Soal Pengelolaan Plastik, Indonesia Dinilai Unggul dalam Pelibatan Para Pihak
Indeks Pengelolaan Plastik Indonesia berada di peringkat ke-16 dari 25 negara. Peringkat Indonesia ini masih di bawah Vietnam, Thailand, dan Malaysia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Laporan terbaru menunjukkan Indeks Pengelolaan Plastik Indonesia berada di peringkat ke-16 dari 25 negara di lima benua. Peringkat Indonesia ini di bawah Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Namun, Indonesia unggul terkait keterlibatan para pemangku kepentingan.
Pengukuran Indeks Pengelolaan Plastik (Plastics Management Index/PMI) ini dilakukan program Back to Blue, inisiatif kesehatan laut dari Economist Impact dan The Nippon Foundation, yang dirilis, Selasa (5/10/2021). PMI ke-25 negara diukur dari tiga kategori atau aspek utama, yakni tata kelola, kapasitas sistemik, dan pelibatan pemangku kepentingan.
Menanggapi laporan ini, Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar memandang komparasi pengelolaan sampah negara-negara di dunia harus mempertimbangkan aspek jumlah penduduk dan geografis wilayah. Oleh karena itu, pengelolaan sampah di Indonesia seharusnya juga diperbandingkan dengan jumlah penduduk tinggi seperti China atau Amerika Serikat.
”Amerika belum selesai dengan persoalan sampah plastiknya. Jika dilihat dari segi kebijakan, seharusnya Indonesia jauh lebih maju dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya,” ungkapnya.
Persoalan sampah mereka selesai dengan membayar retribusi yang mahal. Kohesi sosial inilah yang menjadi keunggulan komparatif Indonesia.
Menurut Novrizal, dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara lainnya, Indonesia sudah mempunyai kebijakan dan regulasi terkait extended producer responsibility. Kebijakan ini mengatur agar produsen bertanggung jawab terhadap kemasan produk yang mereka buat saat material tersebut menjadi sampah.
Meski demikian, Novrizal juga mengakui upaya pengumpulan sampah plastik yang dilakukan pemerintah daerah masih cukup rendah. Hal ini berbanding terbalik dengan gerakan partisipasi publik untuk penanganan plastik di Indonesia yang sangat berkembang, seperti bank sampah, tempat pengelolaan sampah reduce, reuse, dan recycle (TPS3R), bisnis sosial atau perusahaan rintisan berbasis lingkungan, serta sektor informal lainnya.
”Saya pikir negara-negara seperti Singapura atau AS tidak memiliki gerakan-gerakan partisipasi publik. Persoalan sampah mereka selesai dengan membayar retribusi yang mahal. Kohesi sosial inilah yang menjadi keunggulan komparatif Indonesia,” tambahnya.
Hal ini juga tampak pada PMI dari sisi keterlibatan pemangku kepentingan, yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-8.
Perbandingan antarnegara
Pengukuran PMI ini menunjukkan Jerman menjadi negara dengan kinerja terbaik secara keseluruhan dalam pengelolaan plastik. Jerman juga memiliki nilai skor terbaik pada aspek tata kelola dan pelibatan pemangku kepentingan. Perolehan skor tertinggi ini tidak terlepas dari upaya Jerman dalam melakukan skema daur ulang plastik oleh pemerintah dan industri hingga menciptakan sirkuler ekonomi.
Dari laporan tersebut, Indeks Pengelolaan Plastik Indonesia berada di peringkat ke-16 dengan skor total 46,7. Peringkat ini juga masih di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Vietnam (peringkat ke-11), Thailand (12), dan Malaysia (13). Bahkan, peringkat Indonesia di bawah Ghana (15). Secara keseluruhan, Indeks Pengelolaan Plastik terbaik untuk negara Asia dalam laporan tersebut diduduki oleh Jepang di peringkat ke-2 dan China di peringkat ke-10.
Editor laporan PMI dari Economist Impact, Naka Kondo, mengatakan, PMI dapat menjadi tolok ukur baru untuk melihat sejauh mana negara-negara di dunia mengelola dan menangani plastik dari awal hingga akhir. Hal ini sekaligus untuk melihat upaya penanganan siklus plastik secara kompleks dan tidak hanya sekadar kebijakan larangan.
”Beberapa negara terus berupaya menangani plastik dan indeks ini mengidentifikasi adanya perbaikan dari upaya tersebut. Sebaliknya, indeks juga menunjukkan bahwa negara-negara yang tampak berkinerja baik bukan berarti mereka melakukan banyak upaya untuk mengatasi masalah plastik ini,” katanya.
Ketua The Nippon Foundation Yohei Sasakawa memandang bahwa upaya yang dilakukan negara-negara di dunia dalam menangani plastik tidak cukup berkelanjutan. Sebab, banyak kajian menunjukkan masih terdapat kebocoran sampah plastik yang bermuara ke laut.
”Permasalahan ini sangat membutuhkan solusi kohesif dan efektif untuk mengatasi setiap elemen dari siklus plastik yang kompleks. Kami berharap Indeks Pengelolaan Plastik ini dapat menjelaskan peran setiap negara secara global dan bagaimana upaya kita untuk mengelola plastik secara lebih efektif dan bertanggung jawab,” ucapnya.
Pengukuran PMI
PMI ke-25 negara diukur dari tiga kategori atau aspek utama, yakni tata kelola, kapasitas sistemik, dan pelibatan pemangku kepentingan, dengan total 12 indikator serta 44 sub-indikator. Aspek tata kelola berfokus pada kebijakan, aspek kapasitas sistemik mengukur upaya pengumpulan hingga daur ulang, dan aspek pelibatan pemangku kepentingan menekankan upaya yang dilakukan pemerintah, sektor swasta, serta konsumen.
Data yang dihasilkan kemudian dilakukan pembobotan sesuai dengan aspek-aspeknya setelah diverifikasi oleh analis Economist Impact dan berkonsultasi dengan pakar independen untuk menghasilkan skor. Indeks ini juga mencakup poin data terpilih dari survei terhadap 1.800 konsumen dan 770 eksekutif di negara-negara tersebut.
Dari laporan tersebut, Indeks Pengelolaan Plastik Indonesia berada di peringkat ke-16 dengan skor total 46,7. Indonesia tercatat memiliki skor dan peringkat yang cukup rendah pada aspek tata kelola dan kapasitas sistemik. Aspek tata kelola Indonesia berada di peringkat ke-17, sedangkan aspek kapasitas sistemik di peringkat ke-22. Peringkat lebih baik ditunjukkan pada aspek pelibatan pemangku kepentingan yang berada di peringkat ke-8.