Frekuensi Banjir dan Longsor Melonjak Dalam 10 Tahun
Pesatnya pertumbuhan penduduk meningkatkan risiko bencana akibat gerakan tanah. Ini diawali oleh pemanfaatan lahan yang tidak adaptif terhadap kondisi geologi lokal.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Frekuensi banjir di Indonesia telah meningkat lima kali lipat dalam 10 tahun terakhir, sedangkan longsor meningkat tiga kali lipat. Ancaman bencana terkait cuaca pada tahun 2021/2022 diperkirakan bakal meningkat seiring dengan musim hujan yang lebih awal dan lebih basah.
"Risiko bencana akibat gerakan tanah di Indonesia semakin besar seiring dengan pertumbuhan penduduk. Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang memiliki jumlah penduduk paling tinggi juga memiliki frekuensi bencana gerakan tanah paling banyak," kata Koordinator Mitigasi Gerakan Tanah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Agus Budianto, dalam diskusi daring yang diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kamis (2/9/2021).
Agus mengatakan, gerakan tanah diawali oleh pemanfaatan lahan yang tidak adaptif terhadap kondisi geologi lokal. Misalnya, pembangunan perumahan di lerengan, atau adanya penambangan dan perambahan hutan di daerah hulu untuk pertanian sehingga mengganggu kestabilan lereng. "Ini ditambah dengan gempa bumi yang menyebabkan ketidakstabilan tanah," kata dia.
Data BNPB menunjukkan adanya lonjakan frekuensi bencana longsor di Indonesia dalam kurun 10 tahun terakhir hingga tiga kali lipat, sekalipun jumlah korban jiwa relatif menurun. Pada tahun 2011, terjadi 329 kali longsor dengan korban 169 orang meninggal dan 2 orang hilang.
Pada tahun 2015, terjadi 502 kali longsor dengan korban 131 orang meninggal dan 43 orang hilang. Sedangkan pada 2020, terjadi 1.054 kali longsor dengan korban 117 orang meninggal dan 8 orang hilang.
Secara akumulatif, dalam kurun 2011-2020, bencana longsor telah terjadi sebanyak 5.845 kali dengan korban jiwa sebanyak 1.577 orang dan 205 orang hilang. Longsor juga merusak 11.595 rumah dengan skala berat, 6.401 skala menengah dan 17.997 skala ringan.
Untuk mengantisipasi ini, PVMBG sudah mengeluarkan peta risiko longsor secara nasional yang dimutakhirkan tiap bulan. Peta risiko ini disusun berdasarkan titik longsor yang pernah terjadi di masa lalu, serta kondisi geologi lokal, selain juga prediksi curah hujan dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika.
"Dalam peta ini, titik longsor menjadi sangat penting karena seringkali yang pernah terjadi di masa lalu akan terus berulang," kata dia.
Agus mengatakan, banyak kawasan memiliki ancaman longsor yang permanen, karena itu solusinya juga harus permanen. "Harus rajin dokumentasikan titik longsor, ini terutama tugas BPBD (Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah). Data ini akan bisa dipakai ke depannya. Berikutnya, selalu siapkan dokumen tanggap darurat dan budayakan ronda saat masuk musim hujan," kata dia.
Menurut Agus, masyarakat bisa turut memantau kerentanan longsor di wilayahnya dengan memantau perubahan jalur air dan retakan tanah yang terjadi selama musim hujan. "Selain itu, juga perlu dipantau apakah ada perubahan tata guna lahan di lereng dan posisi pemukiman di muka lembah dan lereng," kata dia.
Data BNPB juga menunjukkan, frekuensi banjir meningkat lima kali lipat dalam kurun 10 tahun terakhir. Pada tahun 2011 banjir terjadi 573 kali dengan korban jiwa sebanyak 151 orang dan hilang 35 orang. Tahun 2020 banjir terjadi 1518 kali dengan korban 235 orang meninggal dan 27 orang hilang.
Edwin Alexander dari Direktorat Bina Operasional Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengatakan, salah satu upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana terkait cuaca adalah membangun sistem peringatan dini. "Saat ini kami sedang mengembangkan SIMADU (Sistem Informasi Manajemen Air Terpadu)," kata dia.
Menurut Edwin, sejauh ini sudah ada kerjasama dengan BMKG untuk ketersediaan data. "Ke depan akan kerjasama dengan LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) untuk prediksi banjir, termasuk juga awal musim tanam dengan pemantauan satelit," kata dia.
Bencana Kebakaran
Kasubdit Penanggulangan Karhutla Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Radian Bagiyono mengatakan, sekalipun tahun 2021/2022 diprediksi memasuki musim hujan lebih awal dan lebih basah. Namun demikian, sejumlah daerah tetap perlu mewaspadai kebakaran hutan dan lahan.
"Walaupun di beberapa wilayah sudah ada hujan potensial banjir, tapi dua bulan terakhir masih di puncak kemarau. Saat ini sudah 83 persen wilayah kita puncak musim kemarau," kata dia.
Kewaspadaan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), menurut Radian, terutama perlu dilakukan di Sumatera bagian tengah, Nusa Tenggara Timur, dan pesisir selatan Kalimantan. "Dari Agustus-September masih ada potensi risiko. Prediksi BMKG, November-Desember baru reda ancaman karhutla," kata dia.
Sejauh ini, menurut Radian ada enam provinsi sudah status waspada. "Saat ini, kami sudah bekerjasama dengan BMKG untuk prediksi kekeringan dan kemudian BPPT untuk modifikasi cuaca untuk menjaga agar lahan gambut yang potensial kering di kemarau tetap basah. Dari modifikasi cuaca tahun 2020 curah hujan dibandingkan prediksi dan historis, peningkatannya 12-35 persen," kata dia.
Tren global menunjukkan adanya peningkatan frekuensi bencana terkait cuaca. Laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) pada Rabu (1/9) menunjukkan, pada 1970-an, dunia mengalami rata-rata 711 bencana terkait cuaca per tahun. Tetapi, dari tahun 2000 hingga 2009 meningkat menjadi 3.536 kali per tahun atau hampir 10 kali per hari. Jumlah rata-rata bencana tahunan turun sedikit pada 2010-an menjadi 3.165.
Namun demikian, jika dilihat jumlah korban jiwa cenderung menurun. Pada 1970-an dan 1980-an, bencana terkait cuaca membunuh sekitar 170 orang per hari di seluruh dunia. Pada tahun 2010, turun menjadi sekitar 40 orang per hari.
"Kabar baiknya kita dapat meminimalkan jumlah korban ketika mulai mengalami peningkatan jumlah bencana: gelombang panas, peristiwa banjir, kekeringan, dan terutama badai tropis yang intens seperti Ida, yang baru-baru ini melanda Louisiana. dan Mississippi di Amerika Serikat," kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas, dalam keterangan pers.
Taalas mengatakan, kabar buruknya, kerugian ekonomi akibat bencana hidrometerologi telah berkembang sangat pesat. "Padahal kita akan melihat lebih banyak iklim ekstrem karena perubahan iklim, dan tren negatif dalam iklim ini akan berlanjut selama beberapa dekade mendatang," kata dia.