HIV dan Beban Ganda Pandemi
Dalam situasi Covid-19 pasti target penanganan kasus HIV menjadi sulit. Diperlukan kerja keras, kesungguhan, dan kerja sama yang luar biasa dari semua pihak untuk dapat mencapai target sekaligus mengatasi pandemi ganda.
Tanggal 5 Juni 1981 menjadi salah satu tonggak dalam ilmu kedokteran ketika Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat mengumumkan melalui jurnal MMWR akan adanya penyakit radang paru akibat parasit Pneumocystis carinii pada lima pria muda.
Deteksi kasus dilakukan sejak Oktober 1980 melalui biopsi di tiga rumah sakit di Los Angeles. Kelima pria aktif itu juga menderita infeksi virus CMV dan jamur kandida. Dua dari lima pria tersebut akhirnya meninggal.
Inilah laporan pertama penyakit yang kemudian dikenal sebagai infeksi virus HIV dan jika memberat menjadi acquired immune deficiency syndrome (AIDS). Penyakit ini kemudian menyebar ke seluruh dunia, menjadi pandemi. Hanya saja, berbeda dengan Covid-19, kecepatan penyebaran lebih lambat dan kematian terjadi lebih pelan.
Ketakutan akan pandemi HIV merebak kuat pada era 1980-an, terutama karena tak ada pengobatan yang bisa diberikan terhadap virus ini. Saat itu diperlukan waktu dua tahun untuk dapat mengidentifikasi virus HIV. Pada Covid-19, kecepatan dokter dan para ahli di China untuk menemukan virus SARS-CoV-2 jauh lebih baik, yakni hanya dalam hitungan minggu.
Identifikasi virus HIV oleh Luc Montagnier dan Francois Barre Sinoussi dari Institute Pasteur di Paris sempat pula menimbulkan kontroversi ketika tim lain di AS yang dipimpin Robert Gallo memublikasi virus penyebab yang sama, setahun setelah publikasi tim Perancis. Belakangan, hadiah Nobel tahun 2008 hanya diberikan kepada tim Pasteur dan meninggalkan Robert Gallo.
Penularan yang sangat berperan adalah melalui hubungan seksual, penggunaan jarum suntik bersama, dan penularan dari ibu ke janin.
Perkembangan kasus HIV
Penularan virus HIV yang tak melalui saluran napas sangat memengaruhi kecepatan penularan dan metode pencegahan yang harus dilakukan. Orang tak perlu menjaga jarak atau memakai masker. Penularan yang sangat berperan adalah melalui hubungan seksual, penggunaan jarum suntik bersama, dan penularan dari ibu ke janin. Saat itu banyak pula orang tertular melalui transfusi darah, terutama di Eropa Timur, tetapi saat ini boleh dibilang mekanisme itu sudah berhasil ditiadakan.
Sampai hari ini diperkirakan ada sekitar 800 juta penderita HIV, yang sebagian besar sudah meninggal. Setiap tahun, jumlah penderita total di seluruh dunia berkisar 30 juta-40 juta dari berbagai usia. Penderita baru bisa mencapai 1-2 juta per tahun, terutama di daerah episenter, seperti Afrika. Kematian total dalam 40 tahun lebih dari 30 juta orang. Dalam hal ini juga tampak kemajuan ilmu kedokteran karena pada Covid-19 sebagai pembanding, dengan kecepatan penularan yang luar biasa, jumlah penderita meninggal bisa ditekan di bawah 3 juta.
Antivirus pertama untuk HIV yang diberi kode AZT baru ditemukan 1987. Ada tenggang enam tahun ketika penderita penyakit mematikan ini sama sekali tak punya obat harapan. Sejak itu, pertambahan jenis antivirus berjalan pesat. Para ahli sebenarnya tahu, satu macam obat tak cukup untuk HIV. Saat ini, kombinasi terbaik menggunakan sedikitnya tiga obat yang harus sangat aktif (singkatan yang digunakan HAART). Bisa dikata antivirus untuk HIV (ARV) adalah antivirus terkuat di dunia saat ini. Ini jelas suatu prestasi, mengingat menemukan antivirus itu sangat sulit.
Pada sisi yang berlainan, dalam hal vaksin sebagai upaya pencegahan, dunia sains tak berhasil membuat vaksin untuk virus HIV. Sebenarnya calon yang diteliti sudah sekitar 500, sebuah rekor dunia dalam upaya pembuatan vaksin. Masalahnya, virus HIV adalah target yang sulit, terutama karena kecepatan mutasi sekitar 100 kali lebih menakutkan daripada virus SARS-CoV-2.
Dalam teori vaksin, Covid-19 sebenarnya target yang relatif mudah. Hanya ada satu vaksin HIV yang sempat membangkitkan harapan, yaitu vaksin RV-144 yang diuji di Thailand sekitar 2003. Efikasi yang ditunjukkan memang hanya 30 persen, tetapi itulah saat pertama orang bisa membuktikan bahwa imunitas terhadap HIV itu bisa dibangkitkan. Sayang sekali dalam waktu setahun semua imunitas itu lenyap. Tahun lalu, vaksin terakhir yang diuji klinik dalam skala besar juga dihentikan karena hasil yang mengecewakan. Sungguh sulit membuat vaksin HIV.
Saat ini, situasi HIV di negara maju relatif sudah terkendali. Orang yang sakit (orang dengan HIV AIDS/ODHA) mendapat akses berobat yang bagus dan usia harapan hidup dapat dinaikkan. Penyakit ini sudah menjadi penyakit kronis dan bergeser dari kesan menakutkan sebagai penyakit pembunuh.
