Rambu Bersolek agar Kebun Raya Bogor Tak Sekadar Cantik
Kebun Raya Bogor, pusat konservasi tumbuhan tertua di Asia Tenggara, Kebun Raya Bogor kini sedang bersolek. Namun, upaya mempercantik ini perlu memerhatikan rambu-rambu konservasi dan penelitian.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·6 menit baca
Selama 204 tahun berdiri sebagai pusat konservasi tumbuhan tertua di Asia Tenggara, Kebun Raya Bogor kini mulai bersolek untuk menarik minat para pengunjung datang dan mempelajari berbagai jenis koleksi tumbuhan. Namun, upaya mempercantik dan memodernisasi Kebun Raya Bogor ini perlu memerhatikan rambu-rambu agar marwah konservasi, penelitian, hingga edukasi tetap terjaga.
Pembukaan kembali Kebun Raya Bogor (KRB) untuk umum setelah sempat ditutup sejak Juni hingga akhir Agustus 2021 karena lonjakan kasus Covid-19 tidak disia-siakan oleh Lulu (49). Wanita asal Surabaya, Jawa Timur, yang baru pertama kali mengunjungi KRB ini penasaran dengan pusat konservasi tumbuhan terbesar di Indonesia.
“Saya dapat rekomendasi untuk mengunjungi Kebun Raya Bogor dari instagram dan sepertinya tempatnya memang menarik. Suasana di Kebun Raya Bogor hampir sama dengan wisata di Batu, Jawa Timur,” ujarnya, Minggu (3/10/2021).
Alasan yang hampir serupa untuk mengunjungi KRB juga disampakan Nisa (24), warga Jakarta. Bersama kedua temannya, ia mengunjungi KRB untuk melepas penat dari hiruk pikuk ibukota. Mengunjungi KRB yang merupakan ruang terbuka hijau juga dinilai menjadi pilihan tempat untuk berekreasi di tengah pandemi karena berada di luar ruangan.
Atraksi dengan insentitas lampu yang tinggi dikhawatirkan akan mengganggu fungsi serangga polinator dan hewan penyerbuk lainnya di malam hari.
Baik Lulu, Nisa, dan mayoritas pengunjung lainnya memiliki satu kesamaan dalam mengunjungi KRB. Mereka datang dengan tujuan utama yakni rekreasi. Setelah pulang dari KRB, mereka berharap bisa mendapat penyegaran fisik maupun mental setelah penat dengan berbagai rutinitas harian.
Pada dasarnya, seluruh kebun raya yang ada di Indonesia memiliki lima fungsi utama yakni konservasi, penelitian, edukasi, wisata ilmiah, dan jasa lingkungan. Namun, sebagian besar masyarakat belum sepenuhnya mengetahui fungsi utama kebun raya. Mayoritas pengunjung KRB dan kebun raya lainnya hanya mengedepankan aspek rekreasi.
Karakteristik pengunjung KRB yang hanya mengedepankan rekreasi juga diakui oleh Direktur Sales dan Marketing PT Mitra Natura Raya (MNR) Bayu Sumarijanto. MNR merupakan mitra Pusat Penelitian Konservasi dan Kebun Raya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang sekarang melebur menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Menurut Bayu, dari hasil survei yang dilakukan MNR, 90 persen responden yang merupakan pengunjung KRB tidak mendapatkan aspek edukasi setelah mengunjungi pusat konservasi tumbuhan ini. Hal inilah yang mendasari MNR membuat berbagai wisata edukasi di KRB. Dengan persetujuan BRIN, MNR juga memperbaiki berbagai infrastruktur, melakukan modernisasi, dan mengembangkan atraksi untuk tetap menarik minat para pengunjung.
Selama pandemi, KRB mengembangkan kelas edukasi berkebun, tur virtual, dan memindai penanda tanaman (plant tag) pada koleksi tanaman untuk mengetahui spesies maupun informasi yang lebih detail. Tur virtual dikembangkan karena adanya keterbatasan kunjungan selama pandemi terutama bagi para pelajar. Sejak 2020 sampai akhir April 2021, sudah ada 6.000 siswa yang mengikuti tur virtual.
Upaya revitalisasi juga dilakukan KRB terhadap berbagai fasilitas dan lanskap khususnya Taman meksiko dan akuatik. Hal ini bertujuan untuk menyampaikan pesan konservasi dan edukasi serta menjaga koleksi di taman tersebut, termasuk beberapa spesies tanaman iklim kering yakni Cactus cereusrepandus dan Jatropha padagrica.
