Tes PCR Tidak Tepat untuk Syarat Perjalanan Domestik
Kewajiban tes PCR untuk syarat perjalanan di Indonesia, selain memberatkan publik, juga dinilai tidak efektif di tengah tren penurunan kasus. Persyaratan perjalanan bisa dengan menggunakan tes antigen.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekalipun tes berbasis polimerase rantai ganda merupakan standar emas untuk pemeriksaan Covid-19, hal ini harus digunakan sesuai proporsinya. Pemerintah diminta mengoptimalkan tes PCR ini untuk diagnosa Covid-19, sedangkan syarat perjalanan bisa dengan tes cepat antigen selain wajib vaksinasi.
”Tes dengan tujuan intervensi kesehatan publik, seperti untuk syarat perjalanan, tujuannya memastikan orang yang membawa virus bisa dideteksi cepat sehingga bisa dilakukan tindakan berikutnya, seperti karantina atau penelusuran. Dengan tujuan ini, tes cepat antigen harusnya sudah cukup. Studi di Inggris, sensitivitas tes antigen mencapai 97 persen dibandingkan dengan PCR (polimerase rantai ganda),” kata Dicky Budiman, epidemiolog Indonesia di Griffith University, Minggu (31/10/2021).
Menurut Dicky, tes untuk diagnosis atau konfirmasi memang seharusnya menggunakan standar emas (gold standard) atau yang terbaik, baik dari segi akurasi maupun sensitivitas, dalam hal ini PCR menjadi yang terbaik. Namun, untuk penapisan harus diperhitungkan efektivitasnya, termasuk dari segi harga dan kecepatan, sehingga tidak harus menggunakan PCR.
Praktisi laboratorium pemeriksaan Covid-19 di Jakarta, Ungke Antonjaya, mengatakan, PCR bisa mendeteksi virus yang sangat sedikit, 100-1.000 kali lebih sedikit dari tes cepat antigen. ”Ini memang penting ketika kasus sangat jarang, tidak ada gejala, atau baru mulai sakit,” ujarnya.
Kementerian Kesehatan harus membuka informasi mengenai komponen pembentuk tarif pemeriksaan PCR beserta dengan besaran persentasenya.
Namun, dia mengakui, harga tes PCR masih mahal sehingga memberatkan masyarakat. ”Kalau harga karena semua komponen regensia impor, hanya bisa lebih murah kalau pajak impor dipotong. Saya setuju pemerintah subsidi, sebagaimana dilakukan di sejumlah lab sehingga bisa memberikan tes PCR secara gratis seperti Labkesda DKI Jakarta dan lab di RS pemerintah,” tuturnya.
Dia mengusulkan, kalaupun menjadi syarat perjalanan, seharusnya PCR gratis dan ini bisa ke laboratorium yang bersubsidi. ”Tapi kalau mau buru-buru, ya, ke lab swasta yang bayar,” ujarnya.
Menurut Dicky, kalaupun pemerintah tetap mensyaratkan tes PCR untuk syarat perjalanan dan tidak bisa menggratiskannya untuk masyarakat, harus dicari yang biayanya lebih murah. Mengacu kajian Zhanwei Du dari The University of Texas at Austin di jurnal The Lancet pada Februari 2021, tes PCR yang efektif dari segi biaya adalah yang berbasis saliva.
”Ini kalau di AS harganya dipatok 5 dollar (sekitar Rp 71.000), sesuai dengan willingness to pay (kemauan membayar) masyarakat di sana. Kenapa di Indonesia bisa jauh lebih mahal,” ujarnya.
Menurut Dicky, kewajiban tes PCR untuk syarat perjalanan di Indonesia, selain memberatkan publik, juga dinilai tidak efektif di tengah tren penurunan kasus. ”Seperti di Australia bepergian secara domestik juga tidak wajib tes PCR, toh sudah ada syarat vaksinasi. Beda kalau untuk perjalanan internasional, yang memang syaratnya biasanya lebih ketat,” ujarnya.
