Transformasi Layanan Kesehatan, Aspek Promotif dan Preventif Menjadi Prioritas
Pemerintah akan memprioritaskan aspek promotif dan preventif sebagai intervensi dalam layanan kesehatan nasional. Hal ini diperlukan untuk menekan beban kesehatan di masyarakat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 telah menunjukkan pentingnya aspek promotif dan preventif dalam sistem pelayanan kesehatan. Pemerintah pun berkomitmen menjadikan intervensi di sisi hulu itu sebagai fokus transformasi layanan kesehatan di Indonesia. Semua pihak, termasuk industri kesehatan, diharapkan bisa mengikuti.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam acara Kompas100 CEO Forum by East Ventures bertema ”Ekonomi Sehat 2022” di Jakarta, Kamis (18/11/2021), mengatakan, selama ini industri kesehatan memiliki tingkat efektivitas dan efisiensi rendah. Itu dapat dilihat dari besarnya biaya kesehatan dengan usia harapan hidup masyarakat. Di sejumlah negara, tingginya biaya kesehatan tidak selaras dengan lamanya usia harapan hidup.
Menurut dia, hal ini terjadi karena adanya anomali. Sebagai contoh, Kuba memiliki biaya kesehatan per kapita yang kurang dari 10 persen dari Amerika tetapi tingkat usia harapan hidup yang sama. Itu terjadi karena Kuba banyak melakukan tindakan promotif dan preventif.
”Jadi pendekatan kesehatan, strategi kesehatan bukan untuk mengobati orang sakit tetapi harus menciptakan orang sehat. Selama ini, anggaran kesehatan di Indonesia hampir 90 persen untuk layanan kuratif. Karena itu, ke depan kita akan berupaya mengubah anggaran untuk lebih banyak ke promotif preventif,” ujarnya.
Pada 2022, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 255,4 triliun untuk bidang kesehatan. Anggaran tersebut akan difokuskan untuk biaya lanjutan penanganan Covid-19, seperti vaksinasi pemerintah dan perawatan pasien Covid-19; peningkatan efektivitas jaminan persalinan (jampersal) dan integrasi program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat; percepatan penurunan tengkes; serta penguatan reformasi sistem kesehatan nasional.
Budi menyampaikan, optimalisasi anggaran kesehatan untuk promotif dan preventif dilakukan antara lain untuk menambah tiga jenis antigen dalam program vaksinasi masyarakat, yakni human papillomavirus (HPV), pneumococcal conjugate vaccine (PCV), dan rotavirus.
Selain itu, layanan untuk kunjungan pemeriksaan kehamilan (antenatal care/ANC) akan ditambah dari empat kali pertemuan menjadi enam kali pertemuan, fasilitas pemeriksaan kesehatan rutin (medical check up) akan ditanggung dalam program JKN-KIS, serta layanan penapisan kesehatan pada bayi baru lahir.
Jadi pendekatan kesehatan, strategi kesehatan bukan untuk mengobati orang sakit tetapi harus menciptakan orang sehat. Selama ini, anggaran kesehatan di Indonesia hampir 90 persen untuk layanan kuratif.
Transformasi kesehatan
Terkait transformasi kesehatan nasional, Budi menyampaikan, Kementerian Kesehatan telah menyusun enam program utama yang harus dijalankan pada periode 2021-2024. Program tersebut meliputi transformasi layanan primer, layanan rujukan, sistem ketahanan kesehatan, sistem pembiayaan kesehatan, transformasi sumber daya manusia bidang kesehatan, dan transformasi teknologi kesehatan.
Dari enam aspek tersebut, industri bisa berperan untuk mendukung upaya transformasi sistem ketahanan kesehatan dan transformasi teknologi kesehatan. Pemerintah menargetkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) pada produk farmasi dan alat kesehatan bisa mencapai 50 persen.
”Kalau ada lockdown (karantina wilayah) pada situasi krisis seperti pandemi ini, produksi kita akan mati. Jadi (produksi dalam negeri) ini bukan soal nasionalisme saja, melainkan lebih ke resilience of our heath care system (ketangguhan sistem layanan kesehatan kita) untuk mendistribusikan layanan kesehatan ke 270 juta rakyat Indonesia,” kata Budi.
Untuk mendorong hal tersebut, pemerintah akan memberikan insentif bagi industri mulai dari hulu hingga hilir pada pengembangan bahan aktif farmasi sampai ke proses produksi dan distribusi. Itu terutama pada produksi obat esensial.
Upaya untuk mencari lisensi dari produk yang dihasilkan juga akan didukung oleh pemerintah. Begitu pula dengan pengadaan pemerintah yang akan diarahkan pada produk buatan dalam negeri.
Budi menambahkan, industri bisa terlibat untuk mendukung transformasi teknologi kesehatan. Ke depan, bioteknologi akan lebih banyak digunakan untuk pengobatan. Terapi akan diberikan lebih spesifik dan personal, tergantung dari kondisi setiap pasien.
Presiden Direktur PT Kalbe Farma Tbk Vidjongtius menuturkan, kebutuhan inovasi di bidang kesehatan amat beragam. Karena itu, industri membutuhkan arahan dari pemerintah terkait dengan prioritas produk inovasi.
”Kebutuhan inovasi cukup banyak. Agar lebih efektif harus ada fokus. Dengan adanya fokus dan skala prioritas ini, industri bisa lebih mudah untuk menyelaraskan inovasi dengan rencana pemerintah,” katanya.
Melalui skala prioritas ini, Vidjongtius menuturkan, ekosistem riset dan inovasi juga lebih kondusif untuk memperkuat kerja sama antara akademisi, industri, pemerintah, dan komunitas. Hilirisasi riset pun diharapkan tidak lagi sekadar wacana dan rencana melainkan sampai ke tahap aksi.
Teknologi informasi
Budi menambahkan, pemanfaatan teknologi informasi bidang kesehatan akan diarahkan pula pada aspek promotif dan preventif. Layanan kesehatan jarak jauh (telemedik) jangan sekadar melayani konsultasi kesehatan, tetapi juga untuk mempromosikan perilaku hidup sehat di masyarakat sampai ke pelosok negeri.
”Big data (mahadata) dan kecerdasan artifisial bisa mengubah industri kesehatan dalam 5-10 tahun ke depan. Telemedicine yang memuat hasil diagnostik dari dokter yang disertai dengan riwayat hasil rontgen, pembelian obat, dan data laboratorium dari seluruh penduduk, jika dimanfaatkan, bisa digunakan untuk melihat prospek kesehatan masyarakat di masa depan. Risiko kesehatan pun bisa dicegah sejak dini,” katanya.
Chief Commercial Officer SehatQ Andrew Sulistya menuturkan, industri kesehatan digital berkembang pesat selama masa pandemi. Namun, ia menilai, layanan kesehatan digital belum dimanfaatkan secara optimal. Industri kesehatan digital perlu lebih dilibatkan di berbagai program nasional.
”Kalau berbicara mengenai digital health care (layanan kesehatan digital) itu kemampuannya jauh lebih luas dari sekadar telemedikasi. Layanan digital ini dapat dimanfaatkan untuk mendukung efisiensi biaya, efisiensi waktu, dan kegiatan promotif, edukatif, serta preventif,” ujarnya.