Indonesia Rentan Terdampak Sekaligus Kontributor Pemanasan Global
Indonesia yang terdiri dari banyak pulau terdampak nyata akan perubahan iklim yang kini telah menjadi krisis iklim. Di sisi lain, terjadi deforestasi dan eksploitasi energi fosil untuk kebutuhan pembangunan.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai negara kepulauan yang dikelilingi laut, Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat rentan terdampak krisis iklim. Di sisi lain, sebagai negara berkembang, Indonesia juga salah satu negara kontributor emisi gas rumah kaca.
Posisi ganda Indonesia dalam krisis iklim ini disampaikan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati dalam Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XIII Walhi, yang bisa diikuti secara daring, Senin (20/9/2021).
”Krisis iklim sudah terjadi, contohnya siklon tropis di NTT di awal tahun. Siklon tropis ini adalah salah satu dampak nyata, yang menunjukkan kerentanan Indonesia terhadap krisis iklim. Namun, kita juga kontributor emisi gas rumah kaca akibat beberapa model pembangunan yang belum ramah iklim,” katanya.
Menurut Nur, emisi gas rumah kaca di Indonesia ini terutama disumbangkan oleh deforestasi yang terjadi selama beberapa dekade terakhir. Walaupun saat ini sudah menurun, emisi yang dilepaskan masih tetap memengaruhi kondisi pemanasan global. ”Sumbangan berikutnya terutama dari sektor energi yang masih bergantung pada bahan bakar fosil, terutama batubara,” katanya.
Nur Hidayati menambahkan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sudah inisiatif pembangunan rendah karbon. Namun, implementasinya kerap menghadapi kendala.
”Saat ini, komitmen nasional untuk penurunan emisi masih mengarahkan pada kenaikan global hingga 3-4 derajat celsius. Padahal, kenaikan suhu tidak boleh 1,5 derajat celsius,” ucapnya.
Mengusung tema ”Mempertegas Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat untuk Mewujudkan Keadilan Ekologis”, PNLH Tahun 2021 dipusatkan di Kota Makassar, dan dilaksanakan 19-22 September 2021.
Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto mengatakan, perubahan iklim tak bisa dihindarkan dan menuntut adaptasi penduduknya. Apalagi, Makassar berada di tepi pantai yang menghadapi ancaman kenaikan muka air laut.
”Sebelumnya, studi UNDP (Badan Program Pembangunan PBB) menunjukkan, kenaikan muka air laut di Kota Makassar akan mencapai 110 cm dalam 2100. Ternyata, update UNDP pada 2010, di 2050 kenaikan muka laut 114 cm di sekitar Makassar. Berarti lebih singkat dan lebih tinggi,” ujarnya.
Lebih tinggi
Peneliti iklim di Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam acara ini mengatakan, kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Makassar, Medan, dan Surabaya, akan merespons pemanasan iklim secara berbeda dibandingkan dengan kawasan lain. ”Di kota sendiri sudah ada fenomena yang disebut dengan fenomena panas perkotaan,” katanya.
Fenomena ini menyebabkan sebagian kota di Indonesia telah mengalami peningkatan suhu melebihi rata-rata global. ”Kalau kita lihat kota per kota seperti Jakarta itu akan 1,4 derajat celsius lebih kuat dibandingkan rata-rata global,” kata Siswanto.
Jadi, akan sangat wajar kalau kita akan sering mendapatkan curah hujan ekstrem pemicu banjir dan saat musim kemarau mendapatkan kekeringan yang lebih intensif.
Sementara itu, laporan dari United in Science 2021 yang dirilis pekan lalu menyebutkan, kenaikan suhu Bumi secara global telah mencapai 1,06-1,26 derajat celsius lebih panas dibandingkan dengan rerata tahun 1850-1900.
Selain dampak kenaikan permukaan laut yang bersifat perlahan (slow onset), menurut Siswanto, dampak krisis iklim di Indonesia telah meningkatkan frekuensi cuaca ekstrem yang menyebabkan banjir dan kekeringan yang intensif.
Mengacu laporan terbaru Panel Antar-Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) PBB, perubahan iklim mengintensifkan siklus hidrologi. ”Jadi, akan sangat wajar kalau kita akan sering mendapatkan curah hujan ekstrem pemicu banjir dan saat musim kemarau mendapatkan kekeringan yang lebih intensif,” katanya.
Selain itu, perubahan iklim juga akan menyebabkan pola curah hujan di wilayah tropis berubah pola dan intensitasnya, tergantung dari wilayah. Untuk wilayah Indonesia, rata-rata jumlah hujan tahunan cenderung sama atau bahkan berkurang, tetapi frekuensi hujan lebat hingga ekstrem menjadi lebih sering.