Kekhawatiran Masyarakat Meningkat, Tapi Pengetahuan Masih Rendah
Aspek edukasi menjadi sangat penting agar masyarakat dapat mengetahui semua isu perubahan iklim dan melakukan aksi nyata untuk adaptasi maupun mitigasi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 9 dari 10 orang Indonesia mengaku khawatir terhadap perubahan iklim. Namun, tingkat pengetahuan mereka terkait perubahan iklim masih cukup rendah. Oleh karena itu, edukasi menjadi sangat penting agar masyarakat dapat turut melakukan aksi dalam aspek adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim.
Hal tersebut terangkum dalam hasil survei persepsi publik Indonesia dan wawasan terkait krisis iklim yang dilakukan lembaga Purpose. Survei ini melibatkan 2.073 responden yang tersebar di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah.
Direktur Kampanye Purpose Rika Novayanti dalam diskusi daring bertajuk ”Krisis Iklim di Mata Publik”, Jumat (10/9/2021), menyampaikan, perubahan iklim terutama menyebabkan kekhawatiran di Bali, Jakarta, dan Sumatera Selatan. Secara umum, terdapat hubungan yang kuat antara kekhawatiran atas perubahan iklim dan pengalaman terkena bencana
”Masyarakat di Jakarta dan Sumatera Selatan khawatir terhadap perubahan iklim karena daerah mereka kerap mendapat mengalami bencana. Sementara kondisi di Bali meski pengalaman bencananya rendah, ternyata kekhawatiran terhadap perubahan iklim juga tinggi. Mungkin ini juga ada kaitannya dengan agama tetapi perlu pendalaman,” ujarnya.
Hasil survei juga menunjukkan, perlindungan lingkungan termasuk dalam kebijakan terpenting ketiga bagi responden setelah pendidikan dan kesehatan. Responden menilai bahwa melindungi generasi mendatang, keluarga, dan kesehatan merupakan pendorong utama dalam menginginkan kebijakan yang lebih baik.
Terkait dengan pihak yang bertanggung jawab terhadap perlindungan lingkungan, sebanyak 82 persen responden menjawab orang Indonesia atau individu, disusul pemerintah, dan industri atau pelaku bisnis. Rika memandang jawaban ini berkaitan dengan minimnya edukasi masyarakat karena mereka belum bisa mengaitkan kebijakan yang lebih terstruktur dengan isu perubahan iklim.
Menurut Rika, kurangnya pengetahuan, relevansi, dan ajakan bertindak yang jelas merupakan hambatan paling umum yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, aspek edukasi menjadi sangat penting agar masyarakat dapat mengetahui semua isu perubahan iklim dan melakukan aksi nyata untuk adaptasi maupun mitigasi.
Responden juga menyadari bahwa bencana dan perubahan iklim tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga mental. (Rika Novayanti)
Selain itu, dari hasil survei ini, responden juga menyadari bahwa bencana dan perubahan iklim tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga mental. Sebanyak 54 persen responden merasakan dampak terhadap kesehatan fisik. Sementara 41 persen responden mengakui pengalaman menghadapi bencana berdampak terhadap kesehatan mental mereka maupun keluarganya.
”Temuan ini sangat menarik karena kesehatan mental belum menjadi isu yang mainstream (utama). Dampak terhadap kesehatan fisik mungkin tidak terlalu mengejutkan karena sudah banyak penelitian yang menemukan hubungan antara terjadinya penyakit ISPA dengan kebakaran hutan atau diare dengan banjir,” katanya.
Perkiraan dampak
Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Medrilzam menilai bahwa tingginya kekhawatiran masyarakat ini merupakan langkah yang bagus agar mereka lebih peduli terhadap isu perubahan iklim.
”Hal yang perlu dikampanyekan lagi, yaitu bagaimana perkiraan dampak perubahan iklim ke depan agar masyarakat lebih peka. Bappenas sudah menyiapkan perkiraan ini ke depan. Jadi, kecenderungan perubahan iklim ini akan lebih sering mengakibatkan kemunculan dan frekuensi kejadian-kejadian ekstrem. Inilah yang harus diantisipasi masyarakat,” ujarnya.
Menurut Medrilzam, Bappenas juga sudah membuat proyeksi dampak perubahan iklim hingga tingkat tapak sehingga masyarakat bisa lebih cepat meresponsnya. Di sisi lain, pemerintah terus membangun sistem peringatan dini bencana hidrometeorologi dan memberikan edukasi adaptasi serta mitigasi terhadap nelayan ataupun petani.
Meski demikian, ia mengakui sinergitas kebijakan tentang perubahan iklim masih perlu diperkuat hingga tingkat pemerintah kabupaten/kota. Meski belum semua daerah, tetapi beberapa pemerintah kabupaten/kota sudah sangat fokus terhadap isu perubahan iklim.
Peneliti Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Intan Suci Nurhati menambahkan, penjelasan segala isu perubahan iklim tidak boleh abstrak. Bahkan, Panel Antar-Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) juga berupaya untuk memberikan komunikasi yang jelas seperti yang tertuang dalam dokumen khusus bagi pembuat kebijakan.
”Pemahaman yang masih perlu ditingkatan tentang perubahan iklim ini sebenarnya tidak hanya di Indonesia, tetapi juga negara berkembang lainnya. Jadi isu ini jangan dijelaskan dalam bentuk abstrak, tapi harus langsung merujuk apa yang harus dilakukan masyarakat,” tambahnya.