Kurangi Risiko Kesehatan dengan Upaya Lebih Ambisius
Pembangunan rendah karbon serta pencapaian emisi nol yang lebih ambisius menjadi kesempatan untuk mengerem dampak krisis iklim.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim ke-26 di Glasgow, Skotlandia, pada awal November bisa menjadi momentum untuk kembali mendesak setiap negara, termasuk Indonesia, melakukan upaya yang lebih ambisius dalam mengatasi krisis iklim. Upaya lebih ambisius ini dibutuhkan agar Bumi tak terjebak dalam kondisi perburukan risiko kesehatan, krisis pangan, ataupun bencana sebagai imbas penghangatan suhu global yang melebihi 1,5 derajat celsius.
Laporan terbaru dari Lancet Countdown menyoroti pentingnya setiap negara untuk meningkatkan upaya penanggulangan krisis iklim yang lebih ambisius guna mencegah dampak kesehatan yang ditimbulkan. Sebab, krisis iklim tidak hanya berdampak pada aspek lingkungan ataupun ekonomi, tetapi juga memicu peningkatan potensi wabah demam berdarah dengue, chikungunya, dan zika. Momen pemulihan pascapandemi Covid-19 bisa menjadi momentum mengarahkan pembangunan yang lebih bersih atau rendah karbon (Kompas, 22 Oktober 2021).
Menanggapi laporan dari Lancet tersebut, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya, Jumat (22/10/2021), pun menegaskan bahwa perubahan iklim telah menjadi isu global yang berdampak pada semua aspek kehidupan, termasuk kesehatan. Dengan adanya masalah kesehatan ini pada akhirnya kualitas hidup manusia juga akan terganggu.
”Setelah memengaruhi kehidupan manusia, hal ini juga akan berimbas ke perekonomian. Setiap negara, termasuk Indonesia, tidak mungkin ekonominya akan maju dan kualitas hidup manusia meningkat jika isu perubahan iklim tidak bisa direspons dengan baik,” ujarnya.
Menurut Tata, laporan Lancet Countdown menunjukkan dampak perubahan iklim akan sangat dirasakan oleh negara-negara dengan indeks pembangunan manusia (IPM) yang rendah. Masyarakat di negara tersebut akan menghadapi ancaman ganda. Selain sudah menghadapi kesulitan ekonomi, masyarakat juga akan kian terpuruk akibat masalah kesehatan yang muncul dari dampak perubahan iklim.
Pada aspek lingkungan, kata Tata, berbagai kejadian alam akan semakin sulit terprediksi akibat perubahan iklim. Bentuk bencana baru akan sangat memungkinkan terjadi ke depan. Badai tropis Seroja yang melanda Nusa Tenggara Timur pada awal April 2021 contohnya.
Sedangkan fenomena yang sudah pasti akan terjadi yaitu peningkatan suhu dan kelembaban. Untuk negara tropis, peningkatan suhu dan kelembaban akan mengganggu perekonomian dari sektor luar ruangan, seperti pertanian dan perikanan.
”Studi menunjukkan bahwa hal ini akan sangat berdampak pada 30 juta petani di Indonesia dan memengaruhi perekonomian negara yang masih sangat bergantung pada sektor pertanian,” tuturnya.
Kita harus membangun ulang ekonomi kita, mengingat selama ini isu lingkungan kerap diabaikan.
Tata menyatakan, menjelang Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim ke-26 (COP 26) di Glasgow, Indonesia harus merespons laporan tersebut dengan membuat kebijakan yang berdampak langsung dalam mengatasi krisis iklim. Beberapa kebijakan yang bisa diterapkan langsung saat ini yaitu berani mengambil kebijakan disinsentif bahan bakar fosil, terutama batubara, dan menetapkan instrumen pajak karbon.
”Dalam jangka menengah dan panjang, kita harus membangun ulang ekonomi kita mengingat selama ini isu lingkungan kerap diabaikan. Kita harus melakukan pembangunan rendah karbon dengan transisi energi, penggunaan sumber daya secara efisien melalui ekonomi sirkular, dan menerapkan ekonomi secara inklusif,” tuturnya.
Agenda di COP 26
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi mengatakan, saat menghadiri COP 26 nanti, Indonesia mempunyai empat misi utama, yaitu implementasi dokumen kontribusi nasional (NDC), pemenuhan atau penyelesaian Paris Rule Book, komitmen strategi jangka panjang untuk rendah karbon dan ketahanan iklim (LTS-LCCR) 2050, serta menuju emisi nol.
”Dalam dokumen pembaruan NDC, Indonesia meletakkan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sebagai dua elemen yang sama penting. Dokumen LTS-LCCR memberikan arah visi keberlanjutan Indonesia untuk periode jangka panjang dan mencapai keseimbangan pengurangan emisi dengan pembangunan ekonomi,” ujar Laksmi yang juga menjadi National Focal Point Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC).
Menurut dia, pemenuhan Paris Rule Book sangat diperlukan bagi implementasi Persetujuan Paris atau Kesepakatan Paris (Paris Agreement). Pemenuhan ini harus dilakukan melalui tercapainya kesepakatan untuk agenda perundingan, antara lain kerangka transparansi, pendanaan, adaptasi, dan kerangka waktu umum (common time frames).
”Dalam implementasi kerangka transparansi, KLHK telah mengembangkan berbagai macam modalitas atau sistem pendukung untuk memastikan upaya NDC bisa ditelusuri dan dilaporkan. Sistem pendukung ini terus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan,” katanya.