Pengembangan vaksin HIV terus berjalan walaupun beberapa calon vaksin yang diuji klinis gagal memberikan efikasi yang diharapkan.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
Upaya dunia selama beberapa dekade terakhir untuk mengendalikan epidemi HIV dengan vaksin tak pernah berhenti dilakukan. Akan tetapi, ambisi ini kembali menemui hambatan menyusul gagalnya uji klinis fase 2b calon vaksin di Afrika yang dilakukan Johnson & Johnson baru-baru ini.
Calon vaksin HIV dari Johnson & Johnson itu dikembangkan melalui platform yang sama dengan pengembangan vaksin Covid-19, yaitu adenovirus. Uji klinis calon vaksin ini dilakukan dalam studi Imbokodo (studi HVTN 705/HPX2008) yang dimulai tahun 2017 silam.
Nama ”Imbokodo” diambil dari bahasa isiZulu/Zulu yang berarti ”batu”. Nama ini juga mengacu pada sebuah pepatah tentang kekuatan perempuan dan kebutuhan akan komunitas.
Johnson & Johnson (J&J) bermitra dengan National Institute of Health (NIH) Amerika Serikat dan Bill & Melinda Gates dalam penelitian ini.
Studi tersebut mengikutsertakan 2.600 perempuan di Mozambik, Malawi, Afrika Selatan, Zambia, dan Zimbabwe yang memiliki risiko infeksi HIV tinggi. Target studi ini bukan untuk mengembangkan vaksin yang mampu sepenuhnya mencegah infeksi, melainkan mengurangi peluang infeksi 50 persen.
J&J berulang kali mengungkapkan optimismenya akan calon vaksin ini. Pada 2015, Johan Van Hoof yang mengoordinasi riset dan pengembangan vaksin J&J menyatakan bahwa pada hewan uji calon vaksin ini mampu mengurangi risiko infeksi HIV sebesar 90 persen. Jika hasil serupa diperoleh dalam uji klinis pada manusia, calon vaksin ini akan menjadi terobosan.
Ketika studi Imbokodo diluncurkan, Anthony Fauci, Direktur Institut Nasional untuk Alergi dan Penyakit Infeksi (NIAID) Amerika Serikat, mengatakan, pengembangan dan pemberian vaksin yang aman dengan efektivitas yang moderat untuk mencegah HIV akan membantu mengakhiri pandemi HIV/AIDS secara berkelanjutan.
Pengembangan vaksin yang aman dan efektif untuk mencegah HIV terbukti menjadi tantangan ilmiah yang berat.
Akan tetapi, hasil studi Imbokodo memperlihatkan bahwa efikasi calon vaksin HIV dari J&J ini hanya sebesar 25,2 persen. Kantor berita Reuters, Selasa (31/8/2021), melaporkan bahwa untuk itulah J&J menyatakan studi ini tidak akan dilanjutkan.
Dalam studi Imbokodo, 63 dari 1.109 partisipan dari kelompok plasebo terinfeksi HIV, sedangkan 51 dari 1.079 partisipan dari kelompok yang disuntik vaksin HIV terinfeksi HIV. Perbedaan itu meninggalkan ketidakpastian akan efek vaksin yang diberikan.
”Sebuah vaksin dengan kemanjuran 50 persen akan mampu mengendalikan pandemi HIV,” kata Paul Stoffels, Kepala Ilmiah J&J yang juga peneliti HIV, seperti dikutip STATNews, Selasa (31/8/2021).
Menurut dia, efikasi vaksin HIV 25,2 persen berarti bahwa sebesar itulah pengurangan risiko orang yang disuntik vaksin HIV untuk terinfeksi dibandingkan dengan orang yang disuntik plasebo dua tahun setelah pemberian dosis pertama. Secara statistik, angka itu tidak signifikan.
”Pengembangan vaksin yang aman dan efektif untuk mencegah HIV terbukti menjadi tantangan ilmiah yang berat,” kata Fauci. ”Meski ini bukan hasil studi yang diharapkan, kita harus menyerap pengetahuan yang kita pelajari dari uji klinis Imbokodo dan melanjutkan upaya menemukan vaksin yang bisa melindungi dari HIV.”
Peneliti utama dari HIV Vaccine Trials Network sekaligus profesor di Fred Hutchinson Cancer Research Center di Seattle, AS, Larry Corey, mengatakan, selain kegagalan, ada juga kemajuan yang dicapai dalam riset vaksin HIV. Antibodi nonpentralisir yang terikat pada virus HIV yang semula diharapkan akan mampu memperlambat laju infeksi ternyata tidak bekerja sesuai dugaan.
Para pengembang vaksin harus mulai mencari cara bagaimana menghasilkan antibodi penetralisir untuk melawan virus HIV. ”Studi ini barangkali memperlihatkan betapa sulit dan berbedanya HIV dengan Covid-19,” ujar Corey.
Rangkaian kegagalan
Gagalnya calon vaksin HIV dari J&J ini bukanlah yang pertama dalam upaya dunia membuat vaksin untuk mengakhiri HIV. Sebelumnya, pada 2007 usaha perusahaan farmasi Merck mengembangkan vaksin HIV juga tidak berhasil.
Tahun 2009, harapan para ilmuwan kembali muncul ketika studi di Thailand memperlihatkan efikasi calon vaksin sebesar 30 persen. Akan tetapi, kolaborasi Sanofi dan GlaxoSmithKline mengembangkan vaksin HIV tahun lalu juga gagal.
Walaupun kegagalan demi kegagalan terjadi, hal itu tidak menyurutkan tekad para ilmuwan. ”Tidak mungkin ini jadi akhir dari pencarian vaksin HIV,” kata Mitchell Warren, Direktur Eksekutif AIDS Vaccine Advocacy Coalition (AVAC).
Paralel dengan studi Imbokodo, J&J juga mensponsori uji klinis fase 3 studi Mosaico (studi HVTN 706/HPX3002) yang menguji keamanan dan efikasi komposisi vaksin HIV yang berbeda pada laki-laki yang suka laki-laki (LSL) dan transjender. Studi ini dilakukan di Amerika dan Eropa karena strain virus HIV yang bersirkulasi berbeda dengan Afrika.
Selain itu, menurut Pop Science, Rabu (18/8/2021), Moderna memulai uji klinis dua calon vaksin HIV kepada manusia. Kedua vaksin ini dikembangkan dengan platform mRNA, platform yang sama yang dipakai dalam pengembangan vaksin Covid-19.
Apakah studi Mosaico dan uji klinis calon vaksin HIV lainnya akan berakhir seperti studi Imbokodo atau justru lebih baik? Kita tunggu hasilnya beberapa tahun mendatang.