Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia bekerja sama dengan Universitas Kyoto, Jepang mengkaji potensi pengembangan tanaman sorgum untuk menggantikan alang-alang di lahan marjinal. Penandatanganan kerja sama dilakukan di Kebun Raya Bogor, Rabu (21/3).
BOGOR, KOMPAS--Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia bekerja sama dengan Universitas Kyoto, Jepang mengkaji potensi pengembangan sorgum untuk menggantikan alang-alang di lahan marjinal yang di Indonesia luasnya sekitar 10 juta hektar ini. Selanjutnya, sorgum dikembangkan sebagai bahan pangan dan energi alternatif.
Kerja sama penelitian dalam skema Science and Technology Research Partnership for Sustainable Development (SATREPS) ini didukung oleh JICA (Japan International Coorporation Agency) dan JST (Japan Science and Technology) untuk jangka waktu 2016 sampai dengan 2021.
Penelitian ini meliputi aspek hulu berupa pengembangan varietas sorgum yang cocok ditanam di lahan kering yang biasanya ditumbuhi alang-alang. Kajian juga dilakukan terhadap optimalisasi pemanfaatan sorgum untuk biomassa bagi energi alternatif, pangan alternatif, dan material bangunan.
Penyerahan peralatan untuk mendukung penelitian ini dilakukan di Laboratorium Treub, Kebun Raya Bogor, Rabu (21/3). Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI Enny Sudarmonowati mengatakan, kerja sama ini dalam rangka mencari sumber pendanaan alternatif untuk pengembangan pengetahuan hayati.
“Ini yang ketiga kalinya bidang hayati LIPI mendapatkan dana SATREPS, padahal kami harus berkompetisi dengan berbagai lembaga riset negara lain,” kata dia.
Menurut Enny, LIPI tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah untuk mendanai penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. "Semakin lama dana pemerintah semakin kurang," kata dia.
Enny menyebutkan, bantuan alat-alat dari program SATREPS ini senilai Rp 8 miliar. "Alat-alat ini bisa untuk merevitalisasi laboratorium sehingga memiliki kapasitas internasional. Selain peralatan yang juga sangat penting adalah terbukanya kesempatan para peneliti LIPI untuk mendapatkan beasiswa doktoral di Jepang yang kalau dihitung per mahasiswa Rp 3 miliar-Rp 4 miliar,” kata Enny.
Sedangkan bagi Jepang, menurut Toshiaki Umezawa dari Kyoto University, kerja sama ini memberi peluang bagi peneliti Jepang untuk meneliti keragaman hayati di daerah tropis. Selain itu, di masa depan, hasil penelitian diharapkan bisa berkontribusi bagi perdagangan di antara dua negara.
"Jepang merupakan negara kecil yang membutuhkan banyak impor dari negara lain, termasuk dari Indonesia," kata dia.
Potensi sorgum
Manajer Proyek SATREPS-LIPI, I Made Sudiyana, mengatakan, riset awalnya ditujukan untuk mencari solusi pemanfaatan lahan kering yang biasa ditumbuhi alang-alang yang luasnya di Indonesia mencapai 10 juta hektar. Selama ini, lahan marginal ini belum dimanfaatkan secara optimal.
“Area marginal alang-alang yang kami teliti terutama di Katingan, Kalimantan Tengah dan Malaka, Nusa Tenggara Timur. Kami sudah menjalin kerjasama di dua daeran ini,” kata dia.
Sorgum (Shorgum bicolor) kemudian dipilih untuk dikembangkan di lahan alang-alang ini karena tanaman ini tahan kekeringan dan dapat tumbuh dengan cepat sekalipun di lahan kritis. Tanaman sorgum juga memiliki banyak fungsi, yaitu bijinya untuk bahan pangan, batangnya bisa diperas untuk menghasilkan gula, dan juga bisa dimanfaatkan untuk material bangunan (particle board).
“Manfaat lain yang kami kembangkan yaitu pemanfaatan batang tanaman sorgum sebagai sumber biomass untuk energi alternatif,” kata Made.
Menurut Made, para peneliti Jepang telah menemukan jenis sorgum yang memiliki tingkat lignin hingga 30 persen, dari umumnya 20 persen, sehingga kalorinya lebih tinggi. “Kami sekarang sudah mendata sekitar 100 jenis sorgum lokal untuk dianalisis apakah ada yang memiliki kadar lignin tinggi juga. Sejauh ini sudah ketemu beberapa kandidat,” kata dia.
Di NTT, tanaman ini dulu menjadi salah satu bahan makanan utama, namun sekarang mulai terpinggirkan oleh beras. "Kalimantan juga memiliki sorgum sendiri. Jadi, penelitian ini juga bisa memetakan keragaman sorgum kita yang selama ini kurang diperhatikan, padahal potensinya sangat besar," kata dia.
Kepala Kebun Raya Bogor Didik Widiatmoko mengatakan, pengembangan sorgum di lahan marjinal akan dikombinasikan dengan aneka tanaman lokal.
“Pada prinsipnya kita tidak ingin mendorong pertanian yang monokultur karena tidak ramah lingkungan. Kami akan kombinasikan tanaman sorgum ini dengan aneka jenis tanaman lain sehingga selain masih optimal secara ekonomi, secara ekologi juga ramah,” kata dia.