Suplemen Kesehatan dari Bawang Hitam
Peneliti dari Balai Bioteknologi Badan Riset dan Inovasi Nasional mengembangkan suplemen cair dengan bahan baku dari bawang hitam. Suplemen ini diklaim memiliki kandungan antioksidan yang tinggi.
Sindrom metabolik atau gangguan kesehatan yang terjadi bersamaan seperti kadar gula darah tinggi, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, dan penumpukan lemak di perut banyak ditemui di masyarakat. Penyakit tersebut dapat menjadi komorbid yang bisa berbahaya jika sampai tertular Covid-19. Risiko perburukan hingga kematian pun meningkat.
Persoalannya, jumlah masyarakat dengan gangguan kesehatan tersebut cukup tinggi. Untuk penyakit diabetes, misalnya, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, angka prevalensi diabetes pada penduduk berusia di atas 15 tahun sebesar 8,5 persen. Angka ini meningkat dari 2013 yang tercatat sebesar 6,9 persen.
Pengobatan rutin serta mengubah gaya hidup menjadi lebih baik menjadi kunci dari penanganan diabetes. Orang dengan diabetes harus bisa mengontrol kadar gula darah dalam tubuh agar tetap memiliki kualitas hidup yang baik. Gula darah yang terkontrol juga dapat mencegah berbagai komplikasi yang lebih berat, seperti serangan jantung, stroke, infeksi kaki yang berat hingga amputasi, serta gagal ginjal.
Untuk itulah, Balai Bioteknologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengembangkan suplemen kesehatan yang diberi nama Stamilic dengan harapan bisa membantu pasien diabetes untuk mengontrol gula darah dalam tubuh. Stamilic merupakan suplemen cair dengan bahan baku utama ekstrak black garlic atau bawang hitam yang dapat menurunkan lemak darah dan kadar gula darah. Selain bawang hitam, Stamilic juga mengandung ekstrak jahe merah.
Baca juga: Cegah Komplikasi Diabetes Melitus
Periset dari Balai Bioteknologi BRIN Edy Marwanta ketika dihubungi dari Jakarta, Sabtu (27/11/2021), mengungkapkan, bawang hitam dalam Stamilic telah melalui riset selama lima tahun. Dalam proses riset tersebut, bawang hitam ini memiliki kandungan antioksidan yang tinggi.
”Black garlic merupakan bawang putih yang diolah dengan pemanasan dan fermentasi enzimatis sehingga warnanya menjadi hitam, lunak, dan manis. Kami menggunakan bahan baku bawang putih tunggal atau bawang lanang (single clove garlic),” tuturnya yang juga sebagai Kepala Program Pengembangan Proyek Stamilic.
Edy mengatakan, bawang lanang memiliki khasiat lebih dari jenis bawang putih lainnya. Bawang ini juga biasa digunakan untuk pengobatan tradisional. Secara ilmiah, bawang lanang memiliki kandungan antioksidan 3-4 kali lipat lebih tinggi dari bawang lainnya.
Bawang hitam ini pun memiliki senyawa bioaktif utama S-allyl cysteine (SAC) yang meningkat 20 kali lipat dari bawang putih segar. SAC merupakan senyawa bioaktif yang hanya didapatkan dari produk bawang yang memiliki efek antioksidan, antidiabetes, penurunan kolesterol, antikanker, anti-inflamasi, dan kardioprotektif (melindungi fungsi jantung).
Menurut Edy, hasil riset yang dilakukan oleh Balai Bioteknologi BRIN menunjukkan, kandungan SAC pada produk yang dikembangkan lebih tinggi dibandingkan dengan produk yang sudah beredar di Korea dan Jepang. Dari hasil uji praklinis yang dilakukan pada hewan uji dengan diabetes dan perlemakan hati memperlihatkan konsumsi bawang hitam yang dikembangkan ini juga menunjukkan efek perbaikan toleransi glukosa dan kadar gula darah secara signifikan.
Kolesterol LDL (low-density lipoprotein) atau yang dikenal sebagai kolesterol jahat serta lemak dalam darah juga menurun. Terkait dengan penularan Covid-19, bawang hitam tersebut juga dapat menurunkan PAI-1 (plasminogen activator inhibitor 1) yang dapat menyebabkan terjadinya penggumpalan darah. Dengan menurunkan PAI-1 dalam tubuh, risiko keparahan dari Covid-19 diharapkan bisa dicegah.
Edy mengatakan, Stamilic dapat diminum kapan saja. Konsumsinya juga bisa setiap hari sebanyak 2-3 saset per hari. Suplemen yang dikemas dalam bentuk cair ini dapat memudahkan masyarakat dalam mengonsumsinya serta sudah ditakar secara terukur.
