Hampir Setengah Populasi Dunia Mengalami Malanutrisi
Malanutrisi menjadi ancaman kesehatan global saat ini. Laporan Nutrisi Global terbaru menunjukkan hampir separuh populasi dunia mengalami malanutrisi sehingga berisiko tinggi terkena berbagai penyakit.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hampir setengah populasi dunia mengalami malanutrisi karena terlalu banyak atau tidak cukup makanan. Indonesia disebut mencapai kemajuan dalam mencapai target penurunan stunting dan balita kurus, tetapi gagal menurunkan obesitas. Bahkan, prevalensi diabetes di Indonesia lebih tinggi dari rata-rata regional.
Situasi pemenuhan nutrisi dan dampaknya terhadap kesehatan global ini dilaporkan Global Nutrition Report (GNR) pada Selasa (23/11/2021). Survei tahunan dan analisis data terbaru tentang nutrisi dan masalah kesehatan terkait itu menemukan bahwa 48 persen orang saat ini makan terlalu sedikit atau terlalu banyak sehingga mereka kelebihan berat badan, obesitas, atau kekurangan berat badan.
Dengan tingkat saat ini, laporan itu menemukan, dunia akan gagal memenuhi delapan dari sembilan target nutrisi yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk 2025. Ini termasuk mengurangi wasting pada anak, yaitu anak terlalu kurus untuk tinggi badannya, dan stunting atau tengkes (gagal tumbuh akibat kurang gizi kronis) anak, serta obesitas anak-anak dan orang dewasa.
Laporan ini menyebutkan, 571 juta perempuan mengalami anemia, ini merupakan 29,9 persen seluruh populasi perempuan berumur 15-49 tahun di dunia. Sementara jumlah anak berusia di bawah lima tahun (balita) yang mengalami stunting mencapai 149,2 juta atau 22 persen anak-anak di seluruh dunia.
Lebih dari 45 juta anak balita mengalami kurus dan hampir 40 juta lainnya kelebihan berat badan. Laporan juga menemukan lebih dari 40 persen orang dewasa (2,2 miliar orang) kini kelebihan berat badan atau obesitas.
”Kematian yang dapat dihindari karena pola makan buruk telah tumbuh 15 persen sejak 2010 dan pola makan buruk sekarang bertanggung jawab atas seperempat dari semua kematian orang dewasa,” kata Ketua Kelompok Pakar Independen GNR Renata Micha kepada kantor berita AFP.
Kematian yang dapat dihindari karena pola makan buruk tumbuh 15 persen sejak 2010 dan pola makan buruk kini bertanggung jawab atas seperempat dari semua kematian orang dewasa.
Renata menambahkan, data global menunjukkan bahwa pola makan kita tidak membaik selama sepuluh tahun terakhir dan sekarang menjadi ancaman besar bagi kesehatan manusia dan planet ini.
Melepaskan emisi
Tahun ini GNR untuk pertama kali melihat pola makan global dan bagaimana pilihan makanan memengaruhi manusia dan planet ini. Ditemukan bahwa orang-orang gagal mengonsumsi makanan yang meningkatkan kesehatan seperti buah-buahan dan sayuran, terutama di negara berpenghasilan rendah.
Sementara negara-negara berpenghasilan tinggi memiliki asupan makanan berlebih dengan dampak kesehatan berbahaya, seperti daging merah, susu, dan minuman manis.
Selain berbahaya bagi kesehatan, konsumsi daging merah juga mengeluarkan banyak emisi karbon. Padahal, laporan itu menemukan, konsumsi daging merah dan daging olahan meningkat hampir lima kali lipat dari rekomendasi maksimum satu porsi seminggu.
Sebelumnya, riset Xiamoming Xu dari University of Illinois yang dipublikasikan di jurnal Nature Food edisi September 2021 menyebutkan, seluruh sistem produksi pangan, seperti penggunaan mesin pertanian, penyemprotan pupuk dan pengiriman produk, menyebabkan 17,3 miliar metrik ton gas rumah kaca per tahun. Pelepasan gas yang sangat besar ini mewakili 35 persen dari semua emisi global.
Dari total emisi sektor pangan ini, 57 persen berasal dari produksi makanan hewani, sedangkan makanan nabati menyumbang 29 persen. Daging sapi saja menyumbang seperempat dari emisi di sektor pangan. Sisanya berasal dari penggunaan lahan lain, seperti kapas atau karet.
Sejalan dengan kajian Xu, laporan GNR juga menghitung permintaan pangan global menghasilkan sekitar 35 persen emisi gas rumah kaca pada 2018. ”Makanan sumber hewani umumnya memiliki jejak lingkungan yang lebih tinggi per produk daripada makanan nabati,” kata laporan itu.
Hal itu mengakibatkan mereka bertanggung jawab atas sebagian besar emisi gas rumah kaca terkait makanan dan penggunaan lahan, dengan dampak yang sangat besar dari daging sapi, domba, dan susu.
Laporan tersebut menyerukan pendanaan mendesak untuk meningkatkan gizi di seluruh dunia, terutama karena Covid-19 mendorong sekitar 155 juta orang lagi ke dalam kemiskinan ekstrem. GNR memperkirakan pengeluaran nutrisi akan perlu meningkat hampir 4 miliar dollar AS per tahun hingga 2030 untuk memenuhi target penurunan stunting, wasting, anemia ibu dan menyusui saja.
Kondisi Indonesia
Sementara itu, dalam penjelasannya tentang situasi Indonesia, disebutkan tidak ada kemajuan yang dicapai untuk mencapai target pengurangan anemia di kalangan wanita usia subur, dengan 31,2 persen wanita berusia 15 hingga 49 tahun sekarang terpengaruh.
Namun, pencapaian target penurunan angka berat badan lahir rendah telah dicapai dengan 10,0 persen bayi lahir dengan berat badan rendah. Indonesia dinilai berada di jalur untuk target pemberian ais susu ibu eksklusif, dengan 50,7 persen bayi usia 0 sampai 5 bulan disusui secara eksklusif.
Selain itu, Indonesia dinilai membuat beberapa kemajuan dalam mencapai target stunting, tetapi 30,8 persen anak di bawah usia 5 tahun masih terkena dampaknya masih terlalu besar. Indonesia juga telah membuat beberapa kemajuan dalam mencapai target wasting tetapi 10,2 persen anak balita masih terkena dampaknya.
Sementara itu, prevalensi kelebihan berat badan anak balita 8 persen sehingga Indonesia dianggap belum membuat kemajuan untuk meningkatkan angka tersebut. Selain itu, Indonesia juga tidak menunjukkan kemajuan dalam mencapai target obesitas dengan perkiraan 10,9 persen wanita dewasa (berusia 18 tahun ke atas) dan 6,3 persen pria dewasa hidup dengan obesitas.
Prevalensi obesitas di Indonesia lebih tinggi dari rata-rata regional sebesar 10,3 persen untuk wanita, tetapi lebih rendah dari rata-rata regional 7,5 persen untuk pria. Pada saat yang sama, diabetes diperkirakan memengaruhi 8,8 persen wanita dewasa dan 8,5 persen pria dewasa di Indonesia.