Pemanasan Global Bisa Membangkitkan Mikroba Berbahaya
Lapisan tanah beku menyimpan sejumlah mikroba dan menampung beragam senyawa kimia selama ribuan tahun, baik melalui proses alami, kecelakaan, maupun penyimpanan yang disengaja. Ini berbahaya saat es tersebut mencair.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mencairnya permafrost atau tanah beku di belahan bumi utara akibat pemanasan global bisa membawa masalah kesehatan yang serius. Penelitian baru telah mengungkapkan bahwa permafrost yang mencair dengan cepat di Kutub Utara berpotensi melepaskan bakteri resisten antibiotik, virus yang belum ditemukan, bahkan limbah radioaktif dari reaktor nuklir dan kapal selam Perang Dingin.
Permafrost, atau tanah beku permanen, mencakup sekitar 23 juta kilometer persegi di belahan bumi utara. Sebagian besar lapisan es di Kutub Utara berusia hingga satu juta tahun dan, biasanya, semakin dalam, semakin tua usianya.
Selain mikroba, lapisan tanah beku ini telah menampung beragam senyawa kimia selama ribuan tahun, baik melalui proses alami, kecelakaan, maupun penyimpanan yang disengaja. Namun, dengan perubahan iklim yang menyebabkan Kutub Utara memanas lebih cepat daripada bagian dunia lainnya, diperkirakan hingga dua pertiga lapisan es di dekat permukaan bisa hilang pada 2100.
Pencairan permafrost pada umumnya melepaskan gas rumah kaca, yaitu karbon dioksida dan metana, ke atmosfer. Selain itu, hal ini bakal menyebabkan perubahan mendadak pada lanskap, termasuk mengganggu hidrologi.
Saat lapisan es mencair, ada potensi bakteri ini bercampur dengan air lelehan dan menciptakan strain baru yang resisten terhadap antibiotik.
Penelitian yang diterbitkan di jurnal Nature Climate Change dan dirilis pada Senin (25/10/2021) menemukan implikasi memudarnya lapisan es bisa jauh lebih luas. Disebutkan, pencairan permafrost ini berpotensi melepaskan bakteri, virus yang tidak diketahui, limbah nuklir dan radiasi, serta bahan kimia lain yang berbahaya.
Makalah ini menjelaskan lapisan es pada kedalaman lebih dari tiga meter adalah salah satu dari sedikit lingkungan di bumi yang belum terpapar antibiotik modern. Lebih dari 100 mikroorganisme yang beragam di lapisan es dalam Siberia telah ditemukan resisten terhadap antibiotik. Saat lapisan es mencair, ada potensi bakteri ini bercampur dengan air lelehan dan menciptakan strain baru yang resisten terhadap antibiotik.
Risiko lain menyangkut produk sampingan bahan bakar fosil, yang telah diperkenalkan ke lingkungan permafrost sejak awal revolusi industri. Arktik juga mengandung deposit logam alami, termasuk arsenik, merkuri, dan nikel, yang telah ditambang selama beberapa dekade dan telah menyebabkan kontaminasi besar dari bahan limbah di area seluas puluhan juta hektar.
Polutan dan bahan kimia yang sekarang dilarang, seperti insektisida dikloro-difenil-trikloroetana, DDT, yang tertranspor ke Kutub Utara melalui atmosfer dan seiring waktu terperangkap di lapisan es, berisiko meresap kembali ke atmosfer. Selain itu, peningkatan aliran air berarti polutan dapat menyebar secara luas, merusak spesies hewan dan burung serta memasuki rantai makanan manusia.
Ada juga ruang lingkup yang lebih besar untuk pengangkutan polutan, bakteri, dan virus. Lebih dari 1.000 permukiman, baik ekstraksi sumber daya, proyek militer dan ilmiah, telah dibuat di permafrost selama 70 tahun terakhir.
Ancaman nyata
Bahaya kemunculan berbagai penyakit mematikan dari permafrost memang nyata. Musim panas 2016, saat gelombang panas menyapu Eropa dan mencairkan lapisan es di utara, telah memicu penularan kembali bakteri antraks.
Tanah yang mencair dan bergeser memperlihatkan bangkai rusa yang terkubur dan membeku pada 1941. Spora antraks dari tubuh menemukan jalan mereka ke lapisan atas tanah dan air di dekatnya, sebelum diambil oleh ribuan rusa kutub yang bermigrasi dan sedang merumput di daerah tersebut.
Akibatnya, lebih dari dua ribu rusa segera tertular bakteri mematikan dan menyebarkannya ke suku nomaden Nenets yang bepergian bersama rusa kutub dan bergantung pada mereka untuk makanan. Pada akhir Agustus, seorang anak laki-laki berusia 12 tahun meninggal dan sedikitnya 115 lainnya dirawat di rumah sakit karena spora antraks ini.
Penulis utama kajian ini, Kimberley Miner, dari NASA Jet Propulsion Laboratory, mengatakan, ”Kita memiliki pemahaman yang sangat kecil tentang jenis ekstrofil—mikroba yang hidup dalam banyak kondisi berbeda untuk waktu yang lama—memiliki potensi untuk muncul kembali. Ini adalah mikroba yang telah berevolusi bersama dengan hal-hal seperti sloth raksasa atau mamut dan kita tidak tahu apa yang bisa mereka lakukan ketika dilepaskan ke ekosistem kita.”
Diego Fernandez dari European Space Agency (ESA) menambahkan, penelitian ini sangat penting untuk memahami tentang Arktik yang terus berubah. ”Mencairkan permafrost jelas merupakan tantangan besar, tetapi diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengetahui implikasinya,” katanya.
Fernandez menambahkan, sejauh ini NASA dan ESA bergabung untuk mendorong kolaborasi ilmiah di seluruh Atlantik untuk memastikan mengembangkan sains dan pengetahuan yang solid sehingga para pembuat keputusan dipersenjatai dengan informasi yang benar untuk membantu mengatasi masalah ini.