Pencegahan di lingkungan negara maju juga sangat luar biasa. Beberapa negara sudah sukses menihilkan salah satu sumber penularan utama, yaitu dari ibu ke anak. Pencegahan melalui jalur hubungan seksual saat ini dilakukan dengan berbagai cara dengan keberhasilan yang tinggi. Prinsip yang dianut adalah ”obat ARV adalah pencegahan utama”.
Walaupun kemajuan pengobatan dan pencegahan sudah sangat jauh, kedokteran belum berhasil menyembuhkan penderita HIV.
Belum bisa menyembuhkan
Walaupun kemajuan pengobatan dan pencegahan sudah sangat jauh, kedokteran belum berhasil menyembuhkan penderita HIV. Masalah utama adalah kemampuan virus bersembunyi di berbagai lokasi yang tak dapat dijangkau oleh ARV. Inilah yang memusingkan dan menjadi salah satu prioritas untuk diatasi. Yang dilakukan adalah berusaha menemukan obat jenis baru dan obat atau bahan yang bisa membongkar ”kuburan” virus di dalam tubuh.
Memang di dunia ada satu penderita HIV yang sembuh, Timothy Ray Brown alias Berlin Patient. Tahun lalu, dia meninggal. Kesembuhannya terjadi tanpa prediksi. Transplantasi sumsum tulang dari donor yang mengalami mutasi genetik pada koreseptor virus ternyata membuat virus tak mampu bertahan. Kasus langka ini baru sekali terjadi. Saat ini, ada dua pasien lain yang kemungkinan mengalami perjalanan yang sama, disebut sebagai London Patient dan Dusseldorf Patient. Para ahli sedang mengamati secara intensif kedua penderita ini sebelum tiba pada kesimpulan akhir.
Target Indonesia
Di Indonesia, penyakit HIV ditemukan pertama kali di Bali tahun 1987. Hingga saat ini, jumlah per tahun fluktuatif. Puncak pernah dicapai pada 2019 dengan sekitar 50.000 penderita HIV dan 7.000 penderita AIDS. Hingga pertengahan 2020, ada hampir 700.000 penderita HIV di negeri ini. Empat provinsi besar di Jawa adalah daerah utama, ditambah Papua. Ketika Thailand dan Malaysia sudah dinyatakan bebas transmisi dari ibu ke anak, di Tanah Air pengetesan untuk ibu hamil baru bisa dilakukan pada sekitar 60 persen ibu hamil. Sarana diagnostik sudah banyak disebar, tetapi menjangkau dan mengajak ibu hamil sering menjadi soal.
Tes untuk HIV berbeda dengan penyakit lain, perlu persetujuan yang bersangkutan. Masih cukup banyak orang ketakutan mendengar kata HIV dan menolak diperiksa. Keterbatasan ARV juga dirasakan karena dari enam kelas obat, praktis kita hanya bisa mengakses tiga kelas paling tua. Di era pandemi ganda yang dialami dunia karena HIV dan Covid-19, situasi menjadi lebih sulit.
Pada penderita HIV, penanganan Covid-19 lebih sukar karena komorbid lebih banyak dan kemampuan obat lebih terbatas. Vaksin Covid-19 juga mengalami penurunan kemampuan. Banyak program untuk HIV juga terganggu selama merebaknya Covid-19. Sebagian penderita mengalami keterlambatan berobat sehingga prosedur rutin terputus, termasuk obat ARV. Padahal, aturan konsumsi ARV sangat ketat. Bisa dipahami jika para ahli HIV sungguh waswas dalam dua tahun terakhir ini.
Masalah berat lain yang melingkupi HIV adalah soal stigma. Pandangan dan perlakuan masyarakat terhadap penderita atau segala sesuatu yang berhubungan dengan HIV sungguh memusingkan. Ini bukan monopoli kelompok tertentu. Ada mahasiswa yang terinfeksi HIV hendak dikeluarkan dari kampus semata-mata karena ODHA. Sekalipun sangat minim, masih ada tenaga kesehatan tak mau bersentuhan dengan ODHA, padahal jelas sekali penularan lewat sentuhan itu tidak bisa.
Melihat komposisi penderita terbesar adalah ibu rumah tangga, perlakuan tak adil perlu segera diakhiri. Banyak dari mereka bahkan tak kenal orang lain selain suaminya. Hal sama juga menimpa anak yang terkena HIV. Terlepas dari prestasi belajarnya, mereka dikucilkan, dikeluarkan dari sekolah, dan diberi cap buruk, sekalipun 100 persen tak bersalah. Menyelesaikan persoalan medis dan nonmedis sesungguhnya sama berat.
Baca juga: Target Ambisius Dunia Mengakhiri AIDS
Target dunia saat ini untuk HIV adalah 90-90-90. Kita harus bisa mendiagnosis 90 persen yang terinfeksi. Dari yang terdiagnosis itu harus sedikitnya 90 persen yang diobati dan dari yang mendapat terapi ini diharapkan ada 90 persen yang bisa menunjukkan hasil baik.
Bagi kita, target ini relatif jauh. Dalam situasi Covid-19 pasti target ini jadi lebih sulit. Diperlukan kerja keras, kesungguhan, dan kerja sama yang luar biasa dari semua pihak untuk dapat mencapainya. Sejarah membuktikan perjuangan bangsa kita berulang kali sudah terbukti. Dengan bekal sejarah yang panjang itu, seharusnya sekali lagi membuktikan bahwa kita memang bisa mengatasi masalah pandemi ganda ini.
Dominicus Husada, Kepala Divisi Infeksi dan Tropik Anak, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Koordinator HIV Anak FK Unair/RSUD Dr Soetomo, Surabaya