Pemegang Sertifikat Legalitas Kayu Ditemukan Menebang di Luar Konsesi
Praktik pembalakan liar oleh pemegang Sertifikat Legalitas Kayu (SLK) di luar area izin konsesi masih terjadi. Pemerintah harus menindak tegas semua pihak yang terlibat.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Unit manajemen pemegang sertifikat legalitas kayu masih ditemukan menebang kayu di luar rencana kerja tahunan dan di luar izin konsesinya. Pemerintah perlu menjatuhkan sanksi tegas yang berefek jera bagi para pelaku kejahatan kehutanan ataupun lembaga sertifikasi yang tidak menjalankan prosedur.
Hal tersebut terungkap dari hasil pemantauan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang dilakukan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Mangkubumi dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) sepanjang 2020-2021 serta diterbitkan Selasa (14/9/2021). Pemantauan tersebut dilakukan bersama masyarakat adat dan lokal di lima provinsi, yakni Kalimantan Tengah, Maluku Utara, Papua Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Pemantauan SVLK ini dilakukan dengan menggunakan strategi hulu-hilir pada 32 perusahaan atau unit manajemen pemegang Sertifikat Legalitas Kayu (SLK).
Hasil pemantauan di hulu menemukan pemegang konsesi dan industri primer bekerja sama melakukan praktik pembalakan liar di luar konsesi. Namun, mereka mengubah kayu dan dokumen tersebut menjadi legal serta tersertifikasi sertifikat legalitas kayu (SLK). Temuan lainnya, izin pemanfaatan kayu (IPK) berkedok kelompok tani juga melakukan pembalakan liar di luar areal izin. Akan tetapi, hasil pembalakan itu diklaim berasal dari lokasi izin.
Pemalsuan dokumen menjadi modus yang paling sering dilakukan oleh pelaku kejahatan kehutanan. Hal ini membuat pelaku ekspor dapat dengan mudah meraup keuntungan dari jual beli dokumen V-Legal.
Adapun di hilir, kayu ilegal dari berbagai daerah di luar Jawa, seperti Papua, Maluku, dan Kalimantan banyak dikirim ke Surabaya dan Gresik. Penindakan hukum mayoritas dilakukan di pelabuhan kedatangan dan hanya sedikit yang diperiksa di pelabuhan keberangkatan. Sementara pada izin perusahaan ekspor di Semarang, ditemukan penyalahgunaan berupa penjualan dokumen verifikasi legal (V-Legal) kepada pelaku usaha yang tidak memiliki SLK.
Semua hasil pemantauan terhadap 32 perusahaan kayu ini total menghasilkan 34 laporan yang kemudian disampaikan ke pihak yang berwenang. Sebanyak 11 perusahaan dilaporkan ke Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) atas temuan pelanggaran SVLK dan 7 perusahaan dilaporkan ke penegak hukum atas indikasi pelanggaran tindak pidana kehutanan.
Selain itu, 2 perusahaan telah dilaporkan ke dinas lingkungan hidup dan kehutanan karena isu pencemaran lingkungan. Terakhir, 14 Perusahaan juga dilaporkan ke Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) karena terindikasi melanggar ketentuan ekspor yang tidak ditindak oleh LVLK.
Juru Bicara PPLH Mangkubumi Agus Budi Purwanto mengatakan, pemalsuan dokumen menjadi modus yang paling sering dilakukan oleh pelaku kejahatan kehutanan. Hal ini membuat pelaku ekspor dapat dengan mudah meraup keuntungan dari jual beli dokumen V-Legal.
”Bila terus dibiarkan, praktik ini akan merusak kredibilitas SVLK. Padahal, selama ini SVLK telah dipromosikan hingga tingkat internasional sebagai sistem untuk mencegah pembalakan liar dan peredaran kayu ilegal,” ujarnya.
Di sisi lain, pemantauan SVLK secara independen dipandang akan menghadapi tantangan besar menyusul terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Sebab, selain mengubah nomenklatur tata kelola kehutanan, dalam peraturan menteri tersebut terdapat ketentuan yang membuat hutan lindung dapat dibebani perizinan.
Menurut Agus, keterbukaan informasi merupakan salah satu faktor terpenting untuk menghadapi tantangan pembalakan liar ke depan khususnya dalam hal pemantauan. Hal ini juga harus didukung dengan sejumlah data baik ekspor-impor maupun data Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH).
Juru Kampanye JPIK, Deden Pramudiana, menyatakan bahwa harus ada sanksi tegas yang berefek jera bagi para pelaku kejahatan kehutanan ataupun Lembaga Sertifikasi (LS) yang tidak menjalankan prosedur. Sebab, LS kerap menutupi kesalahan pemilik izin saat JPIK beberapa kali mengajukan keluhan terkait penyalahgunaan dokumen V-Legal.
”Selain itu, KLHK melalui Unit Pelaksana Teknis Kehutanan ataupun Dinas Kehutanan setempat harus memperketat pengawasan pelaksanaan SVLK agar kredibilitas SVLK dapat dipertahankan,” ujarnya.