Nobel Kedokteran untuk Pengungkap Reseptor Suhu dan Sentuhan
Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran 2021 diberikan kepada dua ilmuwan Amerika Serikat yang mengungkap reseptor suhu dan sentuhan pada tubuh.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
STOCKHOLM, SENIN — Dua ilmuwan asal Amerika Serikat, David Julius dan Ardem Patapoutian, mendapat Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran tahun 2021. Penghargaan itu diberikan atas temuan mereka tentang reseptor suhu dan sentuhan. Lewat temuan ini, pemahaman manusia akan rangsangan saraf terhadap panas, dingin, dan sentuhan pada tubuh menjadi lebih terbuka.
Pengumuman penerima Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran 2021 disampaikan oleh Sekretaris Komite Nobel Thomas Perlmann di Karolinska Institutet, Stockholm, Swedia, Senin (4/10/2021). Kedua peraih Nobel mendapatkan total hadiah 10 juta kronor Swedia atau sekitar 1,1 juta dollar AS yang dibagi secara merata.
”Penemuan inovatif dari peraih Hadiah Nobel tahun ini telah mengidentifikasi mata rantai penting yang hilang dalam pemahaman kita tentang interaksi kompleks antara indera kita dan lingkungan,” kata Thomas.
Dalam keterangan tertulis yang disampaikan Majelis Nobel pada laman Nobelprize.org disebutkan bahwa manusia memiliki indera untuk merasakan lingkungan sekitar. Mata dapat melihat cahaya. Telinga dapat menangkap gelombang suara. Hidung dan mulut juga dapat mencium bau dan mengecap rasa.
Namun, bagaimana mekanisme yang mendasari indera dapat merespons itu semua belum diketahui secara jelas. Padahal, kemampuan tubuh untuk merespons suhu, sentuhan, dan gerakan ini penting dalam proses adaptasi terhadap lingkungan.
Dari temuan David Julius (66) dan Ardem Patapoutian (54), pertanyaan tersebut mulai terpecahkan. Keduanya mampu menjelaskan tentang bagaimana sistem saraf manusia merasakan rangsangan panas, dingin, dan sentuhan.
Pada akhir 1990, di University of California, AS, David Julius mulai menganalisis senyawa kimia capcaisin, senyawa pedas dari cabai yang menyebabkan sensasi terbakar, untuk mengidentifikasi sensor di ujung saraf kulit. Sensor ini yang bisa merespons suhu panas.
Penemuan inovatif dari peraih Hadiah Nobel tahun ini telah mengidentifikasi mata rantai penting yang hilang dalam pemahaman kita tentang interaksi kompleks antara indera kita dan lingkungan.
Dari penelitian tersebut, Julius pun akhirnya menemukan reseptor penginderaan panas yang kemudian dinamai TRPV1. Selain itu, reseptor yang terbukti dapat diaktifkan oleh suhu dingin juga berhasil ditemukan dengan menggunakan bahan kimia mentor. Reseptor ini disebut TRPM8.
Penemuan oleh David Julius ini dinilai sebagai terobosan yang telah memberikan pemahaman lebih utuh mengenai bagaimana perbedaan suhu dapat menginduksi sinyal listrik dalam sistem saraf.
Sementara itu, dari temuan yang dihasilkan oleh Ardem Patapoutian, ilmuwan dari Scripps Research di La Jolla, California, AS, reseptor yang diaktifkan oleh rangsangan sentuhan dapat ditunjukkan. Patapoutian menggunakan sel mekanosensitif yang dikultur untuk mengidentifikasi saluran ion yang diaktifkan oleh kekuatan mekanik.
Saluran ion mekanosensitif tersebut akhirnya teridentifikasi, yang kemudian diberi nama Piezo1. Pengembangan penelitian pun terus dilanjutkan sampai akhirnya ditemukan gen kedua yang memiliki kemiripan dengan Piezo1 sehingga diberi nama Piezo2.
Saluran Piezo1 dan Piezo2 terbukti berperan penting dalam penginderaan terkait sentuhan dan gerakan. Kedua saluran tersebut telah terbukti mengatur proses fisiologis penting dalam tubuh, termasuk terkait tekanan darah, pernapasan, dan kontrol pada kandung kemih.
Penemuan penting dari para peraih Hadiah Nobel tahun ini telah menjelaskan awal rangsangan muncul dalam sistem saraf manusia ketika merespon panas, dingin, dan sentuhan.
Saluran TRP sangat penting untuk merasakan suhu, sedangkan saluran Piezo2 telah memberikan kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh. Saluran ion yang teridentifikasi juga penting untuk menentukan proses fisiologis dan kondisi penyakit seseorang.
”Pengetahuan ini digunakan untuk mengembangkan perawatan untuk berbagai kondisi penyakit, termasuk nyeri kronis,” ujar Komite Nobel.