Pada pagi hari, suplemen ini dianjurkan untuk diminum setelah makan. Bukti empiris dari konsumen, tidak ditemukan adanya efek samping pada konsumen anak-anak, ibu hamil, dan ibu menyusui. Namun, pada penderita asam lambung tinggi, konsumsi Stamilic perlu perhatian khusus sehingga sebaiknya dikonsumsi setelah makan dan dalam dosis yang rendah.
”Kami telah melakukan uji keamanan (toksisitas) black garlic yang digunakan dan terbukti sangat aman serta tidak menimbulkan gejala toksik pada organ tubuh,” ucap Edy.
Pemanfaatan teknologi
Untuk membuat bawang hitam, para peneliti memanfaatkan teknologi pemanasan, yakni far infrared. Teknologi ini merupakan teknologi pangan yang dapat meningkatkan kandungan asam amino menjadi lebih baik. Secara alami, teknik pemanasan far infrared dipancarkan melalui batu panas, gerabah panas, ataupun arang.
Kami telah melakukan uji keamanan (toksisitas) black garlic yang digunakan dan terbukti sangat aman serta tidak menimbulkan gejala toksik pada organ tubuh.
Oleh sebab itu, rasa masakan yang dihasilkan dari proses menggunakan bahan-bahan tersebut menjadi berbeda karena kandungan asam amino yang dihasilkan pada masakan menjadi lebih tinggi. ”Hal ini yang kami terapkan, dan terbukti kandungan senyawa bioaktif S-allyl cysteine (SAC) yang juga merupakan turunan asam amino menjadi jauh lebih tinggi,” kata Edy.
Ia menyatakan, riset inovasi bawang hitam dan produk Stamilic terinspirasi dari publikasi dan produk yang beredar di Jepang. Namun, dari berbagai studi yang dilakukan belum banyak ditemukan studi khusus terkait khasiat bawang hitam terhadap kadar gula darah dan lemak darah.
Atas dasar itulah, para peneliti BRIN akhirnya mengembangkan metode produksi bawang hitam. Riset yang sudah dilakukan sejak 2016 ini dilakukan oleh Balai Bioteknologi BRIN yang sebelumnya masih sebagai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan bermitra dengan Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB), mahasiswa Pascasarjana Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip), dan RUMAT (rumah perawatan luka diabetes).
Kini, Edy mengatakan, produk Stamilic telah mendapatkan izin edar dari Badan POM dengan nomor TR213666971. Paten untuk metode produksi juga tengah didaftarkan ke Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM.
Baca juga: Ekstrak Teripang untuk Radang Sendi
”Rencananya, Stamilic akan diproduksi dan diedarkan secara luas pada awal 2022 oleh mitra industri, yakni PT Ivaaz Sejahtera dan PT Generasi Karunia Indonesia (GENKI). Produksi terbatas saat ini sudah dilakukan dan didistribusikan sebagai pengenalan,” ujarnya.
Pengembangan lebih lanjut pun masih akan dilakukan pada produk Stamilic. Sementara ini, Stamilic masih dikembangkan sebagai produk dengan kode TR yakni obat herbal atau tradisional. Para periset akan melanjutkan penelitian terkait produk ini agar bisa menjadi obat herbal terstandar (OHT).
Riset yang lebih dalam untuk membuktikan adanya efek pada penyakit jantung koroner, diabetes, stroke, dan kanker juga akan dilakukan. Selain kebutuhan SDM periset yang kompeten serta fasilitas dan mitra riset yang mendukung, keberlanjutan bahan baku juga amat dibutuhkan.
Edy menuturkan, bahan baku bawang lanang yang digunakan selama ini berasal dari pasar dan petani lokal. Namun, pasokan dari produk lokal masih sedikit. Sekitar 90 persen bawang lanang yang beredar di pasaran berasal dari produk impor.
Padahal, bawang lanang varian lokal justru lebih berkualitas ketika diproses menjadi bawang hitam. Dukungan seluruh pihak untuk memperluas budidaya bawang lanang lokal pun diharapkan bisa lebih besar.
”Produk Stamilic ini memiliki TKDN (tingkat komponen dalam negeri) sampai 80 persen. Itu mulai dari SDM, alat, dan bahan lain. Namun untuk bahan baku baru 10 persen dipenuhi dari bahan lokal,” tuturnya.
Baca juga: Pengembangan Bioteknologi Kesehatan di Indonesia Masih Lemah
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Arianti Anaya dalam CEO Live Series#1 bertajuk ”Healthcare Industry Post Pandemic” di Jakarta, Rabu (10/11/2021), mengatakan, upaya pengembangan bahan baku obat di Indonesia harus terus digenjot. Sebab, selama ini 95 persen kebutuhan bahan baku untuk industri farmasi masih impor.
”Ketika pandemi, saat semua negara butuh produk sama, kita kesulitan mengaksesnya. Jadi, kita harus lebih mempersiapkan diri agar mampu menghasilkan produk dalam negeri,” ucapnya.