daring.
Selain itu, masih terdapat 27 korban hilang. Korban meninggal terutama terjadi di Dusun Renteng, Desa Sumber Wuluh, Kecamatan Candipuro, dan Desa Curah Kobokan, Kecamatan Pronojiwo. Masing-masing ada di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Sebagian korban ditemukan terkubur di rumahnya, lainnya di sekitar sungai.
Menurut Muhari, total masyarakat terdampak, baik dampak langsung dari guguran awan panas ataupun dampak debu vulkanik mencapai 5.205 di 8 kecamatan. Sementara jumlah pengungsi di 19 titik mencapai 2.004 jiwa.
Tanpa peringatan
Gunung Semeru sebenarnya sudah berulang kali erupsi, termasuk pada awal Desember 2020 yang guguran awan panasnya juga mencapai 11 kilometer. Namun, letusan saat itu tidak memicu dampak sebesar kali ini.
Gunung ini juga sudah menyandang status Waspada atau Level 2 sejak Mei 2012 atau sembilan tahun silam. Dengan status ini, rekomendasi yang dikeluarkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi-Badan Geologi adalah warga tidak beraktivitas dalam radius 1 km dari kawah atau puncak Gunung Semeru dan jarak 5 km arah bukaan kawah di sektor tenggara-selatan.
Masyarakat juga diminta mewaspadai awan panas guguran, guguran lava dan lahar di sepanjang aliran sungai atau lembah yang berhulu di puncak Gunung Semeru. Dalam status Waspada inilah gunung Semeru setinggi 3.676 meter dari permukaan laut atau tertinggi di Pulau Jawa menelan banyak korban.
”Letusan kali ini tidak didahului peringatan dini atau kenaikan status gunung. Status Semeru tetap Waspada dan warga beraktivitas seperti biasa,” kata Maryanto (42), anggota Kobar Semeru, kelompok sukarelawan yang tinggal di Pasru Jambi, Kecamatan Pasru Jambi, Kabupaten Lumajang, sekitar enam kilometer dari Desa Curah Kobokan, yang terdampak paling parah.
Maryanto menuturkan, warga sekitar lereng Semeru sebetulnya sudah membentuk tim siaga desa dan pemantau aliran sungai untuk antisipasi bahaya. ”Namun, tidak ada tanda-tandanya, tidak terasa getaran gempa bumi. Jadi benar-benar tidak ada yang menyangka,” ujarnya.
Sutari (70), salah satu tim pemantau aliran sungai dari Desa Curah Kobokan, yang selamat dari erupsi kali ini, menuturkan, ada jeda sekitar 10 menit setelah hujan abu pertama. Namun, sebagian orang memang tidak menyangka bahwa hujan abu kali ini akan diikuti awan panas guguran yang besar yang melimpas hingga ke desa mereka.
Letusan kali ini tidak didahului peringatan dini atau kenaikan status gunung. Status Semeru tetap Waspada dan warga beraktivitas seperti biasa.
Kepala PVMBG-Badan Geologi Andiani, dalam keterangan pers, pada Minggu (5/12/2021) mengatakan, status Semeru tetap Waspada karena sebelum erupsi pada Sabtu itu tidak ada tanda-tanda peningkatan aktivitas gunung ini yang signifikan.
Koordinator Kelompok Mitigasi Gunung Api PVMBG Kristianto menjelaskan, tidak adanya kenaikan jumlah dan jenis gempa sebelum erupsi itu menunjukkan tidak ada suplai magma ke permukaan. Selain pemantauan gempa bumi, Semeru dipantau memakai Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR) yang berdasarkan data satelit Radar Sentinel, tetapi di Semeru tidak ada EDM yang biasa dipakai untuk memantau deformasi.
”Dari data satelit memang sejak Agustus ada inflasi (penggembungan) gunungnya. Namun, ini tidak diimbangi dengan peningkatan kegempaan,” kata dia.
Pada periode 1-30 November 2021, jumlah dan jenis gempa yang terekam di Semeru masih didominasi gempa-gempa permukaan. Itu meliputi, antara lain, berupa gempa letusan dengan rata-rata 50 kejadian per hari. Bahkan, gempa guguran pada 1 dan 3 Desember 2021 cenderung menurun, masing-masing empat kali.
