Ketimpangan Vaksin Covid-19 di Dalam dan Luar Negeri
Di saat negara-negara kaya berencana memberikan ”booster” vaksin Covid-19 kepada warganya, negara berpenghasilan rendah justru kekurangan vaksin. Kesenjangan vaksinasi Covid-19 antardaerah juga terjadi di Indonesia.
Israel telah memberikan suntikan booster vaksin Covid-19 kepada penduduk lanjut usia pada pekan ini. Sejumlah negara kaya lainnya sedang mempertimbangkan hal yang sama. Rencana ini bakal memperlebar kesenjangan akses terhadap vaksin.
Analisis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, jika 11 negara kaya memberikan booster vaksin kepada warga usia 50 tahun ke atas, mereka akan menyedot sekitar 440 juta dosis vaksin. Jika semua negara berpenghasilan tinggi dan menengah ke atas melakukan hal serupa, angkanya jadi berlipat ganda.
WHO menyatakan bahwa suntikan ini akan lebih berguna untuk mengendalikan pandemi jika dikirim ke negara berpenghasilan rendah dan menengah, di mana lebih dari 85 persen populasinya (sekitar 3,5 miliar jiwa) belum mendapatkan suntikan dosis pertama.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus pada Rabu (4/8/2021) menyerukan penghentian pemberian penguat atau booster vaksin Covid-19 hingga setidaknya akhir September 2021.
Baca Juga: Potret Timpang Dunia dalam Penguasaan Vaksin
”Saya memahami keprihatinan semua pemerintah untuk melindungi rakyatnya dari varian Delta. Namun, kami tidak dapat menerima negara-negara yang telah menggunakan sebagian besar pasokan vaksin global untuk menggunakan lebih banyak lagi,” tutur Tedros menambahkan.
Ketika negara-negara berpenghasilan tinggi memberikan sekitar 50 dosis untuk setiap 100 orang pada Mei 2021, negara-negara berpenghasilan rendah hanya mampu memberikan 1,5 dosis untuk setiap 100 orang. ”Prioritas sekarang adalah harus memvaksinasi mereka yang belum menerima vaksin,” kata Tedros.
Sangat tidak adil karena untuk ke tempat vaksin banyak orang datang dari jauh, rela jalan kaki, dan ternyata tidak kebagian.
Laporan dari KFF, organisasi kebijakan kesehatan yang berbasis di San Francisco, pada Juli 2021 menemukan, dengan laju vaksinasi saat ini, negara-negara berpenghasilan rendah tidak akan mencapai tingkat perlindungan substansial hingga tahun 2023.
Semua vaksin Covid-19 yang disahkan oleh sebagian besar negara kaya terbukti mengurangi risiko rawat inap dan kematian akibat Covid-19 hingga lebih dari 90 persen. Para ilmuwan belum tahu seberapa besar perlindungan oleh booster.
Namun, yang jelas, efek dari mereka yang tidak menerima vaksin apa pun jauh lebih pasti. Di Benua Afrika, di mana hanya 2 persen orang yang telah divaksinasi, kasus Covid-19 meningkat, dengan tingkat kematian lebih tinggi dari rata-rata global.
Ketimpangan di Indonesia
Data Kementerian Kesehatan, hingga Kamis (12/8/2021), sebanyak 52,6 juta penduduk telah mendapat suntikan vaksin Covid-19 dosis pertama, sedangkan yang telah mendapatkan suntikan dosis kedua baru 26,4 juta orang.
Adapun tenaga kesehatan (nakes) yang telah mendapat suntikan pertama mencapai 1,6 juta atau 107 persen dari target. Sementara penerima suntikan kedua sebanyak 1,4 juta atau 100,8 persen dari target. Kini, tenaga kesehatan juga sudah mulai mendapatkan suntikan booster vaksin Moderna, bantuan dari Amerika Serikat.
Sekalipun demikian, laporan WHO 28 Juli 2021 menyebutkan, masih sekitar 20 persen nakes di Papua yang belum mendapat vaksin sama sekali. Banyak nakes di Maluku, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Aceh, dan berbagai daerah lain juga belum menerima vaksin pertama.
Baca Juga: WHO Soroti Ketimpangan Akses Vaksin Covid-19 di Indonesia
Laporan ini juga mencatat adanya ketimpangan vaksin antardaerah. Ketika hampir 90 persen populasi sasaran di Bali sudah mendapat dosis pertama, di Lampung masih kurang dari 10 persen.
