Izin Konsesi 52.151 Hektar Kebun Sawit di Papua Barat Dicabut
Seluas 52.151 hektar lahan perkebunan kelapa sawit di Papua Barat akan dicabut izinnya disusul ratusan ribu hektar lainnya karena pemilik izin konsesi melanggar atau tidak memenuhi kriteria dalam menjalankan usahanya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Enam perusahaan perkebunan kelapa sawit di Papua Barat tidak memenuhi syarat atau kriteria dalam menjalankan usahanya. Akibatnya, izin konsesi keenam perusahaan itu yang luasnya 52.151 hektar akan dicabut. Hal serupa berpotensi menimpa 10 perusahaan lain dengan total luas lahan kebun mencapai 224.044 hektar.
Kepala Dinas Tanaman Pangan Holtikultura dan Perkebunan Papua Barat Yacob Fonataba mengemukakan, sebanyak 30 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang didata telah memiliki surat atau rekomendasi untuk beroperasi. Namun, lima perusahaan memutuskan mengundurkan diri dan satu perusahaan telah dicabut izinnya oleh Bupati Sorong sehingga total saat ini terdapat 24 perusahaan perkebunan sawit yang berizin di Papua Barat.
”Sebanyak 10 perusahaan sudah sepakat mencabut izinnya karena mereka menyadari bahwa syarat yang dimiliki tidak memenuhi kriteria. Diharapkan, evaluasi ini dapat memperbaiki tata kelola, mulai dari perizinan, pelaksanaan, hingga pembangunan industri dan ekspor,” tutur Yacob di Jakarta, Kamis (27/5/2021).
Yacob mengatakan, evaluasi perizinan usaha perkebunan kelapa sawit di Papua Barat bertujuan untuk memperbaiki tata kelola dan mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor perkebunan. Di sisi lain, evaluasi juga dapat menjadi upaya untuk menjaga luas tutupan hutan di Papua Barat.
Sebanyak 10 perusahaan sudah sepakat untuk mencabut izinnya karena mereka menyadari bahwa syarat yang dimiliki tidak memenuhi kriteria. Diharapkan, evaluasi ini dapat memperbaiki tata kelola mulai dari perizinan, pelaksanaan, hingga pembangunan industri dan ekspor.
Hasil evaluasi 24 perusahaan sawit di Papua Barat dengan luas lahan mencapai 611.440 hektar ini terbagi menjadi tiga kategori. Pertama, perusahaan yang menyatakan secara eksplisit tidak akan melanjutkan proses perolehan perizinan perkebunan sawit dengan total luas lahan konsesi 87.201 hektar.
Kemudian, perusahaan yang melanggar perizinan dan belum melakukan pembukaan lahan memiliki luas lahan konsensi 224.344 hektar. Terakhir, perusahaan yang sudah memperoleh hak guna usaha (HGU) atau melakukan penanaman, tetapi melakukan pelanggaran memiliki luas lahan konsesi 299.894 hektar.
Sekretaris Daerah Kabupaten Sorong Cliff Agus Japsenang mengatakan, yang mendasari Bupati Sorong mencabut izin perusahaan sawit di wilayahnya adalah adanya pelanggaran operasional. Perusahaan tersebut memiliki kecenderungan tidak melakukan usaha perkebunan sawit, tetapi bidang kehutanan.
”Pertimbangan lain pencabutan izin ini ialah aspek ekonomi atau keuntungan kepada masyarakat serta dampak bagi pemerintah daerah. Perlu diketahui juga bahwa perusahaan tersebut tidak langsung ditutup, tetapi ada beberapa tahapan pemanggilan dan tidak kunjung dihadiri oleh perusahaan,” katanya.
Jenis pelanggaran
Pelanggaran yang ditemukan dalam evaluasi ini bersifat administrasi dan operasional. Antara lain, tidak memenuhi syarat izin usaha perkebunan (IUP), tidak memiliki izin pemanfaatan kayu dari dinas kehutanan, tidak melaporkan perusahaan kepemilikan saham dan susunan kepengurusan, serta belum memperoleh hak guna usaha.
Sementara jenis pelanggaran operasional yang ditemukan adalah belum menyelesaikan kebun inti dan pembangunan plasma. Perusahaan juga terdeteksi melakukan penanaman di lahan gambut dan kawasan hutan serta di wilayah lain yang tidak masuk dalam perizinan.
”Tahapan selanjutnya, kami akan berbicara dengan gubernur, kemudian ditindaklanjuti dengan bupati dan pemilik hak ulayat. Adapun lahan yang dikembalikan dan masih berbentuk hutan nantinya lembaga terkait yang akan mengelola,” kata Yacob.
Yacob menegaskan, saat ini Papua Barat telah dicanangkan sebagai provinsi pembangunan berkelanjutan yang di dalamnya menerapkan kaidah-kaidah konservasi. Ini membuat seluruh aktivitas pembangunan di wilayah Papua Barat akan disinergikan antara aturan secara nasional dan aturan adat Papua.
Keterlibatan KPK
Dasar hukum evaluasi perizinan sawit di Papua Barat ini tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, Deklarasi Pemprov Papua Barat dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA), serta Deklarasi Manokwari tentang Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Wilayah Adat di Papua.
Ketua Satuan Tugas Koordinasi Supervisi Pencegahan Wilayah V KPK Dian Patria mengatakan, pihaknya terlibat dalam evaluasi perizinan sawit di Papua Barat karena sejak 2009 KPK fokus terhadap isu bidang sumber daya alam ataupun kehutanan. Evaluasi ini mendesak dilakukan mengingat terdapat kecenderungan deforestasi yang mengarah ke wilayah Indonesia timur, khususnya Papua.
”Terdapat dua rencana aksi GNPSDA KPK, yaitu perbaikan tata kelola perizinan dan optimalisasi pajak. Ini penting karena banyak pelaku usaha yang tidak mengikuti aturan dan banyak sekali potret ketidakpatuhan tersebut,” ujarnya.
Ia menekankan, evaluasi ini tidak boleh hanya berhenti ketika sudah mencabut izin perkebunan sawit bagi perusahaan yang tidak memenuhi kriteria. Namun, perlu juga langkah lanjutan sehingga tidak ada lagi kejadian serupa di wilayah lain.