Tiga Tahun Moratorium Sawit, Deforestasi untuk Perkebunan Masih Terjadi
Hasil analisis Forest Watch Indonesia menunjukkan kebijakan moratorium sawit belum menurunkan deforestasi sehingga kebijakan ini mutlak dilanjutkan dengan implementasi yang lebih baik.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Hasil analisis menunjukkan moratorium perkebunan sawit yang berjalan selama tiga tahun dan akan berakhir 19 September 2021 belum menurunkan deforestasi. Kebijakan ini mutlak dilanjutkan dengan perbaikan dan implementasi yang lebih baik.
Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI) Mufti Fathul Barri mengemukakan, lokasi perkebunan kelapa sawit didominasi berada di Kalimantan dan Sumatera. Namun, saat ini lokasi perkebunan sawit sudah mulai bergeser ke wilayah timur seperti Sulawesi, Maluku, dan sebagian Papua.
“Pergeseran lokasi perkebunan sawit dari wilayah barat ke timur selalu mengatasnamakan pemerataan pembangunan. Namun, sebenarnya hal ini bukan karena pemerataan pembangunan tetapi lahan untuk sawit di Kalimantan maupun Sumatera sudah terbatas,” ujarnya dalam diskusi daring, Rabu (15/9/2021).
Selain pemerataan pembangunan, pandangan lain terkait masih adanya pembukaan lahan sawit yakni untuk ketahanan energi khususnya program biodisiel. Berdasarkan hasil studi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, diperlukan kebutuhan lahan baru untuk sawit hingga 9,2 juta hektar jika kebijakan biodisel 50 persen (B50) diterapkan di Indonesia.
Masih terjadinya deforestasi seharusnya membuat kebijakan ini tidak dihentikan dan harus diperpanjang dengan catatan adanya perbaikan mulai dari tata kelola, produktivitas, termasuk melihat deforestasi.
Menurut Mufti, pembukaan lahan sawit baru hingga 9,2 juta hektar dapat menyebabkan dampak ekologis dan sosial yang sangat besar. Fakta menunjukkan bahwa 16 juta hektar tutupan sawit yang ada di sejumlah wilayah di Indonesia saat ini juga telah terbukti menimbulkan banyak persoalan lingkungan maupun sosial.
Dari hasil analisis data yang dilakukan FWI, sebelum adanya kebijakan moratorium sawit, luas tutupan kawasan hutan mulai dari tahun 2009, 2013, dan 2017 selalu menunjukkan adanya tren penurunan. Akan tetapi, penurunan luas tutupan kawasan hutan ini masih tetap terjadi di dalam fwilayah perkebunan setelah moratorium sawit. Artinya, deforestasi masih terjadi dan tidak ada perubahan meski terdapat kebijakan moratorium.
Luas deforestasi untuk perkebunan sawit di dalam kawasan hutan dan area penggunaan lain (APL) saat tahun pertama moratorium diberlakukan pada 2018 tercatat lebih dari 39.000 hektar. Pada 2019, deforestasi masih terjadi dengan luasan mencapai 33.000 hektar dan 23.000 hektar pada 2020.
“Jadi moratorium sawit ini patut dipertanyakan bukan kebijakannya, melainkan implementasinya. Masih terjadinya deforestasi seharusnya membuat kebijakan ini tidak dihentikan dan harus diperpanjang dengan catatan adanya perbaikan mulai dari tata kelola, produktivitas, termasuk melihat deforestasi,” kata Mufti.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo menyatakan, pemikiran dan evaluasi tentang moratorium sawit dari semua pihak didengar oleh pemerintah jika kebijakan ini dilanjutkan. Namun, persoalan tata kelola sawit dan aspek lainnya sudah dianggap selesai jika pemerintah memutuskan untuk tidak memperpanjang kebijakan ini.
Hariadi menyayangkan bahwa kebijakan moratorium sawit sampai saat ini tidak ada proses evaluasi yang terbuka bagi publik. Ketiadaan evaluasi akan membuat perbedaan interpretasi semua pihak.
Di satu sisi, pemerintah akan menganggap moratorium sawit berhasil memperbaiki tata kelola dan mencegah deforestasi. Sedangkan di sisi lain, masyarakat sipil juga memiliki fakta sejumlah aspek yang tidak tercapai dalam moratorium sawit.
“Ide dari moratorium sawit yang terpenting itu membenahi perizinan dan meningkatkan produktivitas. Untuk mengetahui hal ini dibutuhkan riset selama tiga tahun. Sayangnya kita tidak pernah tahu apakah sudah ada instrumen untuk melihat capaian ini,” katanya.
Diatur UU Cipta kerja
Mewakili Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang juga mantan Asisten Deputi Tata Kelola Kehutanan pada kemenko tersebut, Prabianto Mukti Wibowo menyatakan, pemerintah telah melakukan evaluasi terhadap area kawasan hutan yang sudah dilepas untuk perkebunan sawit dan luasan tersebut mencapai 1,4 juta hektar. Menurut ketentuan dalam Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2018 terkait moratorium izin kebun sawit, temuan ini seharusnya diusulkan dan direkomendasikan oleh gubernur agar dikembalikan fungsinya menjadi kawasan hutan.
Prabianto menegaskan, saat kebijakan moratorium tengah dijalankan, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Segala penyelesaian permasalahan perkebunan sawit seperti keterlanjuran izin hingga pelanggaran kemudian juga teruang dalam UU Cipta Kerja beserta aturan turunannya.
“Penyelesaian sawit dalam kawasan hutan seharusnya sudah bisa diselesaikan dengan regulasi yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja baik peraturan pemerintah hingga peraturan menteri lingkungan hidup dan kehutanan,” katanya.
Dodi Slamet Riyadi, Asisten Deputi Penataan Ruang dan Kawasan Strategis Ekonomi Kemenko Perekonomian menyebutkan hasil analisis pada 2019 menunjukkan luas tutupan sawit di Indonesia mencapai 16,3 juta hektar. Dari jumlah tersebut, 12,7 juta hektar berada di area penggunaan lain dan 3,6 juta hektar di kawasan hutan.
Dari 16,3 juta hektar tutupan sawit tersebut, sebanyak 25,3 persen sudah memiliki hak guna usaha (HGU). Sedangkan 74,7 persen lainnya belum dilengkapi HGU. Sementara tutupan sawit yang berada di kawasan hutan dan sudah memiliki HGU mencapai 310.958 hektar.