Sawit masih dipandang sebagai aktivitas yang hanya menyebabkan kerusakan lingkungan. Perlu ada kajian dan penghitungan potensi perkebunan sawit di Indonesia sebagai salah satu penyerap emisi gas rumah kaca.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pihak di Indonesia ataupun di dunia dipandang masih mendiskriminasikan kelapa sawit sebagai aktivitas yang hanya menyebabkan kerusakan lingkungan. Padahal, perkebunan sawit diyakini memiliki potensi sebagai salah satu penyerap emisi gas rumah kaca. Perlu dilakukan kajian dan penghitungan mendalam terkait dengan posisi sawit ini.
Koordinator Divisi Riset Kebijakan dan Advokasi Relawan Jaringan Rimbawan Petrus Gunadi menyayangkan bahwa sumbangan sektor pertanian dalam dokumen kontribusi nasional (NDC) penurunan emisi sesuai dengan Kesepakatan Paris hanya 0,32 persen dari total 29 persen target yang ditetapkan. Sementara penurunan emisi pada sektor kehutanan dan tata guna lahan lainnya dibebani target tertinggi sebesar 17,2 persen.
”Terlalu berat bagi kehutanan bila harus menanggung target ini sendiri. Sementara saya yakin kelapa sawit mempunyai peran dalam penyerapan emisi. Permasalahannya sampai saat ini belum banyak yang menghitungnya,” ujarnya dalam acara diskusi terbuka terkait dengan peran kelapa sawit dalam perubahan iklim dunia di Jakarta, Senin (4/10/2021).
Identifikasi lahan kritis dalam perkebunan kelapa sawit juga belum ada informasi yang bisa diakses dengan mudah oleh publik.
Petrus menjelaskan, tugas untuk melakukan inventarisasi gas rumah kaca pada sektor kelapa sawit sebenarnya sudah tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan 2019-2024.
Dalam instruksi presiden tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ditugaskan untuk melakukan pengukuran, pelaporan, dan verifikasi potensi penurunan emisi gas rumah kaca di perkebunan kelapa sawit.
Selain itu, Kementerian Pertanian ditugaskan untuk meningkatkan akses pendanaan peremajaan tanaman bagi perkebunan dan melaksanakan penurunan emisi gas rumah kaca di kebun dan lahan. Adapun Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional ditugaskan untuk meningkatkan pemanfaatan lahan kritis sebagai upaya penurunan emisi dalam perkebunan sawit dan melakukan legalisasi lahan perkebunan dalam kawasan hutan.
Meski demikian, kata Petrus, semua tugas yang dibebankan belum dijalankan oleh ketiga kementerian tersebut. Bahkan, identifikasi lahan kritis dalam perkebunan kelapa sawit juga belum ada informasi yang bisa diakses dengan mudah oleh publik. Padahal, seharusnya identifikasi tersebut disampaikan kepada publik seperti asosiasi petani kelapa sawit.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Univesity Yanto Santoso memandang bahwa sampai saat ini masih banyak pihak yang mendiskriminasikan kelapa sawit. Sebagai contoh, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tidak mengategorikan sawit sebagai salah satu tanaman hutan. Di dalam negeri, KLHK juga tidak mengizinkan kelapa sawit ditanam dalam kawasan hutan produksi.
Fakta diskriminasi terhadap sawit lainya ialah adanya penolakan dan pencabutan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 62 Tahun 2011 tentang Izin Usaha pada Hutan Tanaman Industri (HTI). Peraturan tersebut memasukkan sawit sebagai salah satu tanaman HTI.
Tidak diperhitungkannya perkebunan sawit sebagai salah satu penyerap emisi gas rumah kaca, juga dinilai Yanto, menjadi fakta diskriminasi. Padahal, luasan perkebunan sawit di Indonesia mencapai 16,2 juta hektar. Di sisi lain, sawit yang ditanam di kawasan hutan selalu dituding sebagai penyebab deforestasi dan penurunan keanekaragaman hayati.
”Hasil penelitian berbagai pakar ternyata menunjukkan bahwa sawit ini memiliki laju fotosintesis lebih tinggi dibandingkan dengan hutan tropika. Menghitung dari stok karbon juga tidak adil karena umurnya berbeda. Seharusnya penyerapan emisi dihitung dari laju fotosintesis,” katanya.
Yanto juga membantah anggapan yang menyebut sawit sebagai penyebab utama deforestasi global. Sebab, menurut data Komisi Eropa, pemicu deforestasi global, khususnya di kawasan Amerika Selatan, adalah penyediaan peternakan sapi seluas 58 juta hektar serta perluasan kebun kedelai dan jagung dengan total 20,9 juta hektar. Sementara kegiatan perluasan kebun sawit hanya berkontribusi 2,3 persen terhadap deforestasi dunia dengan luasan 5,5 juta hektar.
Kekacauan regulasi
Pengamat hukum kehutanan Sadino menilai, seluruh permasalahan terkait dengan kehutanan dan perkebunan khususnya sawit di Indonesia hingga menyebabkan permasalahan lingkungan terjadi karena kekacauan regulasi. Sebagai contoh, dalam konteks mengatur pidana di sektor kehutanan ataupun perkebunan dapat dilakukan dengan basis peraturan pemerintah. Seharusnya hukuman pidana berdasarkan undang-undang.
”Konteks kekeliruan dalam mengatur pidana ini juga dilanjutkan dalam regulasi saat ini. Meskipun sudah diatur dalam undang-undang, hal ini juga masih multitafsir,” ucapnya.
Ia menambahkan, tidak ada satu undang-undang pun di Indonesia yang menyatakan larangan menanam sawit. Hal ini berbeda dengan ganja yang sudah jelas diatur larangan penanamannya. Oleh karena pihak-pihak terutama petani seharusnya juga tidak dilarang untuk membuka perkebunan sawit di dalam kawasan hutan.