Selain Bali, daerah dengan cakupan vaksinasi yang tinggi adalah DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Yogyakarta, dan Sulawesi Utara. Mayoritas daerah dengan cakupan vaksin tinggi merupakan pusat ekonomi dan wisata. Adapun tiga daerah dengan cakupan vaksin terbawah selain Lampung adalah Maluku Utara dan Papua.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mengatakan, kesulitan vaksin dialami banyak masyatakat adat. Hingga 10 Agustus, ada 566.892 anggota AMAN yang sudah mendaftar untuk vaksin Covid-19, tetapi belum mendapatkannya.
Sulitnya mengakses vaksin ini dirasakan Dicky Senda, pemuda adat dari Mollo, Kecamatan Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. ”Saya sudah vaksin pertama 16 Juni, tetapi sampai sekarang belum ada kejelasan untuk vaksin kedua yang sesuai jadwal harusnya 27 Juli. Katanya masih kosong,” ucapnya.
Baca Juga: Pastikan Pemerataan Vaksinasi Covid-19 sampai ke Pelosok
Prioritas sekarang adalah harus memvaksinasi mereka yang belum menerima vaksin.
Dicky mengatakan, banyak orang yang senasib dengan dirinya. ”Warga sebenarnya banyak antusias untuk vaksin, tetapi vaksinnya tidak ada. Cara pemberian vaksin juga semrawut. Ada indikasi vaksin dan nomor antrean dimainkan. Sangat tidak adil karena untuk ke tempat vaksin banyak orang datang dari jauh, rela jalan kaki, dan ternyata tidak kebagian,” tuturnya.
Keterlambatan vaksinasi di daerah tersebut disebabkan oleh keterbatasan pasokan. ”Dari 426 juta vaksin yang dibutuhkan, kita baru terima 150 juta dosis,” kata Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi.
Nadia mengakui, hingga saat ini kebutuhan vaksin di Indonesia masih belum cukup. Dari 150 juta vaksin yang diterima ini, sebanyak 101 juta sudah terdistribusi. ”Sisanya masih dalam proses karena masih berupa bulk. Yang lain, seperti Moderna, baru mau didistribusikan dan ada yang masih proses kendali mutu di Badan Pengawas Obat dan Makanan, seperti vaksin dari AstraZeneca,” katanya.
Menurut Nadia, kesulitan warga mendapat vaksin dosis kedua setelah menerima vaksin pertama disebabkan masalah manajemen di daerah. ”Tiap minggu ada pengiriman vaksin. Namun, banyak daerah yang menghabiskan jatah vaksinnya untuk suntikan dosis pertama, tidak memperhitungkan dosis kedua,” tuturnya.
Rebutan ”booster”
Di tengah terbatasnya stok dan ketimpangan vaksinasi Covid-19 antardaerah, bantuan vaksin Moderna malah jadi rebutan pejabat, elite politik, dan aparat keamanan, yang telah mendapat vaksin lengkap, sebagai booster. Ini misalnya dilaporkan terjadi di Toraja, Sulawesi Selatan.
”Ini sudah tidak sesuai karena mengurangi hak masyarakatnya sendiri yang masih memerlukan vaksinasi dosis pertama dan kedua,” kata Nadia. Menurut dia, sebanyak 1,5 juta vaksin Moderna dialokasikan untuk booster nakes. Masyarakat umum belum memerlukan booster vaksin Covid-19.
Baca Juga: Vaksin Covid-19 Buatan Moderna Rentan Disalahgunakan
Peneliti vaksin dan biologi molekuler di John Curtin School of Medical Research, Australia National University, Ines Atmosukarto, dalam diskusi yang diadakan LaporCovid-19 pada Minggu (8/8) mengingatkan agar masyarakat tidak mencari booster vaksin. ”Jangan cepat-cepat ingin mendapatkan booster, sementara banyak saudara kita yang bahkan belum kebagian vaksin,” ujarnya.
Booster vaksin untuk tenaga kesehatan, menurut Ines, dibutuhkan karena tinggnya paparan yang dialami tenaga kesehatan sehari-hari. Namun, hal ini tidak terjadi kepada kebanyakan masyarakat.
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara yang juga anggota COVAX Independent Allocation of Vaccines Group (IAVG), Tjandra Yoga Aditama, juga mengingatkan, dengan keterbatasan pasokan, seharusnya vaksin yang ada tidak digunakan untuk booster, apalagi untuk kelompok non-nakes.
Vaksin harus didistribusikan dengan prinsip keadilan, sesuai dengan kriteria kesehatan. Pemberian vaksin juga tidak boleh bias kepentingan politik, ekonomi, atau wisata. Selain membahayakan kelompok rentan, bias kepentingan dalam vaksinasi juga bakal memperlambat upaya untuk keluar dari pandemi....