Kerja Sama Periset dan Industri untuk Kemandirian Produksi Alat Kesehatan
Kolaborasi periset atau peneliti dengan kalangan industri akan bisa menghasilkan karya buatan mandiri yang bermanfaat bagi masyarakat. Ini termasuk pada pembuatan beragam alat kesehatan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kolaborasi antara akademisi dan industri merupakan keniscayaan untuk mewujudkan kemandirian alat kesehatan di Indonesia. Namun, perbedaan persepsi serta masih adanya ego sektoral membuat kolaborasi tersebut sulit dicapai.
Wakil Direktur Bidang Riset dan Inovasi Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Budi Wiweko, di Jakarta, Selasa (12/10/2021), mengatakan, perbedaan frekuensi antara akademisi dan industri menjadi kendala utama yang dihadapi dalam proses hilirisasi hasil riset di perguruan tinggi. Akademisi biasanya akan menilai hasil riset yang dihasilkan sudah baik. Namun, ketika ditawarkan ke industri, hasil riset tersebut belum sesuai dengan kebutuhan pasar.
”Jadi, frekuensinya (antara akademisi dan industri) tidak sama. Karena itu, kita perlu adanya technology transfer centers (TTC) yang dapat menengahi akademisi, industri, pemerintah, investor, dan komunitas untuk mendukung akselerasi kemandirian alat kesehatan kita,” tuturnya.
Kerja sama dari semua pihak sangat dibutuhkan untuk mempercepat kemandirian alat kesehatan di Indonesia.
Oleh karena itu, Budi menambahkan, pembentukan Imega atau IMERI-Gakeslab menjadi inisiatif yang tepat. Imega merupakan kolaborasi antara Imeri dan Gakeslab (Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium) dalam proses hilirisasi hasil riset alat kesehatan dan laboratorium yang dilakukan oleh periset di Universitas Indonesia.
Harapannya, jarak komunikasi yang selama ini terjadi antara akademisi dan industri bisa diatasi melalui inisiatif tersebut. Dalam proses pengembangan riset pun industri sudah dilibatkan sejak awal agar produk riset yang dihasilkan bisa sesuai dengan kebutuhan pasar.
Direktur IMERI-FKUI Badriul Hegar menambahkan, pandemi Covid-19 telah membuktikan bahwa kemandirian bangsa terkait alat kesehatan amat penting. Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan produk impor saja. Dari data laporan neraca dagang alat kesehatan Kementerian Kesehatan 2019, 90 persen alat kesehatan di Indonesia masih diimpor.
Ketua Gakeslab Indonesia H Sugihadi menuturkan, industri pun telah berkomitmen mendukung pencapaian kemandirian alat kesehatan di Indonesia. Sesuai target nasional, diharapkan pada 2030 produk alat kesehatan buatan dalam negeri bisa mencapai 30 persen.
Gakeslab pun mulai melakukan penjajakan dengan beberapa perguruan tinggi di Indonesia dalam proses hilirisasi riset dan teknologi alat kesehatan. Selain Universitas Indonesia, ada 10 perguruan tinggi lain yang bekerja sama, antara lain Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro, Universitas Sebelas Maret, ATMI Surakarta, Universitas Airlangga, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Padjadjaran.
”Kerja sama dari semua pihak sangat dibutuhkan untuk mempercepat kemandirian alat kesehatan di Indonesia. Kerja sama ini pun tidak hanya dilakukan dengan perguruan tinggi, tetapi juga lembaga lain, seperti persatuan insinyur Indonesia, komunitas produksi bahan baku dan komponen, serta lembaga terkait lainnya,” ucap Sugihadi.
Ia menambahkan, dukungan dari pemerintah juga sangat dibutuhkan untuk kemandirian alat kesehatan di Indonesia. Itu terutama terkait kepastian dalam pengadaan dan pembelian.
Komitmen ini pun diharapkan tidak hanya terkait pengadaan alat kesehatan untuk penanganan Covid-19 saja, tetapi juga alat kesehatan lainnya. Untuk nilai investasi, industri telah meningkatkan anggaran terkait pengembangan alat kesehatan dalam negeri. Selama 5 tahun ke belakang, total investasi sebesar Rp 500 miliar. Sementara untuk 2 tahun ke depan, nilai investasi yang diproyeksikan sebagai komitmen industri mencapai Rp 1,7 triliun.
Sekretaris Jenderal Gakeslab Indonesia Randy H Teguh mengatakan, sinkronisasi dan konsistensi regulasi terkait pengadaan alat kesehatan dalam negeri juga diperlukan. Berbagai regulasi sebenarnya sudah ada, bahkan Indonesia memiliki regulasi alat kesehatan yang terbaik di Asia Tenggara. Namun, sinkronisasi terkait implementasi regulasi tersebut masih kurang.