Peran puskesmas sangat penting dalam upaya pelacakan dan pemeriksaan kasus Covid-19. Namun, dengan beban yang cukup tinggi, dukungan semua pihak diperlukan untuk memperkuat peran puskesmas.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah kontak erat yang dilacak terkait kasus Covid-19 di Indonesia sangat terbatas. Selain sumber daya yang kurang, penolakan di masyarakat menjadi penyebabnya. Keterlibatan semua pihak pun dibutuhkan untuk mengatasi kendala tersebut.
Data Kementerian Kesehatan per 27 Agustus 2021 mencatat, rasio kontak erat yang dilacak dari kasus konfirmasi Covid-19 sebesar 6,59 kasus per satu kasus konfirmasi. Jumlah ini masih kurang dari target yang ditetapkan pemerintah, yakni minimal delapan kontak erat per satu kasus konfirmasi.
Jika melihat data di tingkat provinsi, sebagian besar wilayah juga masih jauh dari target yang ditetapkan. Hanya ada tiga provinsi yang memenuhi target, yakni Sumatera Utara (10,36 kasus per satu kasus konfirmasi), Nusa Tenggara Barat (9,57 kasus), dan Jawa Timur (9,49 kasus). Sementara daerah dengan rasio kontak erat terendah yakni Kalimantan Tengah (1,78 kasus), Jambi (2,30 kasus), dan Kepulauan Bangka Belitung (2,46 kasus).
Program Manager for Primary Health Care Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Fitri Arkham Fauziah, di Jakarta, Jumat (27/8/2021), mengatakan, penguatan puskesmas mutlak diperlukan dalam upaya pengendalian Covid-19. Itu termasuk pada upaya peningkatan pelacakan dan pemeriksaan di masyarakat.
Kolaborasi antarklinik dan laboratorium swasta bisa dilakukan dengan puskesmas sebagai koordinator layanan di wilayah.
”Dengan beban yang cukup tinggi, puskesmas perlu didukung oleh semua pihak. Untuk meningkatkan performa tes, kolaborasi antarklinik dan laboratorium swasta bisa dilakukan dengan puskesmas sebagai koordinator layanan di wilayah,” ucapnya.
Selain itu, Fitri menyampaikan, integrasi program dan layanan juga bisa dilakukan. Integrasi itu meliputi integrasi surveilans, promosi kesehatan, dan pelayanan esensial kelompok rentan. Layanan tes bisa dilakukan setiap hari dengan memperbanyak titik layanan, mulai dari puskesmas pembantu, pos binaan terpadu, hingga poli atau balai pengobatan puskesmas.
Pencarian kasus aktif juga perlu melibatkan masyarakat melalui surveilans ILI (Influenza Like Illness) dari komunitas. Dari upaya surveilans ini, 92 persen masyarakat yang masuk dalam kelompok suspek dan kontak erat harus dites.
Kepala Unit Pelaksana Tes Daerah (UPTD) Puskesmas Limo, Depok, Jawa Barat, Winarni Naweng mengungkapkan, stigma menjadi kendala dalam upaya pelacakan di masyarakat. Ini terutama pada saat awal pandemi Covid-19. Masyarakat enggan untuk diperiksa karena takut jika hasil dari pemeriksaan tersebut positif Covid-19.
Masyarakat takut dijauhi oleh lingkungannya jika positif Covid-19. Meski saat ini stigma tersebut tidak terlalu besar, keengganan masyarakat untuk dilacak dan diperiksa masih tinggi. Masyarakat tidak mau memberikan data dirinya karena takut jika data yang diberikan disalahgunakan. Padahal, data ini penting untuk pelaporan dan pemantauan selanjutnya.
”Kendala lainnya yakni pada pelacakan yang harus dilakukan di luar wilayah. Banyak dari kasus konfirmasi berasal dari kluster perkantoran. Sementara sebagian besar masyarakat di Depok bekerja di DKI Jakarta. Koordinasi antarpuskesmas pun diperlukan agar pelacakan bisa lebih maksimal,” tutur Winarni.
Tim Teknis Pemulihan Bali Badan Nasional Pengendalian Bencana (BNPB) Hashfi Khairuddin menuturkan, pelibatan TNI dan Polri melalui babinsa dan bhabinkamtibmas turut mendukung kepatuhan masyarakat untuk dilacak dan diperiksa. Dengan pelatihan, peran babinsa dan bhabinkamtibmas menjadi lebih optimal.
Selain itu, harmonisasi antara puskesmas, mahasiswa, dan TNI-Polri turut mendukung upaya pelacakan yang lebih baik. Masyarakat juga diharapkan bisa lebih terbuka dalam pelacakan dan kooperatif untuk diperiksa.
”Harus ada gerakan bersama. Jadi mahasiswa yang ikut turun dalam proses pelacakan bisa dibekali dengan kemampuan edukasi ke masyarakat. Jika perlu tenaga kesehatan juga bisa ikut turun ke masyarakat sehingga bisa sekaligus melakukan tes karena tidak sedikit wilayah yang jauh dari akses fasilitas pelayanan kesehatan,” katanya.