Pemahaman Tenaga Kesehatan Jadi Kunci dalam Pemberian Antibiotik kepada Pasien
Tenaga kesehatan menjadi kunci dalam mencegah resistensi antimikroba yang menjadi salah satu ancaman kesehatan global. Ini dilakukan dengan cara menghindari penggunaan antibiotik yang tidak perlu kepada pasien.
Oleh
Pradipta Pandu Mustika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Resistensi antimikroba yang disebabkan intensitas penggunaan antibiotik telah menjadi salah satu ancaman kesehatan global paling berbahaya di dunia. Tenaga kesehatan menjadi kunci dalam mencegah resistensi antimikroba dengan menghindari penggunaan antibiotik yang tidak perlu kepada pasien.
Hasil kajian dari ekonom Jim O’Neill pada 2014 memperkirakan saat ini ada sekitar 700.000 kematian per tahun di dunia yang terjadi karena resistensi antimikroba (AMR). Pada 2050, AMR diperkirakan menyebabkan kematian hingga 10 juta orang per tahun secara global. Penggunaan antibiotik yang tidak semestinya merupakan salah satu penyumbang besar angka AMR di dunia kesehatan.
Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, terdapat peningkatan penggunaan antibiotik sebesar 91 persen secara global dari tahun 2000 hingga 2015. Bahkan, di negara berkembang peningkatan mencapai 165 persen. Peningkatan penggunaan antibiotik dalam jumlah sangat besar ini menjadikan AMR sebagai salah satu dari sepuluh besar ancaman kesehatan global paling berbahaya di dunia.
Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Hari Paraton mengemukakan, sebagian besar AMR menyebabkan infeksi yang sangat kompleks terutama bagi pasien yang memiliki komorbid. Hal ini membuat proses penyembuhan menjadi semakin sulit dan pada akhirnya turut berdampak pada sosial ekonomi masyarakat.
Jika infeksi bakteri biasa, rata-rata pengobatan menghabiskan biaya 10.000 dollar di Amerika. Namun, ketika bakterinya berubah menjadi resisten, maka akan ada penambahan sekitar 6.000 dollar AS, terutama untuk perawatan dan pengobatan.
”Jika infeksi bakteri biasa, rata-rata pengobatan menghabiskan biaya 10.000 dollar di Amerika. Namun, ketika bakterinya berubah menjadi resisten, maka akan ada penambahan sekitar 6.000 dollar AS, terutama untuk perawatan dan pengobatan,” ujarnya dalam webinar memperingati World Antibiotics Awareness Week 2021, Jumat (5/11/2021).
Hasil kajian dari KPRA, pada 2016 penggunaan antibiotik di 11 rumah sakit pendidikan mencapai 70-80 persen. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2005 yang tercatat 55-76 persen. Peningkatan ini perlu disikapi karena paparan antibiotik secara terus-menerus membuat bakteri semakin resisten.
Hari menjelaskan, AMR merupakan fenomena mutasi alamiah. Secara sederhana, bakteri yang sudah resisten kerap kawin dengan bakteri nonresisten dan dari sinilah terjadi perpindahan gen. Ketika bakteri mati dan pecah, gen resisten akan dicari oleh bakteri lain dan diinduksikan ke dalam tubuh bakteri tersebut.
Dampak AMR di rumah sakit di antaranya infeksi berat di aliran darah, saluran kemih, daerah operasi, dan pneumonia. Operasi yang sudah berjalan bagus juga bisa gagal karena adanya infeksi ini seperti cangkok liver, jantung, hingga ginjal.
Saat ini, Kementerian Kesehatan sudah menerapkan strategi utama pengendalian AMR melalui pencegahan resistensi. Upaya yang dilakukan yakni menghindari penggunaan antibiotik yang tidak perlu dan menurunkan konsumsinya. Upaya ini perlu pemahaman dan kesadaran dari dokter, perawat, bidan, farmais, hingga pasien dan keluarga.
Kemenkes juga telah mengeluarkan panduan penatagunaan antimikroba (PGA) di rumah sakit untuk mengoptimalkan penggunaan antimikroba secara bijak baik kuantitas maupun kualitas. Alur PGA dimulai dari dokter penanggung jawab pelayanan kemudian akan dikaji oleh petugas farmasi dan disampaikan ke perawat hingga diberikan ke pasien.
”Jadi, petugas farmasi menjadi posisi kunci dalam pra-otorisasi dan harus mampu belajar secara klinis untuk menilai apakah antibiotik tersebut layak diberikan kepada pasien atau tidak. Orientasinya tetap kesembuhan pasien yang menjadi tujuan utama,” kata Hari.
Pendekatan ”one health”
Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada Tri Wibawa mengatakan, AMR dapat melibatkan semua orang dari berbagai umur dan daerah. Meski terjadi secara natural, penyalahgunaan antibiotik pada sektor manusia dan hewan dapat mempercepat proses terjadinya AMR.
Tri menegaskan, AMR merupakan masalah yang memerlukan pendekatan satu kesehatan (one health) karena menyangkut permasalahan manusia, hewan, dan lingkungan. Pada manusia, pasien, dokter, dan farmasi menjadi subyek penting dalam penanganan AMR.
”Pasien menjadi subyek penanganan AMR ketika dia mencari antibiotik sendiri. Kemudian dokter menjadi subyek karena berperan dalam menggunakan antibiotik dengan baik atau tidak. Sementara farmasi ini tidak hanya petugas, tetapi juga perusahaan obat, distributor, hingga apotek,” katanya.
Tri juga mengakui bahwa saat ini banyak penjualan antibiotik tanpa resep di masyarakat. Oleh karena itu, semua pihak juga perlu memperhatikan proses penjualan antibiotik tanpa resep khususnya dari sektor informal sebagai upaya mencegah dan menanggulangi AMR.