Sejumlah masyarakat adat suku Moi di Sorong, Papua Barat, kini memiliki harapan hutan dan lahannya yang sempat "terlepas" bagi perkebunan sawit akan kembali dalam pangkuan ulayatnya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Kabar pencabutan izin perkebunan kelapa sawit oleh Bupati Sorong sudah didengar oleh masyarakat adat suku Moi di Kampung Segun, Distrik Segun, Sorong, Papua Barat. Mereka bersyukur izin sawit telah dicabut sehingga tanah dan pohon yang selama ini menyediakan berbagai kebutuhan bagi masyarakat tetap terjaga. Kini, masyarakat menunggu tindakan nyata pemerintah daerah untuk mengembalikan dan melindungi hutan adat mereka.
Jauh sebelum izin perusahaan sawit yang beroperasi di Kampung Segun dicabut oleh Bupati Sorong, masyarakat sudah menyatakan sikap penolakan. Bagi Sekretaris Kampung Segun Samuel Ketumlas, ada atau tidaknya perkebunan sawit tak akan memengaruhi kehidupan marga Ketumlas. Sebab, sejak kecil mereka dan mayoritas masyarakat Kampung Segun hidup dari pohon dan hasil hutan lainnya.
”Pada dasarnya kami berpikir ke depan berkaca dari kehidupan orang-orang tua terdahulu. Masyarakat yang hidup dari hutan, mereka tidak akan kesusahan. Orang Moi pasti tahu akan hal ini,” ujarnya saat ditemui di Kampung Segun, Minggu (19/9/2021).
Tiba-tiba saja perusahaan tersebut kembali aktif berkantor setelah ada evaluasi dan pencabutan ini.
Semua marga di Kampung Segun telah sepakat menolak perkebunan sawit masuk ke tanah mereka. Ketua Kampung Segun Permenas Hai mengakui pihak perusahaan sawit sempat datang dan meminta izin membangun perkebunan di Kampung Segun.
Awalnya, masyarakat Kampung Segun terbuka akan kedatangan perusahaan sawit pada 2006. Perusahaan sawit juga menawarkan sejumlah uang dan pemenuhan kebutuhan lainnya sekaligus perbaikan infrastruktur agar masyarakat melepas hutan mereka. Saat itu, perusahaan hanya meminta izin penggunaan lahan selama lima tahun untuk pengembangan inti plasma.
Namun, pandangan masyarakat berubah tatkala perwakilan kampung melihat kondisi perkebunan sawit di hutan Kalimantan pada 2007. Di sana, mereka mendapati fakta bahwa kerugian dari pembukaan lahan untuk sawit lebih besar dari keuntungannya. Bahkan, masyarakat Kalimantan berpesan kepada orang Papua agar tidak melepaskan hutan kepada perusahaan sawit.
”Orang Kalimantan tidak ingin hidup masyarakat Papua menderita seperti mereka. Orang Kalimantan mengaku tidak sejahtera, padahal merekalah yang memiliki lahan dan sumber daya,” kata Permenas.
Setelah izin perusahaan sawit dicabut, Ketua Dewan Adat Suku Moi di Segun Ishak Mili menyatakan akan mengadakan pertemuan untuk meninjau batas-batas wilayah marga dan ulayat setiap distrik. Dewan Adat Suku Moi di Segun membawahkan Distrik Segun, Moisegen, Mayamuk, dan Seget.
”Kami sudah berkoordinasi dengan kepala distrik untuk meninjau batas wilayah ini sehingga ada kejelasan untuk setiap marga. Pemetaan wilayah ini sangat dibutuhkan apabila ke depan ada perusahaan sawit lagi yang mencoba masuk dan merambah hutan,” ucapnya.
Evaluasi hingga keputusan pencabutan izin perusahaan sawit di Kabupaten Sorong merupakan kerja bersama dari berbagai pihak mulai dari Pemerintah Provinsi Papua Barat, Pemkab Sorong, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga lembaga nonpemerintah. Sampai saat ini ada 14 perusahaan sawit yang dicabut izinnya dengan luasan mencapai lebih dari 200.000 hektar.