Untuk mencegah penularan dari pelaku perjalanan internasional, menurut Dicky, justru yang paling penting adalah ketegasan menerapkan karantina. ”Nah, untuk konfirmasi pelaku perjalanan dari luar negeri yang telah selesai karantina, baru menggunakan tes PCR,” ujarnya.
Sementara untuk mencegah risiko penularan selama perjalanan domestik, menurut Dicky, yang juga sangat penting adalah pelaku perjalanan tetap menaati protokol kesehatan, seperti memakai masker ganda. Dengan kata lain, kata dia, kita tidak bisa juga hanya mengandalkan tes.
Dicky menambahkan, Indonesia sebaiknya mengoptimalkan tes PCR untuk kepentingan diagnosis atau konfirmasi kasus Covid-19. Sementara untuk kepentingan diagnosis, tes PCR seharusnya gratis atau ditanggung negara sebagaimana dilakukan di Australia, China, Inggris, Vietnam, dan Singapura.
”Apalagi, tes Covid-19 ini komponennya juga impor, harganya lebih mahal, dan hanya bisa dilakukan laboratorium tertentu sehingga harusnya digunakan secara proporsional untuk kepentingan diagnosis,” ujarnya.
Diminta transparan
Secara terpisah, Indonesia Corruption Watch (ICW) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan menilai, kewajiban tes PCR sebagai syarat perjalanan domestik bias kepentingan bisnis. ”Pemerintah harus menghentikan segala upaya untuk mengakomodasi kepentingan bisnis tertentu melalui kebijakan penanganan Covid-19,” kata peneliti ICW, Wana Alamsyah, dalam keterangan pers.
Wana juga mengatakan, penurunan harga jasa pelayanan pemeriksaan PCR seiring dengan diwajibkannya tes PCR untuk perjalanan domestik juga dikhawatirkan juga untuk menggenjot mobilitas masyarakat. ”Kami melihat bahwa penurunan harga ini seharusnya dapat dilakukan ketika gelombang kedua melanda. Penurunan harga PCR untuk kebutuhan mobilitas juga mencerminkan bahwa kebijakan ini tidak dilandasi asas kesehatan masyarakat, tetapi kepentingan ekonomi,” ujarnya.
Menurut catatan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan, ketentuan mengenai harga pemeriksaan PCR setidaknya telah berubah sebanyak empat kali. Saat awal pandemi muncul, harga tes PCR belum dikontrol oleh pemerintah sehingga harganya sangat tinggi, bahkan mencapai Rp 2,5 juta.
Kemudian pada Oktober 2020, pemerintah mengontrol harga tes PCR menjadi Rp 900.000. Sekitar 10 bulan kemudian harga tes PCR kembali turun menjadi Rp 495.000-Rp 525.000 setelah adanya tekanan dari masyarakat. Terakhir, 27 Oktober lalu, Pemerintah menurunkan harga tes PCR menjadi Rp 275.000-Rp 300.000.
”Perlu diingat ketika lonjakan angka positif Covid-19 pada Juli 2021, harga pemeriksaan PCR saat itu Rp 900.000 per tes yang mengakibatkan tidak seluruh masyarakat dapat mengakses pemeriksaan tersebut. Dari seluruh rangkaian perubahan tarif pemeriksaan PCR sejak awal hingga akhir, kami mencatat setidaknya ada lebih dari Rp 23 triliun uang yang berputar dalam bisnis tersebut,” tuturnya.
Terkait dengan besaran harga tes, Wana juga meminta agar Kementerian Kesehatan harus membuka informasi mengenai komponen pembentuk tarif pemeriksaan PCR beserta dengan besaran persentasenya. Selain itu, untuk kepentingan diagnosis, pemerintah harus menggratiskan pemeriksaan PCR bagi seluruh masyarakat.