Laporan Organisasi Meterologi Dunia atau WMO menyebutkan bahwa kejadian bencana hidrometeorologis cenderung meningkat. Kabar baiknya, jumlah korban relatif turun. Ini diduga karena membaiknya kesiapsiagaan di masyarakat.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bencana hidrometeorologi yang melanda dunia meningkat empat sampai lima kali lebih sering dan menyebabkan kerusakan tujuh kali lebih banyak daripada tahun 1970-an. Namun, bencana ini menewaskan lebih sedikit orang dibandingkan sebelumnya.
Data ini dilaporkan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), badan cuaca di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada Rabu (1/9/2021. Laporan WMO ini disampaikan WMO untuk mengkaji fenomena 11.000 bencana terkait cuaca dalam setengah abad terakhir.
”Kabar baiknya, kita dapat meminimalkan jumlah korban ketika kita mulai mengalami peningkatan jumlah bencana: gelombang panas, peristiwa banjir, kekeringan, dan terutama badai tropis yang intens seperti Ida, yang baru-baru ini melanda Louisiana dan Mississippi di Amerika Serikat,” ujar Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas dalam keterangan pers.
Taalas mengatakan, kabar buruknya, kerugian ekonomi akibat bencana hidrometeorologi telah berkembang sangat pesat. ”Padahal, kita akan melihat lebih banyak iklim ekstrem karena perubahan iklim, dan tren negatif dalam iklim ini akan berlanjut selama beberapa dekade mendatang,” kata dia.
Kabar baiknya adalah kita belajar bagaimana hidup dengan risiko dan melindungi diri kita sendiri.
Laporan yang menggunakan data dari Pusat Penelitian Epidemiologi Bencana di Belgia ini menyebutkan, pada 1970-an dunia mengalami rata-rata 711 bencana terkait cuaca per tahun. Tetapi, dari tahun 2000 hingga 2009 meningkat menjadi 3.536 bencana per tahun atau hampir 10 kali per hari. Jumlah rata-rata bencana tahunan turun sedikit pada 2010-an menjadi 3.165 bencana.
Meski demikian, jika dilihat jumlah koban jiwa, cenderung menurun. Pada 1970-an dan 1980-an, bencana terkait cuaca membunuh sekitar 170 orang per hari di seluruh dunia, tetapi tahun 2010 turun menjadi sekitar 40 orang per hari.
Kematian dan kerugian
Laporan ini juga menyebutkan, sebagian besar kematian dan kerusakan selama 50 tahun bencana cuaca berasal dari badai, banjir, dan kekeringan. Sebanyak 90 persen korban atau lebih dari 2 juta kematian terjadi di negara berkembang, sedangkan hampir 60 persen kerusakan ekonomi terjadi di negara-negara kaya.
Pada 1970-an, bencana terkait cuaca menelan biaya sekitar 175 juta dollar AS per tahun secara global jika disesuaikan dengan nilai dollar pada 2019. Nilai kerugian itu meningkat menjadi 1,38 miliar dollar AS per tahun tahun 2010-an.
Lima bencana cuaca paling merugikan secara ekonomi sejak tahun 1970 semuanya badai di Amerika Serikat, dipuncaki oleh Badai Katrina tahun 2005. Sementara lima bencana cuaca paling mematikan terjadi di Afrika dan Asia, dipuncaki oleh kekeringan dan kelaparan di Etiopia pada pertengahan 1980-an dan Topan Bhola di Bangladesh pada 1970.
Banyaknya kehancuran dan kerugian ekonomi, menurut laporan ini, terjadi karena semakin banyak orang pindah ke daerah berbahaya. Padahal, perubahan iklim membuat bencana cuaca lebih kuat dan lebih sering terjadi.
Namun, di sisi lain, peringatan dan kesiapsiagaan cuaca lebih baik sehingga mengurangi jumlah korban tewas. Hal ini terutama terjadi di negara-negara kaya.
”Kabar baiknya adalah kita belajar bagaimana hidup dengan risiko dan melindungi diri kita sendiri. Di sisi lain, kita masih membuat keputusan bodoh tentang di mana menempatkan infrastruktur,” kata Susan Cutter, Direktur Hazards and Vulnerability Research Institute di University of South Carolina, mengomentari laporan tersebut.
Menurut Cutter, badai Ida adalah contoh yang baik dari kerusakan berat dan korban jiwa yang mungkin lebih sedikit daripada badai besar sebelumnya. Tahun ini, bencana cuaca tampaknya akan datang setiap beberapa minggu.
Data Indonesia
Tren kenaikan frekuensi bencana terkait hidrometeorologi di Indonesia juga meningkat. Analis kebijakan dari Direktorat Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Firza Ghozalba, dalam diskusi di BMKG pada Jumat (27/8/2021), menunjukkan, hampir 80 persen bencana di Indonesia terkait hidrometeorologi, sedangkan 20 persen bencana geologi.
Data BNPB juga menunjukkan, tren frekuensi bencana hidrometeorologi juga diikuti meningkatnya kerugian ekonomi. Adapun korban jiwa akibat banjir menunjukkan peningkatan, sedangkan untuk longsor cenderung menurun.
Misalnya, pada tahun 2011 terjadi 151 banjir dengan jumlah korban 151 orang dan hilang 35 orang. Pada tahun 2016 terjadi 824 banjir dan menewaskan 193 orang dan korban hilang 60 orang. Sementara pada tahun 2020 terjadi 1.518 banjir dengan korban jiwa 235 orang dan hilang 27 orang.
Bencana longsor tahun 2011 melanda 329 kali dengan korban jiwa 169 orang dan hilang 2 orang. Pada 2016 terjadi 599 longsor dengan korban jiwa 152 orang dan hilang 34 orang. Sementara pada 2020 terjadi 1.054 longsor dengan korban jiwa 117 orang dan hilang 8 orang.