Gempa-gempa vulkanik dalam, vulkanik dangkal, dan tremor, yang mengindikasikan kenaikan magma ke permukaan terekam dengan jumlah sangat rendah. Ini membuat PVMBG tidak beranggapan bahwa Semeru bakal erupsi besar.
Dengan parameter ini, potensi ancaman bahaya erupsi Gunung Semeru lebih berupa lontaran batuan pijar di sekitar puncak. Namun pada pukul 14.50 WIB terjadi erupsi yang terekam di seismograf Pos Pemantauan Semeru dengan amplitudo maksimum 25 mm dan durasi 5.160 detik. Dibandingkan erupsi tahun 2020 lalu, menurut Kristianto, kekuatan erupsi kali ini sebenarnya relatif sama dengan jangkauan awan panas guguran juga relatif sama, sekitar 11 kilometer dari puncak.
Bahaya sekunder
Ahli Vulkanologi Institut Teknologi Bandung Mirzam Abdurrachman menjelaskan, ada tiga faktor penyebab gunung api meletus. Pertama, karena volume di dapur magmanya sudah penuh. Kedua, ada longsoran di dapur magma yang disebabkan terjadinya pengkristalan magma. Ketiga, ada aktivitas di atas dapur magma.
Menurut Mirzam, faktor ketiga ini yang sepertinya terjadi di Semeru. Ketika curah hujan cukup tinggi, abu vulkanik yang menahan di puncak gunung ini terkikis oleh air, sehingga gunung api kehilangan beban dan kemudian erupsi. Hal ini menyebabkan warga tidak merasakan guncangan gempa sebelumnya, namun sebenarnya hal ini bisa terekam di alat PVMBG.
Geolog dan Direktur Pusat Penelitian Penanggulangan Bencana Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta Eko Teguh Paripurno mengatakan, erupsi Semeru yang terjadi bersamaan dengan hujan ini kemudian meruntuhkan bekas material bekas letusan sebelumnya yang tertumpuk di dekat mulut kawah, yang lalu menggelinding jadi banjir lahar melalui aliran sungai.
Menurut Eko Teguh, awan panas guguran yang melanda desa-desa di Semeru kali ini, termasuk awan panas sekunder, yang berbeda dengan aliran awan panas Gunung Merapi yang terbentuk dari runtuhnya kubah saat letusan 2010.
"Awan panas primer di Merapi lebih panas dan merusak, selain material yang dibawa lebih besar dan bertekanan tinggi. Sementara awan panas sekunder suhu dan tekanannya lebih rendah. Ini yang menyebabkan rumah-rumah yang rusak di Semeru tidak ada bekas hangus terbakar," katanya.
Namun awan panas guguran yang terbawa angin di Semeru menjadi mematikan karena air hujan yang terjadi menambah berat jenisnya. Atap-atap rumah warga yang tertimbun abu bercampur air hujan pun banyak yang runtuh dan menimbun penghuninya.
Eko menambahkan, banjir lahar di Semeru sebenarnya merupakan bahaya sekunder yang disebabkan hujan. Namun, aliran lahar menjadi panas karena bercampur dengan material erupsi yang baru saja keluar yang kemudian merobohkan sejumlah jembatan.
Kristianto mengutarakan, sejauh ini sistem mitigasi gunung api belum memperhitungkan bahaya kolateral atau bahaya lain yang dipicu letusan gunung api yang terjadi jika erupsi bersamaan dengan hujan lebat seperti ini. Level status gunung api lebih banyak ditentukan oleh ancaman dari erupsi primer.
Jika mengacu pada status bahaya gunung api yang ditentukan PVMBG-Badan Geologi, status Waspada atau Level 2 adalah jika gunung api mulai meningkat aktivitasnya. Pada beberapa gunung api dapat terjadi erupsi, tetapi ancaman bahaya erupsi hanya di sekitar kawah.
Sementara Level 3 atau Siaga jika ancaman bahaya erupsi dapat meluas, tetapi tidak mengancam permukiman penduduk. Level 4 atau Awas jika ancaman bahaya erupsi dapat meluas dan dapat mengancam permukiman penduduk.
Faktanya, erupsi kali ini melanda hingga ke permukiman warga sehingga penentuan level bahaya gunung api perlu dikoreksi. ”Pelajaran pentingnya, mitigasi bencana gunung api seperti Semeru ini harus memperhitungkan bahaya primer dan sekunder yang ternyata bisa terjadi beriringan. Ini yang selama ini luput kita siapkan,” kata Eko.