Pangan lokal tak kalah bermutu akan gizi dan nutrisi bagi masyarakat Indonesia. Mengonsumsinya pun membawa pada kedaulatan pangan. Ini agar terus didengungkan sehingga konsumsi pangan lokal meningkat.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesadaran publik terhadap keberagaman bahan pangan lokal dan produk ramah lingkungan masih perlu ditingkatkan. Lembaga pemerhati lingkungan dan pemengaruh (influencer) pun bekerja sama mengedukasi masyarakat secara daring akan ragam pangan dan olahannya.
Direktur Komunikasi dan Kemitraan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) Rika Anggraini mengatakan, pengetahuan publik terhadap pangan penting mengingat jumlah penduduk bertambah setiap tahun. Pengetahuan soal variasi bahan pangan akan mendorong ketahanan pangan.
”Dari segi diversifikasi, bahan pangan kita belum digarap secara optimal karena masih bergantung pada beras dan tepung. Padahal, potensi bahan pangan kita luar biasa,” ucap Rika pada diskusi daring, Rabu (25/8/2021).
Dalam kegiatan Mei 2021, Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan, ada sekitar 100 jenis pangan sumber karbohidrat, 100 jenis kacang-kacangan, 250 jenis sayuran, dan 450 jenis buah. Semuanya tersebar di Tanah Air. Indonesia juga punya beragam sumber protein nabati ataupun hewani.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mencatat, 60 persen konsumsi karbohidrat di Indonesia berasal dari padi-padian, yaitu beras dan terigu. Sementara itu, konsumsi umbi-umbian baru 2-3 persen.
Rika mengatakan, masih ada kesenjangan pengetahuan di masyarakat soal pangan. Pemahaman soal keberagaman bahan pangan baru dimiliki sebagian orang. Hal ini perlu dijembatani, antara lain, dengan mengedukasi publik lewat media sosial.
”Kami kerja sama dengan influencer. Produk kolaborasi itu adalah kompetisi di media sosial. Audiens diajak mengolah sorgum dan kopi,” ucap Rika. ”Ini mendorong pangan lokal agar lebih populer,” tambahnya.
Menurut pemengaruh yang juga pegiat kuliner Ade Putri, belum semua orang mengenal sorgum. Sebagian masyarakat urban mengetahuinya sebagai produk impor, padahal bukan. Tanaman serealia ini banyak ditanam di Nusa Tenggara Timur dan menjadi tanaman pokok kedua setelah jagung.
Selain itu, belum banyak orang yang paham ragam pengolahan sorgum. Ia mengatakan, sorgum dapat diolah seperti nasi. Sorgum dapat dimasak serupa nasi goreng, dicampur dengan salad, dan dimakan dengan beragam lauk. Ia menambahkan, sorgum punya aroma nutty atau seperti kacang-kacangan. Selain nikmat, sorgum juga kaya serat dan nutrisi serta dapat tumbuh di lahan kering.
”Ini (kompetisi pengolahan pangan) jadi program agar banyak orang mengolah sorgum dan kopi lokal. Harapannya adalah orang-orang ingat kita punya potensi pangan,” kata Ade.
Kolaborasi
Kolaborasi lembaga pemerhati lingkungan dengan pemengaruh juga dilakukan pihak lain. Hal ini diwadahi dalam platform bernama Gush for Good. Platform ini mempertemukan lembaga, komunitas, dan organisasi dengan para pemengaruh. Mereka dapat berdiskusi dan mencari solusi nyata di situ.
Menurut Head of Corporate Communication Gushcloud Indonesia Edo Oktorano Erhan, para pemengaruh dan lembaga pemerhati lingkungan sama-sama berkeinginan untuk memberi dampak positif kepada masyarakat. Hal itu melatarbelakangi terbentuknya Gush for Good. ”Kita kumpulkan ide sebanyak-banyaknya agar bisa berdampak bersama,” ucapnya.
Pengurus Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) Mentari Diniartiwi mengatakan, dirinya berkolaborasi dengan pemengaruh untuk mempromosikan UMKM. Para pelaku UMKM binaan didorong untuk menghasilkan produk yang diproduksi secara berkelanjutan.
Salah satu hasil kolaborasi itu adalah dibuatnya pameran UMKM secara daring beberapa waktu lalu. Pelaku UMKM juga diwadahi dalam toko bernama Gerai Kabupaten Lestari di platform e-dagang. Produk-produk yang dijual telah dikurasi.
Pemengaruh Satya Winnie mengatakan, meningkatkan pemahaman publik dapat dilakukan melalui video yang dikemas dengan bahasa dan narasi yang ringan. Cara penyampaian narasi di video pun perlu disesuaikan dengan karakter audiens.
”Misalnya, karena aku traveller, maka audiens suka melihat gambar yang estetik dan indah,” katanya.