Gejala penyakit Covid-19 makin banyak ditemukan. Selain demam dan sesak napas, kini penyakit itu menunjukkan gejala berupa menggigil dan nyeri serta hilangnya kepekaan indra penciuman dan perasa, juga kulit kemerahan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Kompas/Priyombodo
Penumpang kereta komuter mengenakan masker saat tiba di Stasiun Sudirman, Jakarta Pusat, Rabu (15/4/2020). Jakarta masih diserbu para pekerja yang tidak bisa bekerja dari rumah pada hari keenam pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk wilayah DKI Jakarta. Menggunakan masker menjadi salah satu upaya para pekerja ini agar terhindar dari penularan virus korona tipe baru selama berada di transportasi umum.
JAKARTA, KOMPAS — Gejala Covid-19 semakin banyak ditemukan, selain demam, sesak napas, dan batuk kering. Beberapa laporan terbaru di luar negeri menunjukkan, infeksi ini bisa ditandai dengan menggigil dan nyeri, sakit kepala, mata merah, serta hilangnya kepekaan indra penciuman dan perasa. Indonesia belum melaporkan gejala spesifik pasien penyakit itu.
Menurut studi di Amerika Serikat yang dipublikasikan di International Forum of Allergy & Rhinology pada 12 April 2020, kehilangan bau tiba-tiba merupakan tanda awal Covid-19, terutama pada mereka yang memiliki kasus ringan. ”Tanda pertama yang paling umum dari Covid-19 tetap demam. Namun, kelelahan serta kehilangan bau dan rasa juga menjadi gejala awal yang sangat umum,” sebut Carol Yan dari University of California San Diego, penulis kajian ini.
Kajian dilakukan dengan menyurvei 1.480 pasien, 100 orang di antaranya dinyatakan positif Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona baru, SARS-CoV-2. Di antara kelompok pasien ini, kehilangan bau dan rasa sangat umum terjadi, tetapi indra ini biasanya kembali dalam dua hingga empat minggu setelah infeksi, sesuai dengan waktu pemulihan dari penyakit.
Dibandingkan dengan gejala demam atau kelelahan, kehilangan bau atau rasa kerap diabaikan penderitanya. Akibatnya, banyak orang dengan gejala ini bisa menjadi pembawa tersembunyi dari virus tanpa menyadarinya.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Pekerja menyiapkan tempat karantina pasien Covid-19 di Griya Anabatic, Kelurahan Bojong Nangka, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, Minggu (5/4/2020). Ruang isolasi di Griya Anabatic, menurut rencana, hanya diperuntukkan bagi pasien Covid-19 tanpa gejala atau gejala ringan. Griya Anabatic dijadikan sebagai ruang isolasi pasien Covid-19 karena kapasitas ruang isolasi di RS tujuan di Kabupaten Tangerang penuh untuk merawat pasien bergejala ringan hingga berat.
Baru-baru ini, para dokter spesialis kulit di Perancis yang tergabung dalam French National Union of Dermatologists-Venereologists (SNDV) menambahkan adanya gejala baru Covid-19, yaitu munculnya kulit kemerahan yang kadang terasa menyakitkan dan menimbulkan gatal-gatal. Analisis dari banyak kasus yang dilaporkan ke SNDV menunjukkan, manifestasi kemunculan gejala kulit kemerahan itu dapat dikaitkan dengan infeksi virus korona baru.
Terus berkembang
”Penyakit ini terus berkembang dan belum semua gejalanya diketahui. Kita harus selalu waspada dan hati-hati,” kata Tri Maharani, dokter spesialis emergensi yang juga pengurus Perhimpunan Dokter Ahli Emergensi Indonesia.
Menurut Tri, baru-baru ini dia menerima pasien dengan gejala kulit kemerahan, seperti dilaporkan di Perancis. ”Bisa juga ini terjadi karena alergi obat atau penyebab lain. Kami susah membuat diagnosis dan saat ini masih dilakukan observasi. Kalau ada indikasi lain, akan segera kami lakukan swab,” ujarnya.
Sebelumnya sudah ditemukan adanya pasien Covid-19 yang mengalami trombositopenia atau penurunan trombosit. Sekalipun tergolong langka, hal itu juga telah dilaporkan di luar negeri. ”Di Indonesia, kita belum menemukan petunjuk ini dari protokol yang ada sehingga harus terus mencari informasi dari luar,” kata Tri.
Kajian yang dilakukan Giuseppe Lupi dari Universitas Verona, Italia, yang dipublikasikan di jurnal Clinica Chimica Acta pada Maret 2020 menyebutkan, jumlah trombosit pasien Covid-19 pada tingkat parah umumnya lebih rendah dari rata-rata. Jumlah trombosit rendah ini juga bisa dikaitkan dengan peningkatan risiko Covid-19 sehingga disarankan menjadi indikator klinis dari penyakit yang memburuk selama rawat inap.
Dokter spesialis paru yang juga pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Eva Sri Diana, mengatakan, sangat mungkin ada perbedaan gejala klinis pasien Covid-19 di Indonesia. Namun, karena minimnya riset, hingga saat ini belum ada laporannya secara ilmiah.
Halik Malik, juru bicara IDI, mengatakan, gejala pasien Covid-19 yang paling banyak dialami di Indoensia sejauh ini belum ada studinya. ”Beberapa dokter senior mulai menyarankan menggunakan formulir penyelidikan epidemiologi untuk deteksi dini. Ini biasanya digunakan untuk penelusuran kasus. Saat ini beberapa pusat studi mulai mengumpulkan datanya,” tuturnya.
Keterbukaan data
Anis Fuad, pengajar informasi kesehatan publik dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, menyatakan, keterbukaan data oleh pemerintah menjadi kunci penting bagi peneliti. Tanpa itu, kajian terkait gejala klinis ini sulit dilakukan.
”Saat ini ada inisiatif global untuk berkolaborasi mengumpulkan data terkait Covid-19. Korea Selatan telah membuka data kasus Covid-19 kepada peneliti dari luar negeri,” katanya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Warga menjalani pemeriksaan tes cepat Covid-19 di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu (4/4/2020). RSUD Pasar Minggu ditetapkan menjadi salah satu rumah sakit rujukan di Jakarta yang bisa melayani pasien dengan gejala terinfeksi, diduga menderita, ataupun positif Covid-19. Tes cepat tersebut sudah berlangsung sejak Jumat (20/3/2020).
Selama ini Indonesia tertinggal dalam berkontribusi di bidang riset terkait kesehatan. ”Indonesia termasuk negara paling terdampak flu burung, baik dari segi morbilitas maupun mortalitasnya. Namun, sains di balik itu masih terbatas. Kita perlu banyak belajar tentang keterbukaan data, mengolahnya, dan menggunakannya untuk edukasi hingga menjadi kebijakan,” ungkapnya.