Fenomena gelombang atmosfer Rossby Ekuatorial dan Kelvin teridentifikasi aktif di sekitar wilayah Indonesia, termasuk di wilayah Sumatera Utara, Kalimantan, Sulawesi Utara, dan sebagian Jawa.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gelombang atmosfer Rossby Ekuatorial dan Kelvin terdeteksi aktif di sekitar Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Musim pancaroba yang diikuti kemunculan gelombang atmosfer ini berpotensi memicu cuara ekstrem dalam beberapa hari ke depan.
Peringatan dini cuaca ekstrem ini dikeluarkan oleh Kedeputian Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada Jumat (8/10/2021). Berdasarkan analisis curah hujan pada dasarian III atau 10 hari ketiga di bulan September 2021, sebanyak 11,99 persen wilayah Indonesia sudah masuk musim hujan dan sebagian besar wilayah masih mengalami musim kemarau.
Pelaksana tugas Deputi Klimatologi BMKG Urip Haryoko menyebutkan, berdasarkan analisis dinamika atmosfer, beberapa hari ke depan, fenomena gelombang atmosfer Rossby Ekuatorial dan Kelvin teridentifikasi aktif di sekitar wilayah Indonesia, termasuk di wilayah Sumatera Utara, Kalimantan, Sulawesi Utara, dan sebagian Jawa.
Gelombang Rossby Ekuatorial dan Gelombang Kelvin adalah fenomena dinamika atmosfer yang mengindikasikan adanya potensi pertumbuhan awan hujan dalam skala yang luas di sekitar wilayah fase aktif yang dilewatinya. Gelombang Kelvin bergerak dari arah Samudra Hindia ke arah Samudra Pasifik melewati wilayah Indonesia.
Terpantau dua depresi tropis yang berada di Laut China Selatan dan Samudra Pasifik Timur Filipina yang masing- masing cenderung menetap dan menghasilkan kecepatan angin hingga 30 knot.
Sebaliknya, fenomena Gelombang Rossby bergerak dari arah Samudra Pasifik ke arah Samudra Hindia dengan melewati wilayah Indonesia. Sama halnya seperti Gelombang Kelvin, ketika Gelombang Rossby aktif di wilayah Indonesia, dapat berkontribusi pada peningkatan pertumbuhan awan hujan di beberapa wilayah Indonesia.
Menurut BMKG, kondisi atmosfer di sebagian besar wilayah Indonesia masih cukup basah untuk sepekan ke depan, terutama di wilayah barat dan tengah. Sementara itu, pola belokan dan perlambatan kecepatan angin (konvergensi) yang dapat mengakibatkan peningkatan potensi pertumbuhan awan hujan teridentifikasi masih terjadi di beberapa wilayah Indonesia.
Suhu muka laut dan anomali suhu muka laut juga terpantau masih hangat di sebagian besar perairan di Indonesia. Hal ini dapat mendukung peningkatan suplai uap air sebagai sumber pembentukan awan-awan hujan secara regional.
Selain itu, saat ini juga terpantau dua depresi tropis yang berada di Laut China Selatan (1.000 hectopascal atau hpa) dan Samudra Pasifik Timur Filipina (1.002 hpa) yang masing-masing cenderung menetap dan menghasilkan kecepatan angin hingga 30 knot. Kedua fenomena ini sangat memengaruhi pola angin di wilayah Indonesia bagian utara.
Tarikan massa udara yang cukup kuat disebabkan oleh badai tropis tersebut menyebabkan peningkatan curah hujan di beberapa wilayah Indonesia, khususnya Sumatera bagian utara, Kalimantan bagian utara, dan Sulawesi bagian utara. Berdasarkan kondisi tersebut, BMKG memprakirakan potensi hujan sedang-lebat, yang dapat disertai kilat atau petir serta angin kencang dalam periode 7-13 Oktober 2021, terdapat di sejumlah wilayah Indonesia, mulai dari Aceh hingga Papua. Namun, daerah yang perlu mewaspadai banjir terutama Kabupaten Dogiyai, Mimika, Nabire, dan Paniai di Papua.
Banjir dengan kategori menengah juga berpeluang terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Maluku, Papua Barat, dan Papua.
Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto mengatakan, dampak ekstrem terutama berpeluang terjadi di Sumatera bagian tengah dan selatan, serta wilayah Indonesia bagian utara. ”Dampaknya akan menguat sekitar tanggal 14-20 Oktober,” katanya.
Matahari di atas Jawa
Sementara itu, mulai 8 Oktober hingga 14 Oktober mendatang, Matahari berada di atas Pulau Jawa. Fenomena ini terjadi karena sumbu rotasi Bumi yang miring 66,6 derajat terhadap ekliptika.
Peneliti Pusat Riset Sains Antariksa (Pussainsa) Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa (atau dulu Lapan) pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Andi Pangerang, mengatakan, situasi ini membuat Matahari tidak selalu berada di atas garis katulistiwa (lintang 0 derajat), tetapi berada di lintang 23,4 derajat Lintang Utara hingga 23,4 derajat Lintang Selatan. Wilayah yang terletak di antara dua garis balik ini memungkinkan akan mengalami Matahari di atas tempat tersebut ketika tengah hari sebanyak dua kali setahun.
”Pulau Jawa terletak di antara lintang 6-8 derajat LS atau berada di sebelah selatan garis katulistiwa sehingga Matahari akan berada di atas Pulau Jawa beberapa hari setelah Ekuinoks September dan beberapa hari sebelum Ekuinoks Maret,” ujar Andi.
Andi menyebutkan, dampak fenomena ini adalah ketika tengah hari, tidak ada bayangan yang terbentuk dari benda tegak tak berongga, seperti tongkat atau tiang. Oleh karena itu, fenomena ini disebut juga sebagai hari tanpa bayangan di Pulau Jawa.
Selain itu, saat tengah hari, ketika sinar Matahari datang tegak lurus permukaan Bumi, intensitas radiasi Matahari akan maksimum sehingga ketika tutupan awan sangat minim, suhu permukaan Bumi saat siang hari akan maksimum. Namun, hal ini tidak berlaku saat tutupan awan cukup tebal sehingga suhu permukaan Bumi cenderung menurun meskipun hawa gerah tetap dapat dirasakan akibat berkurangnya kelembaban.