Banyak orang dengan Covid-19 tidak dites,dan karena itu mereka tidak akan mengisolasi diri karena gejala mereka tidak cocok dengan pedoman kesehatan yang ada. Setidaknya ada tujuh gejala prediksi positif Covid-19.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peneliti telah menemukan ada tujuh gejala sakit yang jika hadir bersamaan bisa menjadi pertanda yang cukup presisi akan infeksi Covid-19. Mengenali tujuh gejala ini dianggap bisa membantu deteksi dini penularan penyakit ini, terutama di komunitas yang memiliki keterbatasan pemeriksaan.
Kajian soal gejala Covid-19 tersebut diterbitkan di PLOS Medicine oleh Marc Chadeau-Hyam dan Paul Elliott dari Imperial College London, Inggris, serta tim pada Selasa (28/9/2021).
Deteksi cepat infeksi SARS-CoV-2 di masyarakat merupakan kunci untuk memastikan pengendalian penularan yang efisien. Ketika kapasitas pengujian terbatas, penting untuk menggunakan pengujian dengan cara yang seefisien mungkin, termasuk menggunakan gejala yang paling informatif.
Dalam studi baru ini, para peneliti memperoleh data hasil tes usap tenggorokan dan hidung dengan hasil tes polimerase rantai ganda (PCR) dari 1.147.345 sukarelawan di Inggris berusia lima tahun ke atas. Data dikumpulkan melalui delapan putaran pengujian yang dilakukan antara Juni 2020 dan Januari 2021 sebagai bagian dari studi Penilaian Transmisi Komunitas-1 (REACT-1) secara real-time. Peserta kemudian ditanya tentang gejala yang mereka alami pada minggu sebelum pengujian.
Sebuah model dikembangkan berdasarkan data yang diperoleh selama putaran dua hingga tujuh dengan tujuh gejala yang dipilih sebagai prediksi positif bersama dari kepositifan PCR.
Tujuh gejala itu adalah kehilangan atau perubahan penciuman, kehilangan atau perubahan rasa, demam, batuk terus-menerus, kedinginan, kehilangan nafsu makan, dan nyeri otot.
Tujuh gejala itu adalah kehilangan atau perubahan indera penciuman, kehilangan atau perubahan rasa, demam, batuk terus-menerus, kedinginan, kehilangan nafsu makan, dan nyeri otot. Empat gejala pertama saat ini digunakan di Inggris untuk menentukan perlu tidaknya tes PCR di populasi.
Pada pengujian putaran ke-8, model yang dihasilkan memprediksi PCR positif dengan area di bawah kurva 0,77 dan menguji orang di komunitas dengan setidaknya 1 dari 7 gejala prediksi positif yang dipilih memberikan sensitivitas, spesifisitas, dan nilai prediksi positif masing-masing sebesar 74 persen, 64 persen, dan 9,7 persen.
Pemodelan menemukan bahwa penggunaan tujuh gejala yang diidentifikasi untuk alokasi tes PCR akan menghasilkan 30 persen hingga 40 persen individu bergejala di Inggris yang memenuhi syarat untuk tes (dibandingkan 10 persen saat ini). Sementara jika semua yang memenuhi syarat diuji akan menghasilkan deteksi 70 persen sampai 75 persen kasus positif.
Dengan temuan ini, para peneliti menyimpulkan, apabila kapasitas pengujian terbatas, penting untuk menggunakan pengujian dengan cara seefisien mungkin. Serangkaian tujuh gejala di atas, jika dipertimbangkan bersama akan memaksimalkan deteksi Covid-19 di komunitas termasuk infeksi dengan garis keturunan B.1.1.7.
”Untuk meningkatkan deteksi positif PCR dan mempercepat kontrol penularan virus melalui tindakan isolasi, kami akan mengusulkan untuk memperluas daftar gejala yang digunakan untuk triase ke tujuh gejala yang kami identifikasi,” sebut penulis.
Elliot mengatakan, temuan ini menunjukkan banyak orang dengan Covid-19 tidak dites dan karena itu tidak akan mengisolasi diri karena gejala mereka tidak cocok dengan pedoman kesehatan masyarakat saat ini untuk membantu mengidentifikasi orang yang terinfeksi.
Elliot menambahkan, kesalahan mengidentifikasi gejala penyakit lain seperti flu musiman dapat berisiko membuat orang melakukan isolasi mandiri yang tidak perlu. ”Saya harap temuan kami tentang gejala yang paling informatif berarti bahwa program pengujian dapat memanfaatkan bukti yang tersedia, membantu mengoptimalkan deteksi orang yang terinfeksi,” ujarnya.