Kepala Bidang Perkebunan Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Papua Barat Hery Wijayanto menjelaskan, proses evaluasi hingga terbitnya surat keputusan Bupati Sorong tentang pencabutan izin perusahaan sawit ini melalui sejumlah tahapan. Evaluasi pertama dilakukan Pemprov Papua Barat dan menghasilkan rekomendasi bagi Bupati Sorong. Setelah itu, tim dari Bupati Sorong mengkaji rekomendasi tersebut dan memanggil semua perusahaan sawit terkait.
Beberapa perusahaan meminta pertimbangan dan kesempatan untuk kembali diizinkan berinvestasi di Sorong. Perusahaan berinisial PT IKL merupakan salah satu yang menyatakan keberatannya terhadap pencabutan perizinan ini. Perusahaan tersebut beralasan sudah membuka lahan dan mempersiapkan bibit.
Namun, Pemkab Sorong tidak mengabulkan permintaan tersebut. Sebab, luasan pembukaan lahan oleh IKL masih tergolong kecil dan banyak kewajiban lainnya yang tidak dipenuhi perusahaan seperti pengembangan kebun plasma hingga mengurus persyaratan hak guna usaha (HGU).
”Beberapa perusahaan yang dicabut izinnya ada yang sudah tidak berkantor dan tidak ada aktivitas apa pun di Sorong. Bahkan, dokumen-dokumen perusahaan tersebut juga tidak ada di pemda Sorong. Tetapi, tiba-tiba saja perusahaan tersebut kembali aktif berkantor setelah ada evaluasi dan pencabutan ini,” ujar Hery.
Pemetaan wilayah
Hery menyatakan, ke depan pemerintah daerah, khususnya Pemkab Sorong, harus berkomitmen dan menyiapkan sejumlah upaya untuk memastikan areal tersebut diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat adat. Sebab, saat ini semua lahan di Tanah Papua telah mempunyai kepemilikan baik secara de facto (kenyataan) maupun secara de jure (hukum).
Penyerahan kembali areal hutan itu kepada masyarakat juga akan diiringi dengan pemetaan wilayah dan penetapan kawasan hutan yang dilengkapi pengajuannya lewat program reforma agraria. Seluruh upaya ini harus menghasilkan ketetapan yang menjamin legalitas wilayah tersebut. Ini dapat berbentuk surat keputusan bupati tentang penetapan hutan adat atau produk hukum lainnya yang sejenis.
Menurut Hery, dalam beberapa diskusi, pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memandang bahwa proses penetapan wilayah adat tidak terlalu sulit. Akan tetapi, hal ini tetap membutuhkan upaya yang lebih besar mengingat hutan adat di Papua merupakan wilayah yang sangat luas. Bahkan, dalam satu wilayah adat terdapat beberapa marga.
”Wilayah (izin) yang sudah dicabut ini dapat didorong pemanfaatannya melalui perhutanan sosial atau semacam lumbung pangan skala kampung. Nantinya bisa dilakukan kajian untuk mengembangkan satu komoditas yang paling cocok untuk kampung tersebut atau sesuai dengan yang sudah dikerjakan masyarakat,” katanya.
Ditemui di kediamannya, Bupati Sorong Johny Kamuru menjamin lahan sawit yang telah dicabut izinnya akan dikembalikan kepada masyarakat adat setelah semua proses di pengadilan selesai. Saat ini, Pemkab Sorong masih menjalani gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura Papua oleh tiga perusahaan sawit yang dicabut izinnya. Setelah itu, Pemkab Sorong menyiapkan sejumlah program yang bermanfaat dan dapat dikembangkan masyarakat sekitar.
Johny memandang proses pemetaan wilayah adat tidak akan menemui kendala berarti. Ini karena sudah ada peraturan daerah terkait dengan perlindungan hak adat masyarakat.
Selain itu, sejak 2018 hingga kini, tim dari Pemkab Sorong bekerja sama dengan berbagai pihak juga masih terus melakukan pemetaan wilayah. Namun, kegiatan pemetaan wilayah ini belum masuk ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
”Secara bertahap wilayah ini akan kembali menjadi hutan adat dan dikembalikan ke masyarakat. Persoalan terkait pengembangan ekonomi mereka ke depan juga pasti akan kami pikirkan untuk kebaikan masyarakat,” ucapnya.