Pola perilaku merokok yang tidak berubah selama pandemi berdampak buruk bagi berbagai aspek kehidupan masyarakat. Aturan harus semakin diperkuat agar konsumsi rokok bisa berkurang sekaligus menekan perokok usia muda.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsumsi rata-rata harian rokok masyarakat selama pandemi Covid-19 tidak berbeda dengan konsumsi sebelum pandemi. Pola konsumsi ini perlu menjadi perhatian terutama pada kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah. Tidak sedikit keluarga yang akhirnya mengorbankan standar kualitas hidup demi tetap bisa merokok.
Hal tersebut terlihat dalam survei Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) terhadap 779 responden perempuan yang memiliki suami perokok. Survei itu menunjukkan, 63 persen responden mengaku bahwa tidak ada perubahan intensitas merokok pada suaminya sebelum dan saat pandemi terjadi. Bahkan, 14 persen responden mengaku intensitas merokok suaminya justru semakin sering.
Peneliti PKJS-UI Irfani Fithria Ummul di Jakarta, Selasa (21/9/2021), mengatakan, proporsi intensitas merokok yang semakin sering pada kelompok pendapatan rendah (kurang dari Rp 2,5 juta) hampir sama dengan kelompok pendapatan tinggi (Rp 10 juta-Rp 20 juta). Hal ini perlu menjadi perhatian karena mayoritas responden dari kelompok pendapatan rendah menyatakan bahwa kondisi keuangan selama pandemi kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
”Pendapatan yang menurun selama pandemi tidak menghentikan atau mengurangi kebiasaan merokok. Sebanyak 50,8 persen responden akhirnya beralih ke rokok yang lebih murah,” tuturnya.
Kebiasaan merokok ini, ujar Irfani, telah berdampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari aspek kesehatan, kesejahteraan material, dan kesejahteraan psikologis dari anggota keluarga. Terkait aspek kesehatan, mayoritas responden merasa kebiasaan merokok suaminya memengaruhi kesehatan keluarga dan kualitas lingkungan rumah.
Pada kelompok responden yang intensitas merokok suaminya meningkat, 17 persen di antaranya mengeluh mengalami gangguan pernapasan. Selain itu, 48 persen mengaku kesehatan fisik anaknya terganggu. Sebanyak 56 pesen juga menyatakan kualitas udara di rumah memburuk. Selama pandemi, kebiasaan merokok pun menjadi lebih banyak dilakukan di dalam rumah karena adanya pembatasan sosial.
Pendapatan yang menurun selama pandemi tidak menghentikan atau mengurangi kebiasaan merokok. Sebanyak 50,8 persen responden akhirnya beralih ke rokok yang lebih murah.
Pada aspek kesejahteraan material, mayoritas responden merasa pengeluaran untuk rokok suami mengurangi alokasi untuk kebutuhan lain. Akhirnya, kualitas standar hidup keluarga pun menurun. Itu juga berdampak pada pemenuhan gizi keluarga yang terganggu.
Irfani menambahkan, kebiasaan merokok suami juga berdampak pada aspek kesejahteraan psikologis keluarga. Sebagian besar responden (89 persen) khawatir jika anak mereka mengikuti kebiasaan merokok dari ayahnya. Sebagian besar responden ingin suaminya berhenti merokok.
”Kekhawatiran ini terbukti karena sebanyak 6,14 persen anak dari responden merupakan perokok aktif. Sebesar 72 persen anak yang merokok tersebut disebabkan meniru kebiasaan orangtua atau keluarga yang merokok dan pengaruh pergaulan,” ucapnya.
Oleh karena itu, peneliti PKJS UI Teguh Dartanto menuturkan, kebijakan untuk menekan konsumsi rokok di masyarakat perlu diperkuat. Harga rokok perlu dinaikkan agar masyarakat semakin sulit mengakses rokok.
Harga rokok bisa dinaikkan melalui mekanisme cukai hasil tembakau, menaikkan harga jual eceran minimum, serta menyederhanakan strata tarif cukai hasil tembakau. Peta jalan yang mendukung cukai hasil tembakau juga perlu segera disusun terutama untuk mencegah tingginya prevalensi perokok anak.
Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Pungkas Bahjuri menuturkan, pemerintah telah menyiapkan tiga instrumen untuk menekan konsumsi rokok di masyarakat, yakni instrumen fiskal, nonfiskal, serta mitigasi bagi petani dan industri rokok. Secara fiskal, upaya dilakukan dengan menaikkan cukai hasil tembakau. Sementara secara nonfiskal akan diatur melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
”Kita juga memperkuat strategi mitigasi dampak kenaikan harga rokok bagi petani, baik petani tembakau maupun petani cengkeh, serta industri rokok. Salah satunya dengan memanfaatkan dana bagi hasil cukai hasil tembakau,” tutur dia.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Golongan Karya Emanuel Melkiades Laka Lena menyampaikan, upaya menekan konsumsi rokok sangat penting untuk mencegah tingginya prevalensi perokok anak. Jumlah perokok pemula di Indonesia tinggi dan cenderung semakin bertambah. Hal ini harus menjadi perhatian serius karena bisa berdampak pada kualitas sumber daya manusia di masa depan.
Riset Kesehatan Dasar menunjukkan jumlah perokok anak usia 10-18 tahun terus meningkat. Pada 2013, jumlah perokok usia itu 7,20 persen. Kemudian, meningkat menjadi 8,80 persen pada 2016 dan naik lagi menjadi 9,10 persen pada 2018.
”Konsentrasi kita saat ini untuk mencegah anak-anak mulai merokok. Rokok ini seperti lingkaran setan yang jika sudah mencoba akan sulit untuk keluar dari kebiasaan merokok. Aturan harus ditegakkan berikut juga sanksinya,” ujar Melkiades.