Pembangunan di Kalimantan yang mengeksploitasi sumber daya alam patut dipertanyakan.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
Ekologi Kalimantan tengah berada di titik nadir. Dari salah satu wilayah yang menyimpan cadangan karbon terbesar di Bumi, Kalimantan kini mengalami peningkatan suhu tertinggi akibat deforestasi. Pulau terbesar ketiga di dunia ini sekarang juga identik dengan bencana alam.
Penelitian yang dipimpin Nicholas H Wolff dari The Nature Conservancy dan dipublikasikan di jurnal Lancet Planetary Health pada Kamis (11/11/2011), menyebutkan, dalam periode 2002 hingga 2018, seluas 4.375 kilometer persegi hutan di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, telah dibabat. Ini setara dengan 17 persen luasan lahan di semua kabupaten ini.
Wolff dan tim menemukan bukti bahwa deforestasi dalam kurun 16 tahun itu meningkatkan suhu harian maksimum di Berau rata-rata 0,95 derajat celsius. Perubahan suhu dalam waktu yang singkat itu sangat tinggi. Secara global, suhu Bumi memang menghangat sekitar 1 derajat celsius dibandingkan dengan era Pra-Industri, tetapi itu butuh lebih dari 150 tahun.
Ike Anggraeni, pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Mulawarman, Samarinda, yang terlibat dalam kajian ini, mengatakan, lonjakan suhu di Berau berdampak pada kesehatan populasi, bahkan terbukti meningkatkan 7,3–8,5 persen kematian dari semua penyebab di Berau. Pada 2018 saja ada sekitar 101–118 tambahan kematian per tahun pada tahun yang bisa dikaitkan dengan peningkatan suhu ini.
Peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan waktu kerja tidak aman sebesar 0,31 jam per hari di daerah yang terdeforestasi dibandingkan dengan 0,03 jam per hari di daerah yang mempertahankan tutupan hutan. Mereka yang paling terdampak terutama yang bekerja di luar ruangan, seperti petani.
Meningkatnya angka kematian dini akibat peningkatan suhu di Berau ini mungkin tak disadari karena prosesnya perlahan (slow onset). Namun, bencana mematikan yang bersifat seketika sebenarnya semakin kerap terjadi di Kalimantan.
Jika di setiap kemarau diselimuti kabut asap, pada musim hujan Kalimantan selalu kebanjiran. Beberapa daerah yang sebelumnya aman dari banjir, seperti Kapuas Hulu, pun kebanjiran. Sementara di Kabupaten Sintang, banjir merendam hampir sebulan lamanya.
Sebelumnya, banjir yang melanda 10 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan pada Januari 2021 menjadi yang terbesar dalam sejarah kawasan ini. Selain memicu kerugian ekonomi sangat besar, banjir saat itu juga menewaskan 15 orang.
Daya dukung lingkungan yang merosot karena eksploitasi alam berlebih jelas merupakan faktor utama bencana dan cuaca hanya memantiknya. Apalagi, hujan dan kekeringan yang semakin ekstrem juga karena ulah manusia, sebagian disumbang oleh pelepasan emisi dari pembukaan hutan Kalimantan.
Pemetaan yang dilakukan tim peneliti dari Conservation International dan diterbitkan di jurnal Nature Sustainability pada 18 November 2021 lalu menyebutkan, Kalimantan termasuk yang memiliki konsentrasi karbon tertinggi di Bumi, selain tanah beku di Siberia, dan rawa-rawa di sepanjang pantai barat laut Amerika Serikat, lembah Amazon, Cekungan Kongo, dan Papua bagian selatan.
Daya dukung lingkungan yang merosot karena eksploitasi alam berlebih jelas merupakan faktor utama bencana dan cuaca hanya memantiknya.
Monica L Noon dari Conservation International AS yang memimpin studi ini menyebutkan, ada beberapa tempat alami yang seharusnya dikonservasi dan tidak dibuka karena cadangan karbonnya yang sangat besar, termasuk sebagian Kalimantan.
Besarnya simpanan karbon di Kalimantan terutama karena tebalnya lahan gambut di kawasan ini. Gambut terbentuk tatkala bagian tumbuhan yang luruh dan berbagai jasad binatang terhambat pembusukannya karena terjebak di rawa-rawa yang memiliki kadar keasaman tinggi atau kondisi anaerob (minim oksigen).
Secara alami, hidrologi gambut memiliki mekanisme perlindungan diri untuk mencegah terjadi kebakaran besar, sebagaimana dibuktikan oleh kajian Eko Yulianto, Hirakawa, dan Tsuji (2004). Dengan pendekatan paleoekologi, mereka menemukan jejak kebakaran selama 10.000 tahun terakhir di gambut Kalimantan Tengah yang cenderung sporadis dan terlokalisasi. Pola kebakaran masif dan meluas baru terjadi sejak 1980-an, terutama pada 1997/1998 setelah dikeringkannya lahan gambut untuk Proyek Pengembangan Lahan Gambut sejuta hektar.
Sejak itu, kebakaran hutan yang hebat berulang terjadi di Kalimantan, sebagaimana juga terjadi pada 2015. Laporan Palangka Raya Ecological & Human Right Studies (Progress), ada 17.676 titik api di area konsesi perusahaan di Kalimantan Tengah pada puncak kebakaran lahan pada September 2015. Sementara Indeks Standar Polusi Udara (ISPU) pada 19-22 September 2015 di Kalimantan Tengah mencapai 3.169 mg/2. Padahal, Permenkes No 289/2003, ISPU di atas 400 mg/m2 sudah berbahaya.
”Udara waktu itu menguning, yang meninggal 8 orang, terkena ISPA 52.142 orang. Diare 5.178, sekolah ditutup, petani gagal panen, dan masalah ekonomi,” kata Direktur Progress Kartika Sari, yang merupakan salah satu penggugat dalam gugatan warga (citizen law suit/ CLS) soal kabut asap di Kalimatan Tengah pada 2015, dalam diskusi Selasa (29/11/2021).
Mahkamah Agung sebenarnya telah memenangkan warga dalam sidang CLS tingkat kasasi pada 2019. Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri ATR/BPN, Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian, dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum tergugat untuk memenuhi 10 tuntutan penggugat.
Salah satu tuntutan warga adalah agar pemerintah merehabilitasi korban dan juga lahan yang terbakar, selain meminta perusahaan turut bertanggung jawab. Namun, menurut catatan para penggugat, sampai saat ini pemerintah belum menjalankan putusan itu. Bahkan, pelaku pembakaran justru mendapatkan impunitas dan sawit-sawit yang secara ilegal berada di kawasan hutan hendak diputihkan (Kompas, 30/11/2021).
Kalimantan hanya cermin dari model pembangunan di Indonesia, yang telah melanggar hak warga terhadap lingkungan sehat, aman, sehat dan berkelanjutan, yang sejak Oktober 2021 telah diakui Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Jadi, jika sebenarnya dalih eksploitasi sumber daya alam di Kalimantan ini demi pembangunan, rakyat patut bertanya: sebenarnya, pembangunan ini untuk siapa?