Skenario Nol Emisi Berdampak Positif pada Perekonomian Indonesia
Skenario nol emisi tidak hanya mampu mengatasi permasalahan lingkungan, tetapi juga dapat mewujudkan visi Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2045.
Oleh
Pradipta Pandu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil simulasi terbaru menunjukkan bahwa kebijakan atau skenario nol emisi dapat mendukung pembangunan rendah karbon sebagai upaya menanggulangi dampak perubahan iklim. Apabila dilakukan dengan optimal, kebijakan ini tidak hanya akan berdampak pada aspek lingkungan, tetapi juga ekonomi Indonesia.
Hal tersebut terangkum dalam laporan Low Carbon Development Indonesia (LCDI) yang dirilis pada Rabu (13/10/2021) tentang ekonomi hijau dan pembangunan rendah karbon yang berkelanjutan. Berbagai hasil dari simulasi dalam laporan ini dilakukan hingga 31 Juli 2021.
Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Arifin Rudiyanto mengemukakan, terdapat sejumlah temuan kunci dalam laporan LCDI berdasarkan hasil simulasi. Temuan pertama adalah skenario nol emisi (net zero emissions) mampu mewujudkan visi Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2045.
”Skenario net zero emissions juga memungkinkan rasio pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang lebih besar 43,1 hingga 56,1 persen pada 2050. Ini bisa tercipta dari upaya pemulihan dan perlindungan lingkungan untuk meningkatkan daya dukung dan investasi yang lebih besar lagi,” ujarnya dalam diskusi daring, Rabu (13/10/2021).
Secara bertahap hingga 2030 peta jalan ini sudah sesuai dengan NDC di sektor listrik dan RUPTL.
Temuan lainnya terkait simulasi pembangunan rendah karbon ini adalah pentingnya menerapkan program energi efisiensi yang sejalan dengan peningkatan energi baru terbarukan (EBT). Hal ini dilakukan untuk menekan pertumbuhan kebutuhan energi yang diperkirakan mencapai 9,3 terra joule pada 2060 atau meningkat tiga kali lipat dari saat ini.
Arifin menegaskan bahwa potensi kerugian dan dampak perubahan iklim semakin memperparah kondisi Indonesia pada masa mendatang. Dari hasil kajian Swiss Reinsurance Group pada 2021, peningkatan suhu 2-2,6 derajat celsius pada 2050 dapat mengakibatkan penurunan PDB Indonesia hingga 16,7-30,2 persen.
Sementara hasil studi dari Bappenas, tutupan hutan Indonesia diperkirakan berkurang hingga menjadi 45 persen pada 2045, krisis air semakin meningkat 9,6 persen, dan penurunan kawasan habitat kunci bagi spesies terancam punah menjadi 49,7 persen.
Menurut Arifin, Bappenas menetapkan skenario net zero emissions melalui pembangunan rendah karbon dengan mempertimbangkan kendala politis, teknis, dan kelembagaan. Melalui penerapan kebijakan net zero emissions, puncak emisi gas rumah kaca (GRK) akan terjadi pada 2024, yakni 1,8 giga ton setara karbon dioksida.
Namun, dengan penerapan kebijakan net zero emissions, emisi GRK ini kemudian akan mengalami penurunan. Selama periode 2021-2060, emisi Indonesia diperkirakan akan menurun sebesar 87-98 giga ton setara karbon dioksida.
Skenario nol emisi juga akan didukung oleh kebijakan di sektor energi, lahan, limbah, dan fiskal. Pada sektor energi, kebijakan yang diambil adalah penurunan intensitas energi secara bertahap dari 1 persen hingga 6 persen per tahun, penggunaan energi EBT mendekati 100 persen pada 2060, dan transisi kendaraan listrik hingga 95 persen.
Kebijakan di sektor lahan meliputi reforestasi hutan hingga 250.000 hektar per tahun, restorasi gambut, rehabilitasi mangrove, dan peningkatan potensi penyerapan karbon di lahan perkotaan. Sementara di sektor limbah di antaranya melakukan efisiensi sumber daya alam untuk produksi dan penghapusan subsidi energi untuk sektor fiskal.
Sektor energi
Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Hendra Iswahyudi mengatakan, dalam 10 tahun mendatang akan ada tambahan energi sebanyak 40,5 gigawatt yang 51,6 persen di antaranya merupakan EBT. Adapun 48,4 persen masih menggunakan energi fosil.
Menurut Hendra, energi fosil masih digunakan Indonesia karena sudah ada kontrak pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang harus tetap dilanjutkan. Namun, ia menegaskan bahwa Indonesia tidak akan memperpanjang izin atau membuka PLTU baru setelah kontrak tersebut selesai.
”Indonesia sudah memiliki peta jalan menuju net zero emission (emisi gas rumah kaca yang dilepaskan dari aktivitas/buatan manusia seluruhnya terserap kembali). Secara bertahap hingga 2030 peta jalan ini sudah sesuai dengan NDC (dokumen kontribusi nasional) di sektor listrik dan RUPTL (rencana usaha penyediaan tenaga listrik). Kolaborasi dengan berbagai kementerian lain juga sangat perlu mengingat penurunan emisi tidak hanya dari sektor energi,” katanya.
Salah satu agenda terdekat yang akan dilakukan tahun ini adalah mengesahkan peraturan presiden (perpres) tentang EBT dan perpres penghentian batubara. Tahun ini, pemerintah juga terus berupaya melakukan proses co-firing PLTU atau penambahan biomassa sebagai bahan bakar pengganti parsial atau bahan campuran batubara.
Ketua Indonesia Oil dan Gas Institute Luky A Yusgiantoro menambahkan, inovasi dari dalam ataupun luar negeri dapat digunakan untuk menciptakan teknologi dalam mengurangi limbah atau jejak karbon. Teknologi juga menjadi hal yang sangat penting dalam kegiatan hulu migas.
”Salah satu teknologi yang sudah kami pasang di fasilitas kami adalah solar pv. Kami menganggap bahwa kegiatan hulu migas ini komplementer dengan EBT. Untuk jangka panjang, kami juga akan menerapkan teknologi CCUS atau penangkapan dan penyimpanan karbon. SKK migas masih berupaya meluncurkan program ini,” tuturnya.