Persoalan kekurangan alat pelindung diri bagi tenaga medis terus terjadi di tengah pandemi Covid-19. Untuk memenuhi kebutuhan itu, para produsen alat pelindung diri kesulitan mendapat bahan baku sesuai standar.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
Pengadaan bahan baku untuk produksi alat pelindung diri atau APD bagi tenaga medis masih mengandalkan impor karena industri dalam negeri belum memenuhi standar. Pendekatan antarpemerintah atau G2G dengan negara produsen bahan baku menjadi solusi.
Sebagaimana diberitakan Kompas.id, Senin (20/4/2020), sejumlah tenaga kesehatan yang berada di garda depan belum mendapatkan perlindungan yang memadai setelah hampir dua bulan sejak kasus Covid-19 dilaporkan terjadi di Indonesia. Banyak tenaga kesehatan terinfeksi saat melayani pasien, bahkan puluhan orang di antaranya meninggal dunia.
Menurut Kepala Bidang I Promosi Produk Dalam Negeri Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki) Erwin Hermanto, permintaan bahan baku APD berstandar internasional melonjak di pasar global. ”Posisi Indonesia sama seperti negara lain yang membutuhkan bahan baku. Di sisi lain, industri dalam negeri belum mampu memproduksi bahan baku untuk APD yang berstandar EN14126 dan EN13795,” tuturnya, di Jakarta, Jumat (17/4/2020).
Posisi Indonesia sama seperti negara lain yang membutuhkan bahan baku. Di sisi lain, industri dalam negeri belum mampu memproduksi bahan baku untuk APD yang berstandar EN14126 dan EN13795.
Sebelumnya, Erwin menuturkan, lonjakan permintaan Indonesia terhadap bahan baku APD berstandar medis disebabkan pandemi Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona baru. Sebelum pandemi itu, APD berstandar medis belum jadi sorotan sehingga permintaan rumah sakit medis berkisar puluhan ribu unit per bulan dan berdampak pada kebutuhan bahan baku yang tak setinggi saat ini.
Rendahnya rekam jejak permintaan bahan baku untuk memproduksi APD berstandar medis itu membuat daya industri alat kesehatan Indonesia tak cukup kuat bersaing dengan negara lainnya. Oleh sebab itu, pelaku industri yang memproduksi APD mengharapkan fasilitas G2G dari Pemerintah Indonesia ke negara produsen agar industri dapat memperoleh bahan baku.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam menyatakan, pemerintah tengah melakukan pendekatan G2G dengan negara produsen bahan baku. Langkah pendekatan ini juga memuat kemudahan ketentuan dalam larangan terbatas impor bahan baku untuk APD dan masker.
Khayam menambahkan, pemerintah juga mengupayakan agar jalur impor bahan baku tak terganggu oleh kebijakan karantina atau lockdown di negara asal. Di dalam negeri, jalur transportasi dan logistik tak boleh terganggu oleh kebijakan pembatasan sosial berskala besar di tingkat pemerintah daerah.
Kemudahan impor dan logistik itu dibutuhkan karena Indonesia kekurangan bahan baku bahan baku untuk APD dan masker. Dalam rangka memenuhi kekurangan bahan baku yang berupa meltblown dan spunbond, Khayam menyebut, Indonesia mesti mengimpor dari Korea Selatan, Taiwan, dan China.
Kementerian Perindustrian mencatat, kapasitas produksi industri dalam negeri untuk menghasilkan spunbond dan metblown sebagai bahan baku APD sebanyak 13.084 ton per bulan. Kapasitas ini secara total berasal dari 14 produsen.
Sebagai salah satu langkah mengatasi kekurangan tersebut, Khayam menuturkan, berdasarkan kesepakatan tim pakar, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang berkantor di Jakarta, dan Kementerian Kesehatan, kain jenis woven dapat digunakan untuk bahan baku APD dengan standar minimum lulus uji water impact AATCC42. Industri tekstil telah memproduksi kain untuk bahan baku APD itu dan lulus uji dengan kapasitas produksi 3 juta meter per minggu.
Peningkatan produksi
Kementerian Perindustrian mendata, Indonesia memiliki lima pelaku industri yang memproduksi APD berstandar medis. Secara total, kapasitas produksi kelima industri tersebut mencapai 855.000 unit APD per bulan.
Untuk memenuhi kebutuhan penanganan Covid-19 saat ini, Khayam mengatakan, pemerintah mendorong 31 pelaku industri tekstil dan pakaian untuk memproduksi dengan kapasitas total mencapai 17,62 juta unit APD per bulan sejak April 2020. Artinya, kapasitas total industri dalam negeri untuk memproduksi APD sebanyak 18,47 juta unit.
Agar mempermudah industri dalam berproduksi, pemerintah memberikan relaksasi perizinan alih usaha bagi industri tekstil dan produk tekstil yang akan memproduksi APD dan masker, baik berstandar medis maupun nonmedis, sehingga mendapat fasilitas pengecualian izin edar. Pemerintah juga menanggung Pajak Pertambahan Nilai (PPn) industri yang menggunakan bahan baku dari dalam negeri.
Sebagaimana diberitakan Kompas.id, Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito, Sabtu (4/4), menyampaikan, bahan baku APD, khususnya baju medis, selama ini tergantung dari impor dengan jumlah terbatas. Terlebih, bahan APD gaun dengan bahan baku impor hanya dapat digunakan sekali pakai.
Kini, Indonesia memiliki inovasi bahan baku alternatif untuk memproduksi APD, yakni polyurethane dan polyester, yang dapat digunakan berulang dengan proses pencucian secara benar. Bahan pengganti tersebut dapat digunakan untuk pembuatan berbagai tipe baju gaun medis, baik jenis gaun terusan maupun jenis jumpsuit coverall.
Untuk menentukan standar dan pemenuhan produksi APD, gugus tugas bekerja sama dengan berbagai lembaga, yakni WHO Indonesia, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Asosiasi Pertekstilan, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia, Perhimpunan Pengendalian Infeksi Indonesia, serta ahli teknik kimia Institut Teknologi Bandung.
”Kami telah menemukan bahwa bahan baku pengganti yang sesuai dengan standar WHO cukup melimpah di Indonesia. Bahan baku tersebut diproduksi oleh industri tekstil dalam negeri,” ujar Wiku, yang juga Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Untuk kapasitas produksi APD nasional, kata Wiku, diperkirakan mampu mencapai 17 juta gaun medis per bulan, melebihi kebutuhan nasional sekitar 5 juta gaun medis per bulan. Produksi gaun medis setidaknya akan melibatkan 31 perusahaan tekstil dan 2.900 industri garmen nasional.