Orang Papua Mendomestifikasi Kasuari sejak 18.000 Tahun Lalu
Riset terbaru menunjukkan di Papua Niugini domestifikasi kasuari sudah dilakukan sejak 18.000 tahun lalu. Ini jauh lebih lama dari domestifikasi ayam.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat di Papua Niugini telah mengumpulkan telur kasuari yang hampir menetas dan kemudian membesarkannya hingga dewasa sejak 18.000 tahun lalu. Ini merupakan kemampuan paling awal manusia modern (Homo sapiens) dalam pembiakan takson unggas di dunia, jauh sebelum domestifikasi ayam.
Temuan ini dilaporkan Kristina Douglass dari Department of Anthropology and Institutes for Energy and the Environment, The Pennsylvania State University dan tim di Proceedings of the National Academy of Sciences pada Senin (27/9/2021). Menurut penelitian ini, masyarakat di dataran tinggi Papua ini telah memiliki kemampuan untuk mengetahui tahap perkembangan embrio kasuari yang akan segera menetas.
”Perilaku yang kita lihat ini terjadi ribuan tahun sebelum domestikasi ayam,” kata Douglass.
Peneliti menyebutkan, kasuari bukanlah ayam, tetapi lebih mirip dengan binatang purba velociraptor, genus dinosaurus Theropoda dromaeosaurid yang hidup sekitar 75 hingga 71 juta tahun yang lalu. Kasuari liar bisa sangat berbahaya dan mematikan.
Orang-orang tidak hanya memanen telur untuk dimakan isinya, tetapi juga ditetaskan.
”Namun, anak burung kasuari sudah terbukti bisa dijinakkan, dipelihara, dan dibesarkan hingga ukuran dewasa,” sebut peneliti.
Momen penting untuk menjinakkan fauna ini terjadi ketika seekor kasuari yang baru menetas memutuskan bahwa hal pertama yang dilihatnya adalah induknya. Jika pandangan pertama itu adalah manusia, burung itu akan mengikuti manusia ke mana saja.
Cangkang telur
Cangkang telur merupakan bagian dari kumpulan banyak situs arkeologi, tetapi menurut Douglass, para arkeolog masih jarang mempelajarinya. Para peneliti mengembangkan metode baru untuk menentukan berapa umur embrio ayam ketika telur dipanen.
”Saya telah bekerja di kulit telur dari situs arkeologi selama bertahun-tahun,” kata Douglass. ”Saya menemukan penelitian tentang kulit telur kalkun yang menunjukkan perubahan kulit telur selama perkembangan yang merupakan indikasi usia. Saya memutuskan ini akan menjadi pendekatan yang berguna.”
Penetapan usia embrio unggas ini tergantung pada fitur tiga dimensi bagian dalam cangkang. Untuk mengembangkan metode yang diperlukan dalam menentukan usia perkembangan telur ketika cangkangnya pecah, para peneliti awalnya menggunakan telur burung unta.
Para peneliti di Oudtshoorn Research Farm, bagian dari Western Cape Government Afrika Selatan, memanen tiga telur setiap hari inkubasi selama 42 hari untuk studi mereka dan memasok Douglass dan timnya dengan sampel dari 126 telur burung unta.
Mereka mengambil empat sampel dari masing-masing telur ini dengan total 504 sampel cangkang, masing-masing memiliki usia tertentu. Mereka menciptakan gambar 3D resolusi tinggi dari sampel cangkang.
Dengan memeriksa bagian dalam telur ini, peneliti membuat penilaian statistik tentang seperti apa telur itu selama tahap inkubasi. Para peneliti kemudian menguji model mereka dengan burung unta modern dan telur emu yang usianya diketahui.
Bagian dalam kulit telur berubah melalui perkembangan karena anak unggas yang sedang berkembang mendapatkan kalsium dari kulit telur. Lubang mulai muncul di tengah pengembangan.
”Ini tergantung waktu, tetapi sedikit lebih rumit,” kata Douglass. ”Kami menggunakan kombinasi pencitraan 3D, pemodelan, dan deskripsi morfologis.”
Para peneliti kemudian beralih ke koleksi cangkang fosil dari dua situs di New Guinea, persisnya di kawasan Dataran Tinggi Yuku dan Kiowa. Mereka menerapkan pendekatan mereka pada lebih dari 1.000 fragmen telur berusia 18.000 hingga 6.000 tahun.
”Apa yang kami temukan menunjukkan bahwa sebagian besar kulit telur dipanen pada tahap akhir,” kata Douglass. ”Kami juga melihat kulit telur terbakar. Ada cukup banyak sampel kulit telur tahap akhir yang tidak menunjukkan pembakaran sehingga kita dapat mengatakan mereka menetas dan tidak memakannya.”
Agar berhasil menetas dan memelihara anak burung kasuari, masyarakat perlu mengetahui di mana sarangnya, mengetahui kapan telur diletakkan dan mengambilnya dari sarang sebelum menetas. Kembali di akhir Pleistosen, sekitar 18.000 tahun lalu, menurut Douglass, penduduk di Papua sengaja mengumpulkan telur-telur ini. Penelitian ini pun menunjukkan bahwa orang-orang tidak hanya memanen telur untuk dimakan isinya, tetapi juga ditetaskan.
Budidaya di Papua
Temuan ini menguatkan mengenai tuanya tradisi budidaya masyarakat dataran tinggi di Papua, baik di wilayah yang sekarang masuk Indonesia maupun Papua Niugini. Penelitian sebelumnya oleh SG Haberle dan tim dari Australian National University pada 1991 menemukan jejak penghunian masyarakat di Dataran Tinggi Lembah Baliem, Papua, sejak sekitar 27.000 tahun lalu dan diperkirakan mulai membudidayakan keladi 7.000 tahun lalu, termasuk sistem pengairannya.
Sementara itu, kajian Tim Denham, arkeolog dari Flinders University di Adelaide, Australia, pada 2003 menemukan jejak budidaya keladi di Kuk Swamp, Papua Niugini, sejak 10.000 tahun lalu dan kemudian budidaya pisang sejak 6.950 tahun lalu.
Temuan ini menunjukkan bahwa orang Papua, yang merupakan migran pertama dari Afrika dan tiba di Asia tenggara sekitar 50.000 tahun lalu, memiliki tahapan revolusi pertanian sendiri yang terpisah dengan peradaban lain. Kemampuan budidaya tanaman ini telah dimiliki jauh sebelum kedatangan petani Austronesia ke Nusantara sekitar 4.500 tahun lalu.