Konferensi Perubahan Iklim di Glasgow, Skotlandia sudah dimulai Senin (1/11/2021). Indonesia sebagai bagian dari para pihak dalam konferensi ini mendorong implementasi pendanaan, di antaranya perdagangan karbon.
Oleh
A Tomy Trinugroho
·3 menit baca
GLASGOW, KOMPAS — Dalam Konferensi Perubahan Iklim di Glasgow, Skotlandia, Indonesia fokus pada tiga isu sangat penting. Pendanaan merupakan salah satu di antaranya yang menjadi penekanan.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong, Senin (1/11/2021), di Glasgow mengatakan, isu finance atau pendanaan sangat krusial. Indonesia hendak berusaha agar negara-negara maju mewujudkan komitmen mereka untuk membantu pendanaan bagi negara berkembang.
”Kita ingin memperjuangkan agar janji negara-negara maju yang tergabung dalam G-7 memenuhi komitmen, yaitu 100 miliar dollar AS per tahun dalam rangka pendanaan iklim,” ujarnya seusai meresmikan pembukaan Paviliun Indonesia di lokasi Konferensi Iklim Glasgow.
Menurut Alue, kalau pendanaan tidak dipenuhi, upaya mitigasi dan adaptasi di negara-negara berkembang tidak dapat terpenuhi. Sebagai perbandingan kebutuhan pendanaan, proyeksi Bappenas yang dipublikasikan pada 2020 menunjukkan, total kebutuhan dana pembangunan rendah karbon di Indonesia mencapai Rp 306 triliun.
Negara-negara maju harus memenuhi janji pembiayaan perubahan iklimnya, seperti Amerika yang berkomitmen memberikan pendanaan sebesar Rp 1.415 triliun.
Selain isu pendanaan, Indonesia juga fokus pada penyelesaian pasal (article) 6 Kesepakatan Paris 2015. Di dalam pasal ini diatur mengenai proses perdagangan karbon di antara negara-negara. Sebuah negara yang belum mampu mengurangi emisi karbon karena biaya yang besar dapat membeli reduksi karbon dari negara yang sudah melampaui target nasional.
”Kalau itu bisa diselesaikan, proses carbon trading bisa berjalan lancar,” kata Alue.
Terkait perdagangan karbon ini, secara terpisah, Koalisi Masyarakat Sipil menilai hal itu sebagai solusi palsu mengatasi krisis iklim. Manajer Aksi dan Pelibatan Publik Greenpeace Indonesia Khalisah Khalid mengatakan, skema perdagangan karbon merupakan praktik greenwashing. ”Setiap perusahaan yang mengumumkan dana untuk melindungi hutan melalui skema carbon offset hanya melakukan greenwashing jika mereka tidak berkomitmen secara sungguh- sungguh untuk menurunkan emisi mereka,” ujarnya.
Manajer Kampanye Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Yuyun Harmono mengatakan, pemerintah masih memiliki pilihan yang jauh lebih menguntungkan, seperti mendorong pendanaan iklim nonpasar. ”Negara-negara maju harus memenuhi janji pembiayaan perubahan iklimnya, seperti Amerika yang berkomitmen memberikan pendanaan sebesar Rp 1.415 triliun (100 miliar dollar AS) setiap tahunnya,” katanya.
Rencana alternatif
Menurut Wakil Menteri Alue Dohong, Indonesia memiliki rencana alternatif jika Pasal 6 Kesepakatan Paris belum bisa terselesaikan, yakni bekerja sama secara bilateral dengan negara yang serius. Ada Amerika Serikat dan Inggris yang dinilai bisa diajak bekerja sama dalam semangat yang terkandung pada Pasal 6 Kesepakatan Paris.
Hal ketiga yang menjadi fokus Indonesia ialah tujuan global dalam hal adaptasi. Adaptasi dinilai penting karena kalau perubahan iklim tidak teratasi, negara kepulauan seperti Indonesia menghadapi ancaman kenaikan muka air laut.
”Banyak pulau tenggelam. Cara adaptasinya, kita harus menanam mangrove di pesisir untuk menahan abrasi akibat kenaikan muka air laut,” ujar Alue.
Kemarin, digelar diskusi tingkat menteri di Paviliun Indonesia. Pejabat yang berbicara, antara lain, Ketua OJK Wimboh Santoso, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, serta Wamen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, serta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga hadir. (ICH)