Skenario jangka panjang dalam penanganan Covid-19 perlu disiapkan. Keterbukaan informasi serta komunikasi risiko pada masyarakat juga perlu diperbaiki.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Vaksinasi Covid-19 bukan merupakan peluru perak dalam penanganan pandemi. Namun percepatan vaksinasi menjadi salah satu cara efektif mengendalikan penularan. Hal itu disebabkan vaksinasi bisa mengurangi risiko perburukan penyakit tersebut meski tidak bisa mencegah penularan.
Menurut Peneliti vaksin dan biologi molekuler di Australia National University, Ines Atmosukarto, dalam webinar yang diikuti dari Jakarta, Rabu (1/9/2021), pelaksanaan vaksinasi Covid-19 penting dalam upaya pengendalian pandemi. Vaksinasi memang tidak bisa mencegah penularan tetapi risiko perburukan bisa dikurangi sehingga beban di fasilitas kesehatan juga dapat ditekan.
Karena itu, vaksinasi untuk mengejar cakupan dosis pertama dan dosis kedua mesti dipercepat serta target sasaran vaksinasi perlu diperluas. “Cakupan vaksinasi seluas-luasnya perlu kita dorong. Kita sebaiknya melupakan target 70 persen yang ditetapkan pemerintah. Dengan ada varian Delta, target itu amat minimalis. Jadi kita harus berusaha memvaksinasi semua penduduk,” ucap Ines.
Ia menyampaikan, kelompok rentan seperti warga lanjut usia atau lansia harus segera dilindungi. Jumlah sasaran vaksinasi pada lansia di Indonesia masih minim. Padahal, lansia memiliki kerentanan yang tinggi ketika tertular Covid-19.
Kementerian Kesehatan mencatat per 1 September 2021, jumlah penduduk yang sudah mendapatkan vaksinasi Covid-19 sebanyak 64,2 juta orang sementara penduduk yang mendapatkan dosis lengkap sampai dosis kedua sebanyak 36,4 juta atau 17,5 persen dari target yang ditetapkan.
Dari jumlah itu, lansia yang sudah mendapatkan dosis pertama sebanyak 5,3 juta dan dosis kedua baru 3,7 juta orang. Adapun target vaksinasi lansia sebanyak 21,5 juta orang dari total sasaran seluruhnya sebanyak 208,2 juta penduduk.
Hidup berdampingan
Selain itu, masyarakat diharapkan bisa hidup berdampingan dengan Covid-19. Penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 tersebut diperkirakan bertahan dalam jangka panjang. Karena itu, rencana jangka panjang perlu disiapkan untuk mengendalikan penyakit tersebut.
Guru Besar Bidang Sosiologi Bencana dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura, Sulfikar Amir menyampaikan, peta jalan pengendalian pandemi perlu segera disiapkan. Peta jalan tersebut tidak hanya untuk menyelesaikan pandemi Covid-19, melainkan juga untuk mengantisipasi pandemi di masa depan.
“Di satu titik kita bisa mengendalikan penyebaran virus korona namun penyakit tersebut masih terjadi. Kondisi yang bisa disebut sebagai endemi ini tetap harus disiapkan dengan baik dengan indikator yang jelas dan terukur,” ujarnya dalam webinar bertajuk “Skenario Pascapandemi”, Rabu (1/9).
Menurut dia, skenario berupa peta jalan penanganan pandemi perlu dipersiapkan secara komprehensif. Itu mencakup intervensi epidemiologis, intervensi sosial, dan intervensi ekonomi. Peta jalan tersebut diharapkan bisa menjadi acuan dalam transformasi penanganan pandemi yang lebih terencana.
Di satu titik kita bisa mengendalikan penyebaran virus korona namun penyakit tersebut masih terjadi. Kondisi yang bisa disebut sebagai endemi ini tetap harus disiapkan dengan baik dengan indikator yang jelas dan terukur.
Dalam jangka pendek, peta jalan penyelesaian pandemi Covid-19 bisa disusun dalam tiga fase, yakni fase supresi, fase stabilisasi, dan fase normalisasi. Pada fase pertama, target yang dituju yakni menekan angka kasus penularan dan kematian. Pembatasan sosial serta pelacakan dan pemeriksaan menjadi kunci keberhasilan pada fase ini. Itu juga termasuk dalam pelaksanaan vaksinasi.
Fase kedua, ujar Sulfikar, pengendalian penularan Covid-19 bisa ditetapkan pada tingkat tertentu. Di fase ini pula, pembukaan aktivitas sosial dan ekonomi bisa dijalankan secara parsial. Sebelum membuka aktivitas masyarakat, teknik pengendalian risiko penularan Covid-19 perlu dipastikan.
Fase ketiga yakni fase normalisasi. Pada fase ini pandemi sudah dikatakan terkendali. Persepsi risiko masyarakat dan sistem surveilans juga sudah berjalan dengan baik. Indikator untuk menentukan fase ini yaitu angka kasus positif di bawah satu persen dan jumlah kasus harian kurang dari 1.000 kasus per hari,
“Penggunaan teknologi dan sistem pendataan yang andal dan transparan merupakan hal mutlak untuk melewati setiap tahapan dengan baik. Masyarakat harus tahu saat ini sedang masuk dalam fase apa dan apa pula yang akan terjadi setelah fase ini dilewati,” kata Sulfikar.
Menanggapi hal tersebut, Deputi II Kantor Staf Presiden Bidang Pembangunan Manusia, Abetnego Panca Putra Tarigan menuturkan, skenario jangka panjang penanganan Covid-19 sudah menjadi pembahasan dalam rapat kabinet. Kelembagaan dan pendanaan pun menjadi pertimbangan yang akan dibahas.
“Tantangannya saat ini dalam konteks pandemi Covid-19 memang lebih banyak ad hoc-nya dan banyak terjadi resentralisasi dalam intervensi.Ini perlu kita bahas lagi untuk konteks pandemi ke endemi karena kita tahu di negara kita, desentralisasi adalah keputusan final,” tuturnya.