Ancaman Resistensi Antimikroba Nyata, Dokter dan Pasien Jadi Penentu
Resistensi antimikroba merupakan ancaman global. Jika tidak ada upaya pengendalian yang kuat, resistensi antimikroba bisa menjadi penyebab kematian terbesar di masa depan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Resistensi antimikroba bisa menjadi ancaman pandemi berikutnya. Pada 2050 diprediksi ada 10 juta kematian per tahun akibat resistensi antimikroba. Jumlah ini bahkan melebihi jumlah orang yang meninggal karena kanker setiap tahun.
Oleh karena itu, upaya pengendalian harus segera dilakukan, terutama dengan memastikan penggunaan antibiotik yang lebih bijak. Dokter dan pasien pun diharapkan bisa mendukung upaya tersebut.
”Penggunaan antibiotik yang tidak benar bukan saja bisa meningkatkan biaya pengobatan, tetapi juga meningkatkan risiko resistensi. Pada akhirnya akan membahayakan keselamatan pasien, bahkan keselamatan jiwa manusia,” kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rianto Setiabudy, di Jakarta, Minggu (7/11/2021).
Ia menuturkan, antibiotik tidak boleh digunakan tanpa konsultasi dengan dokter. Antibiotik juga tidak boleh digunakan untuk pengobatan akibat infeksi virus, seperti batuk, pilek, dan demam, serta diare sederhana.
Antibiotik pun tidak boleh digunakan dalam jangka waktu panjang atau berulang kali. Pemberian antibiotik yang berkepanjangan dan berulang kali dapat mengganggu keseimbanan kuman yang ada di dalam tubuh manusia. Akhirnya, beberapa jenis kuman resisten akan tumbuh tidak terkendali.
”Makin sering antibiotik digunakan, makin besar kemungkinan berkembangnya mutan resisten. Resisten kuman bisa berpindah antarspesies kuman yang berbeda. Kuman resisten ini juga bisa berpindah dengan perantaraan orang sehat, misalnya dari petugas kesehatan ke pasien,” tutur Rianto, yang juga anggota Komite Nasional Etik Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional.
Ia mengatakan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah membuat kebijakan global untuk menekan penyebarluasan resisten kuman, tetapi tetap menjaga penyediaan antibiotika yang risiko resistensinya rendah serta mudah diakses, berkualitas, dan dengan harga terjangkau.
Penggunaan antibiotik yang tidak benar bukan saja bisa meningkatkan biaya pengobatan, melainkan juga meningkatkan risiko resistensi. Itu akhirnya akan membahayakan keselamatan pasien, bahkan keselamatan jiwa manusia.
Kebijakan itu dikenal dengan istilah ”Aware” atau access, watch, and reserve. Antibiotik yang dinilai rendah potensi resistennya adalah amoksisilin, gentamisin, kloramfenikol, sefaleksin, amikasin, dan klindamisin. Sementara itu, jenis antibiotik yang perlu lebih diperhatikan penggunaannya karena berisiko tinggi resisten, antara lain, azitromisin, sefiksim, siprofloksasin, linkomisin, meropenem, dan doripenem.
Selain itu, antibiotik yang hanya boleh diberikan untuk pertolongan terakhir ialah linezolid, tigesiklin, seftarolin, dan polimiksin. ”Ingatlah selalu bahwa resistensi kuman yang terjadi pada kita juga akan mengancam keselamatan orang lain. Perhatikan pula untuk buanglah antibiotik tersisa atau tidak terpakai,” ucap Rianto.
Untuk membuang antibiotik, tidak boleh sembarangan. Rianto menyarankan, antibiotik sebaiknya dibuang di toilet. Sebab, jika dibuang secara sembarangan, berisiko disalahgunakan oleh orang lain atau bisa merusak lingkungan.
Anggota Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba Kementerian Kesehatan Purnamawati Sujud menambahkan, penggunaan antibiotik ini juga harus diperhatikan untuk pasien Covid-19. Diperkirakan hanya ada 3 persen pasien Covid-19 yang memerlukan antibiotik. Karena itu, antibiotik baru bisa diberikan ke pasien jika pasien tersebut memiliki kondisi klinis yang sesuai.
Hal ini juga yang akhirnya membuat pemberian Azitromisin dihapuskan dari paket pengobatan pasien Covid-19. Sebelumnya, antibiotik tersebut sempat diberikan sebagai paket obat untuk pasien Covid-19.
Pengendalian resistensi
Purnamawati menyampaikan, pengendalian resisten antibiotik harus diupakan oleh semua pihak, mulai dari pemerintah, sektor swasta, organisasi profesi, tenaga kesehatan, juga masyarakat.
Selain upaya pengendalian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, pasien juga sebaiknya lebih kritis ketika mendapatkan resep antibiotik dari dokter. Jika perlu, tanyakan alasan antibiotik tersebut diberikan. Apabila memang harus mengonsumsi antibiotik, pastikan pula antibiotik yang diresepkan dihabiskan sekalipun sudah sembuh.
”Jadilah pasien yang cerdas. Tanyakan ke dokter mengapa butuh antibiotik, apa antibiotik yang dikonsumsi, dan tanya pula diagnosis dari penyakit yang dialami apakah memang butuh antibiotik atau tidak. Yang jelas antibiotik tidak diperuntukkan saat batuk pilek serta diare tanpa darah,” tutur Purnamawati.