Wisata Glow
Selain itu, KRB juga akan mengadakan wisata edukasi malam bertajuk Glow yang bernuansa digital. Para pengunjung nantinya dapat mengenal lebih dekat tanaman yang berbunga pada malam hari dan mengenal serta berbagai jenis serangga dan binatang lain yang membantu penyerbukan. Glow terdiri dari enam zona dan setiap zona memiliki pesan konservasi.
“Pengembangan di KRB dilakukan secara terbatas dan tetap mengedepankan aspek konservasi serta edukasi. Atraksi Glow yang baru dikembangkan ini bukan hanya sekadar pesta lampu dan hingar bingar, tetapi tetap terdapat pesan konservasi,” ujar Bayu.
Pembuatan Glow ini pun disebut sekaligus sebagai desain riset terkait paparan cahaya di malam hari pada tumbuhan. Ini akan dibandingkan dengan kebun raya lain (Kompas, 2 Oktober 2021).
Pengembangan atraksi dan perbaikan infrastruktur di KRB ini mendapat tanggapan dari sejumlah mantan kepala kebun raya Indonesia. Mereka menyurati BRIN dan MNR dan memandang bahwa pengembangan KRB semakin jauh dari marwahnya sebagai tempat dengan fungsi utama konservasi, penelitian, edukasi, wisata ilmiah, dan jasa lingkungan.
Dalam surat tersebut, sejumlah masukan yang dianggap penting untuk ditindaklanjuti antara lain meninjau kembali rencana atraksi Glow. Pengelola juga perlu menghentikan pengecoran jalan gico karena dinilai akan mengurangi resapan air yang diperlukan oleh tumbuhan.
Kepala Kebun Raya Bogor 1997-2003 Dedy Darnaedi dalam diskusi daring, Rabu (29/9), mengatakan, kondisi kebun raya saat malam sangat berbeda dengan siang hari. Pada malam hari, kebun raya sangat sunyi dan banyak serangga yang membantu penyerbukan. Atraksi dengan insentitas lampu yang tinggi dikhawatirkan akan mengganggu fungsi serangga polinator dan hewan penyerbuk lainnya di malam hari.
Dedy menegaskan, masukan tersebut disampaikan semata-mata bentuk bentuk kepedulian para peneliti terhadap keberlangsungan kebun raya. Sebab, kebun raya merupakan benteng terakhir untuk menjaga keanekaragaman spesies tumbuhan di Indonesia.
Guru Besar Bidang Rekreasi Alam dan Ekowisata IPB University Hariani Muntasib memandang bahwa selama ini banyak wisata yang belum mengedepankan aspek edukasi maupun penelitian. Padahal, potensi pengembangan wisata edukasi di Indonesia khususnya kebun raya sangat tinggi. Dalam pengembangannya, lima fungsi utama kebun raya juga tidak boleh dipisahkan.
“Kebun raya adalah arena untuk mengedukasi masyarakat betapa luar biasanya keanekaragaman hayati Indonesia mulai tanaman obat hingga pohon. Alam-lah yang seharusnya bicara kepada pengunjung. Jadi potensi ini sangat tinggi asalkan skema programnya benar-benar dikembangkan,” katanya.
Mengingat pentingnya segala entitas yang terdapat di kebun raya ini, Hariani berpendapat seharusnya KRB tidak dikembangkan sebagai wisata massal yang murah. Sementara selama ini, KRB dipandang hanya dikembangkan sebagai wisata massal yang hanya berfokus pada peningkatan jumlah pengunjung.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menuturkan, kegiatan komersial di kebun raya sudah ada sejak dulu seperti pembangunan kafe, tempat penginapan, hotel, dan fotografi komersil. Namun, hal yang membedakan saat ini yaitu komersialisasi kebun raya dilakukan oleh mitra dengan relasi bisnis yang jelas. Ini dilakukan agar pendapatan negara lebih optimal serta pengelolaannya transparan dan akuntabel.
Sementara terkait dengan atraksi Glow, program tersebut terinspirasi dari berbagai kebun raya di luar negeri yang mengadakan wisata malam. Kebun raya di dunia yang memiliki program serupa yakni Desert Botanical Garden (Phoenix, Arizona), Singapore Botanic Gardens (Singapura), Fairchild Tropical Botanic Garden (Miami, AS), Atlanta Botanical Garden (Atlanta), dan Botanical Garden Berlin (Jerman).
Sebagai kebun raya tertua dan terlengkap koleksinya di Asia Tenggara, sudah sepatutnya upaya komersialisasi KRB tidak melenceng dari aspek konservasi. Menurut sejumlah pihak, saat ini sedang dilakukan kajian terkait pengembangan KRB ini. Kita perlu terus merawat agar kelestarian dan keseimbangan fungsi utama pusat konservasi dengan lebih dari 12.000 spesimen tumbuhan tersebut tetap terjaga.