Fenomena La Nina yang memicu hujan dengan intensitas tinggi diprediksi akan terjadi sejak akhir hingga awal tahun. Pengosongan bendungan agar air bisa ditampung secara maksimal menjadi salah satu upaya antisipasi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fenomena La Nina diprediksi akan terjadi sejak November 2021 hingga Februari 2022. Hal itu akan menyebabkan peningkatan curah hujan secara konsisten sehingga berpotensi memicu banjir di sejumlah daerah. Upaya antisipasi pun telah dilakukan seperti mengosongkan bendungan agar volume air bisa ditampung dengan maksimal.
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyampaikan, sejak September dasarian ketiga, anomali suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah telah melewati ambang batas La Nina. Sementara melihat nilai anomali suhu muka laut saat ini, prakiraan terjadinya La Nina juga meningkat.
”Pusat layanan iklim dunia di Amerika, Australia, dan Jepang, memperkirakan La Nina setidaknya akan terjadi pada level moderat hingga Februari 2022. Diprediksikan juga puncak La Nina terjadi pada Januari dan Februari tersebut,” ujarnya dalam rapat koordinasi nasional (Rakornas) mengantisipasi La Nina, secara daring, di Jakarta, Jumat (29/10/2021).
Berdasarkan evaluasi kejadian tahun lalu, lanjut Dwikorita, fenomena La Nina menyebabkan curah hujan meningkat 20-70 persen di seluruh wilayah Indonesia. Saat itu, wilayah Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan bagian selatan, dan Sulawesi Selatan juga mengalami peningkatan curah hujan secara konsisten, terutama sepanjang November 2020 hingga Januari 2021.
Pusat layanan iklim dunia di Amerika, Australia, dan Jepang memperkirakan La Nina setidaknya akan terjadi pada level moderat hingga Februari 2022. Diprediksi juga puncak La Nina terjadi pada Januari dan Februari tersebut.
Dalam memberikan informasi prakiraan cuaca, prediksi, dan peringatan dini, BMKG melakukan sejumlah langkah mulai dari observasi, pemrosesan atau pengolahan data, diseminasi informasi, hingga sampai ke masyarakat. Observasi dilakukan dengan bantuan 40 radar dan ribuan sensor deteksi cuaca yang tersebar di sejumlah titik termasuk bandara.
Dwikorita menekankan agar proses diseminasi informasi dari BMKG ke desa-desa yang berpotensi terdampak bencana hidrometerologi tidak boleh terputus. Hal ini sangat penting sebagai bentuk mitigasi bencana dan upaya mengurangi dampak buruk yang ditimbulkan.
Dwikorita mengakui bahwa rantai informasi dan peringatan dini dari pusat hingga ke tingkat masyarakat kerap terputus. Beberapa penyebab terputusnya informasi ini, antara lain, adalah kendala infrastruktur seperti listrik maupun jaringan telekomunikasi saat cuaca memburuk dan kurangnya sumber daya manusia di daerah bertugas memantau atau mengoordinasikan peringatan dini bencana.
”Permasalahan penyebaran informasi peringatan dini bencana dari kabupaten atau kota ke desa-desa ini perlu segera disiapkan bersama. BMKG saat ini sudah menyiapkan aplikasi ponsel sirine yang bisa berbunyi meskipun ponsel tersebut mati. Namun, perlu petugas untuk mengaktifkan sirine ini di tingkat kabupaten atau kota,” tuturnya.
Selain peringatan dini, menurut Dwikorita, upaya lain yang perlu dipersiapkan untuk mengurangi dampak bencana hidrometeorologi, yakni memeriksa kapasitas tata air dari hulu hingga hilir. Pihak-pihak terkait perlu memastikan kemampuan embung atau waduk sudah maksimal dan tidak terhambat oleh endapan-endapan.
Upaya antisipasi
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono yang turut hadir dalam rakornas menyatakan, untuk mitigasi bencana hidrometeorologi, semua pihak harus mengetahui daerah-daerah yang memiliki potensi banjir sehingga pengawasan dapat dilakukan. Penggunaan data dari BMKG juga perlu diperluas dan dioptimalkan.
Menurut Basuki, Kementerian PUPR telah melakukan sejumlah langkah antisipasi dalam menghadapi La Nina. Langkah tersebut meliputi, antara lain, mengaktifkan satuan tugas penanggulangan bencana untuk memantau semua infrastruktur, khususnya bendungan di Indonesia, guna mengetahui volume banjir yang bisa ditampung. Sampai saat ini terdapat 231 bendungan yang tersebar di sejumlah daerah.
Kementerian PUPR juga melaksanakan standar operasional prosedur siaga bencana dengan mengosongkan 205 bendungan dengan volume tampung sebesar 4,7 miliar meter kubik. Beberapa contoh bendungan yang telah dikosongkan dengan membuka pintu pengeluaran, yakni bendungan Bili-bili di Sulawesi Selatan, bendungan Batutegi di Lampung, dan bendungan Jatiluhur di Jawa Barat.
”Contoh banjir tahun lalu di Kalimantan Selatan, dari 13 kabupaten/kota hanya satu yang kabupaten tidak banjir, yaitu Tapin karena baru selesai dibangun bendungan. Tapin bebas banjir karena air ditampung di bendungan tersebut,” ujarnya.
Selain bendungan, kata Basuki, terdapat juga 12 kolam retensi dengan volume tampung mencapai 6,8 juta meter kubik dan volume tampung 65 juta meter kubik dari bendungan gerak. Saat terjadi banjir, air genangan bisa dimasukkan ke dalam kolam retensi dan baru dikeluarkan secara perlahan ketika cuaca kering.
Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eko Budi Lelono menambahkan, pihaknya telah membuat peta prakiraan wilayah potensi terjadinya gerakan tanah pada November 2021. Peta tersebut telah dilaporkan secara periodik setiap bulan kepada pemerintah daerah. Masyarakat juga bisa mengakses data ini melalui situs resmi badan geologi.
”Kami juga telah membuat monitoring berita kejadian gerakan tanah dan laporan yang menjadi sorotan media disertai rekomendasi teknis. Laporan ini disampaikan kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana, pemerintah daerah, dan lembaga terkait yang menangani kebencanaan geologi,” tambahnya.