Sejumlah Pihak Bisa Bantu Atasi Keterbatasan Anggaran Iklim
Alokasi anggaran Indonesia untuk perubahan iklim cukup terbatas sehingga membutuhkan dukungan dan bantuan dari pihak luar.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dukungan dan bantuan pendanaan dari sejumlah pihak sangat penting untuk mengatasi perubahan iklim di tengah kemampuan anggaran Indonesia yang terbatas. Di sisi lain, perlu juga melakukan beberapa inovasi dan terobosan untuk memenuhi pendanaan iklim ini.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyampaikan, pandemi telah memberikan peluang untuk mengubah sistem perekonomian dunia. Salah satu pendorong transformasi ekonomi dunia tersebut ialah implementasi pemulihan hijau.
”Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon guna mencapai ketahanan iklim. Ketahanan iklim ini menjadi isu utama karena dampak perubahan iklim lebih buruk dari yang kita hadapi sekarang,” ujarnya saat menjadi pembicara kunci dalam webinar internasional bertajuk ”Menjembatani Kebijakan dan Ilmu Pengetahuan untuk Manusia, Planet, dan Kesejahteraan”, Rabu (15/9/2021).
Menurut Febrio, pendanaan iklim untuk negara berkembang selalu menjadi isu yang besar dan strategis. Laporan Kementerian Keuangan pada 2018 menunjukkan, Indonesia membutuhkan sekitar 247,2 miliar dollar AS untuk menanggulangi perubahan iklim hingga tahun 2030. Selama lima tahun terakhir, Indonesia berhasil mendanai sekitar 21 persen dari kebutuhan pembiayaan iklim tahunan.
Undang-Undang Cipta Kerja dapat menjadi kerangka hukum untuk mempromosikan perkembangan perekonomian dan menyeimbangkan isu-isu lingkungan.
Febrio mengakui, alokasi anggaran Indonesia untuk perubahan iklim cukup terbatas sehingga membutuhkan dukungan dan bantuan dari pihak luar. Salah satu terobosan Indonesia untuk memenuhi pendanaan iklim ini ialah dengan menerbitkan sukuk hijau yang merupakan instrumen pembiayaan proyek ramah lingkungan. Sejak pertama kali diterbitkan pada 2018 hingga saat ini, nilai sukuk hijau telah mencapai 2,5 miliar dollar AS.
Anggaran tersebut kemudian dialokasikan untuk mitigasi banjir dan pemulihan area terdampak, akses energi terbarukan, dan berbagai proyek efisiensi di semua daerah. Berbagai proyek tersebut diharapkan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia hingga 8,9 juta setara karbon dioksida.
Selain itu, sektor swasta juga memegang peranan penting dalam pengembangan proyek iklim. Namun, hal ini juga masih menemui sejumlah tantangan dan kendala dari regulasi ataupun pasar yang belum berkembang.
Febrio menegaskan, mempromosikan ekonomi hijau saat ini merupakan gagasan yang tepat dan terarah dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dunia yang tengah lesu akibat pandemi. Pembuat kebijakan harus melihat pemulihan ekonomi ini dari perspektif jangka panjang sehingga pembangunan dapat lebih berkeadilan dan berkelanjutan.
Dalam menangani pandemi, Indonesia telah mengalokasikan sekitar 7,6 miliar dollar AS atau lebih dari Rp 100 triliun. Dana tersebut tidak hanya dialokasikan untuk skema jaminan sosial dan insentif pajak, tetapi juga untuk pendanaan proyek hijau padat karya. Salah satu proyek ini ialah restorasi pemulihan hijau yang meliputi lahan seluas 60.000 hektar dan melibatkan 25.000 orang di kawasan pesisir.
Sebelum pandemi, Indonesia sudah menjalankan perekonomian hijau dan membuat kebijakan strategis perubahan iklim yang menjadi fokus selama 2020-2024 di bawah strategi pembangunan rendah karbon. Guna mengakselerasi perekonomian hijau ini, pemerintah tengah merancang dua regulasi terkait dengan perdagangan karbon dan energi terbarukan.
”Indonesia sudah membuat peta jalan keuangan yang berkelanjutan dengan lembaga keuangan untuk meningkatkan portofolio mereka dalam proyek-proyek hijau. Undang-Undang Cipta Kerja dapat menjadi kerangka hukum untuk mempromosikan perkembangan perekonomian dan menyeimbangkan isu-isu lingkungan,” katanya.
Manajer Senior Iklim dan Hutan World Resources Institute (WRI) Indonesia Arief Wijaya mengemukakan, kerugian ekonomi yang disebabkan bencana alam dan dampak perubahan iklim di Indonesia cukup besar. Hasil studi dari Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), kerugian ekonomi ini mencapai Rp 544 triliun selama 2020-2024.
Arief menilai, keterbatasan anggaran iklim memang dihadapi oleh Indonesia. Bahkan, Pemerintah Indonesia tahun lalu juga menurunkan anggaran iklim dan dialihkan untuk penanganan pandemi. Oleh karena itu, dukungan dari sejumlah pihak, termasuk swasta, menjadi hal yang sangat diperlukan agar program penurunan emisi tetap berjalan.
Menurut Arief, keberhasilan penanganan perubahan iklim tidak hanya mencapai transisi dari ekonomi berbasis fosil menuju ekonomi hijau. Namun, keberhasilan ini dilihat dari bagaimana masyarakat rentan yang hidup di bawah garis kemiskinan bisa mendapat manfaat dari hasil pembangunan dan transisi ekonomi tersebut.
”Cara untuk mencapai keberhasilan ini ialah dengan menjembatani ilmu pengetahuan dengan kebijakan. Harus ada pelibatan strategis dengan sektor swasta, individual ,dan organisasi masyarakat sipil serta negara berkembang lainnya. Komunikasi kepada masyarakat untuk menangani krisi iklim juga harus dikedepankan,” ucapnya.