Optimalkan Berbagai Lini dalam Komunikasi Risiko Penanganan Covid-19
Komunikasi risiko menjadi salah satu kunci keberhasilan menangani krisis yang terjadi di masyarakat, termasuk krisis pada pandemi Covid-19. Strategi komunikasi pun perlu dioptimalkan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam kondisi krisis kesehatan seperti pandemi Covid-19, komunikasi risiko harus terus dilakukan, bahkan mulai dari sebelum krisis terjadi hingga krisis selesai. Pemanfaatan berbagai lini pun diperlukan agar tujuan komunikasi bisa lebih optimal.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan Widyawati di Jakarta, Jumat (29/10/2021), mengatakan, seluruh pemangku kebijakan perlu membedakan antara komunikasi risiko dan komunikasi krisis. Komunikasi risiko perlu dilakukan sejak krisis belum terjadi sampai pascakrisis, sedangkan komunikasi krisis diperlukan saat masa tanggap darurat.
”Kita juga perlu memperhatikan unsur penting dalam komunikasi risiko, yakni kredibilitas dan kepercayaan dari target komunikasi yang akan disasar. Dengan begitu, komunikasi risiko pun efektif dijalankan,” ujarnya.
Dalam situasi pandemi Covid-19, Widyawati menuturkan, Kementerian Kesehatan telah menyusun sejumlah strategi implementasi komunikasi risiko untuk memastikan khalayak yang menjadi sasaran komunikasi bisa memahami kebijakan dan arahan yang dikomunikasikan. Selain itu, komunikasi yang dilakukan juga bisa sekaligus mengubah perilaku untuk menghindari risiko krisis yang dihadapi.
Untuk memastikan keberlanjutan komunikasi risiko yang dijalankan, dasar hukum dan pendanaan juga telah disiapkan. Komunikasi risiko terkait pandemi Covid-19 dijalankan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2019 tentang Peningkatan Kemampuan dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespons Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia.
Widyawati menyampaikan, di era teknologi saat ini, komunikasi risiko tidak bisa hanya dijalankan melalui media komunikasi konvensional. Sekalipun media komunikasi konvensional tetap diperlukan, media komunikasi lain seperti media sosial juga perlu dimanfaatkan secara optimal untuk memperluas target sasaran komunikasi.
Kita juga perlu memerhatikan unsur penting dalam komunikasi risiko, yakni kredibilitas dan kepercayaan dari target komunikasi yang akan disasar. Dengan begitu, komunikasi risiko pun efektif dijalankan.
Adapun produk komunikasi yang sudah dijalankan oleh Kementerian Kesehatan, tambahnya, seperti rilis pers yang diadakan secara rutin setidaknya dua kali seminggu, konten berupa infografis dan videografis yang disampaikan melalui kanal resmi Kementerian Kesehatan, penyelenggaraan lokakarya di radio dan televisi, serta siaran radio kesehatan di akun resmi media sosial Kementerian Kesehatan.
Hoaks
Widyawati menuturkan, pemanfaatan berbagai media komunikasi ini pula yang dibutuhkan untuk menangkal dan mengatasi rumor serta hoaks yang dapat menghambat penanganan pandemi Covid-19. Karena itu, edukasi, klarifikasi, kolaborasi, dan regulasi perlu diperkuat untuk mendukung upaya tersebut.
”Terkadang ketika kita mengeluarkan satu informasi, hoaks yang muncul terkait hal itu bisa sudah lebih dari enam kali. Kecepatan edukasi dan klarifikasi pun dibutuhkan,” tuturnya.
Tenaga Ahli Menteri Kominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa Kementerian Komunikasi dan Informatika Devie Rahmawati menambahkan, sejumlah strategi sudah dilakukan Kemenkominfo dalam menangani Covid-19. Strategi itu mulai dari hulu melalui edukasi dan literasi digital yang kemudian diperkuat dengan pendampingan di komunitas hingga mengatasi dampak di sisi hilir melalui penegakan hukum.
Menurut dia, kolaborasi dengan berbagai pihak diperlukan untuk menangani hoaks. Di sisi hulu, kolaborasi dilakukan dengan mitra jejaring seperti komunitas siber. Kolaborasi tersebut juga dilakukan untuk menemukan hoaks yang beredar di masyarakat.
”Kemenkominfo juga sudah memblokir situs-situs yang memuat unsur hoaks. Itu bisa dilanjutkan sampai proses hukum oleh kepolisian,” kata Devie.