Satu Kematian dalam Pandemi, Cermin Berlapis Persoalan
Jumlah korban jiwa yang akurat merupakan ukuran paling nyata dari dampak pandemi. Dia tidak hanya menggambarkan keparahan dari aspek kesehatan, tetapi juga sosial ekonomi.
Sebanyak 2.048 orang (saudara, tetangga, ataupun sejawat kita) di negeri ini dilaporkan meninggal karena Covid-19 dalam sehari pada Selasa (10/8/2021). Hal ini merupakan rekor penambahan korban jiwa tertinggi kedua selama pandemi.
Dari 110.619 korban jiwa karena Covid-19 yang dilaporkan selama pandemi ini, sebanyak 35.628 orang atau 32,2 persen terjadi selama Juli 2021 saja. Sementara selama 10 hari pertama di bulan Agustus 2021 ini, sudah ada 13.286 korban jiwa atau 12 persen dari total korban.
Penambahan korban jiwa rata-rata 1.000 orang per hari ini terjadi sejak 16 Juli 2021, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan penambahan korban jiwa karena Covid-19 paling tinggi di dunia. Data di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Covid-19 Dashboard pada Rabu (11/7/2021) menunjukkan, total korban jiwa karena Covid-19 di Indonesia selama sepekan terakhir mencapai 11.730 orang.
Jumlah ini merupakan yang tertinggi di dunia, hampir dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah korban jiwa di Brasil dalam sepekan yang menempati urutan kedua dengan 6.317 orang. Rusia menempati urutan ketiga dengan 5.517 orang, India sebanyak 3.487 orang, dan Amerika Serikat sebanyak 3.425 orang.
Baca juga : Menyikapi Lebih dari 1.000 Kematian Covid-19 Sehari
Padahal, dari penambahan kasus selama sepekan, Indonesia hanya berada di urutan ke-5 dunia dengan 222.121 kasus baru. Angka kasus ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan AS yang memiliki penambahan kasus baru tertinggi di dunia dengan 726.160 kasus baru, disusul India dengan 271.651 kasus baru.
Pertanyaannya, kenapa dengan penambahan kasus yang relatif lebih sedikit Indonesia memiliki jumlah kematian tertinggi di dunia? Bagaimana membaca secara kritis data ini untuk memahami keparahan pandemi di Indonesia?
Akurasi data
Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita perlu dulu mengkritisi data kematian Covid-19 di Indonesia. Sebagaimana diakui oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi yang juga Koordinator Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa-Bali Luhut Binsar Pandjaitan, data kematian Covid-19 di Indonesia belum akurat.
Dalam konferensi pers secara daring pada Senin (9/8/2021), Luhut mengatakan, data kematian tidak lagi dijadikan indikator untuk menentukan tingkat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Berdasarkan penurunan angka kasus terkonfirmasi positif Covid-19, ada 26 kabupaten/kota yang berhasil turun dari PPKM Level 4 ke Level 3.
”Evaluasi tersebut kami lakukan dengan mengeluarkan indikator kematian dalam penilaian karena kami temukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang sehingga menimbulkan distorsi dalam penilaian,” ujar Luhut.
Baca juga : Data Kematian Indikator Keparahan Pandemi Tidak Bisa Dihapus
Akurasi soal data pandemi di Indonesia, termasuk angka kematian, sebenarnya sudah berulang kali dipertanyakan para ahli sejak awal pandemi. Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, bukan hanya angka kematian yang terlambat dalam input data, melainkan hal ini juga terjadi pada kasus harian dan kasus aktif di Indonesia.
Kasus harian dan kasus aktif di Indonesia tidak merepresentasikan situasi hari ini, bisa terlambat beberapa hari hingga minggu, tergantung antrean pemeriksaan dan pelaporan.
”Kenapa yang dihilangkan sebagai indikator penilaian PPKM hanya data kematian? Mestinya datanya diperbaiki, bukan dihapus, karena data kematian sangat penting untuk menilai keparahan pandemi dan membuat intervensi yang tepat,” kata Dicky, yang juga kolaborator ahli di LaporCovid-19.
Data LaporCovid-19 menunjukkan, angka kematian yang dilaporkan pemerintah sebenarnya juga masih underreported atau jauh di bawah kondisi sesungguhnya. Rekapitulasi data LaporCovid-19 bersumber laporan 510 kabupaten/kota di Indonesia hingga 7 Agustus 2021 menunjukkan angka kematian karena Covid-19 sudah mencapai 124.790 korban jiwa, sementara pada hari yang sama laporan Kemenkes baru ada 105.598 korban jiwa. Ini berarti ada selisih 19.192 data kematian yang dilaporkan kabupaten/kota tidak ada dalam laporan resmi Kementerian Kesehatan.
Kenapa yang dihilangkan sebagai indikator penilaian PPKM hanya data kematian? Mestinya datanya diperbaiki, bukan dihapus, karena data kematian sangat penting untuk menilai keparahan pandemi.
Dicky mengatakan, data kematian terkait Covid-19 di Indonesia sejauh ini juga belum mengikuti panduan WHO. Mengacu pada panduan WHO pada 18 April 2020 korban jiwa karena Covid-19 ditentukan berdasarkan kondisi klinis, termasuk mereka yang probable atau terduga dan yang telah terkonfirmasi melalui tes. Dikecualikan jika ada penyebab kematian lain yang sudah pasti bukan Covid-19, misalnya karena kecelakaan.
Baca juga : Masyarakat Adat dan Covid-19
Meski demikian, laporan kematian karena Covid-19 di Indonesia hanya mereka yang sudah terkonfirmasi melalui tes dengan metode reaksi rantai polimerase (PCR). Kondisi ini menyebabkan angka kematian karena Covid-19 yang sesungguhnya bisa jauh lebih tinggi daripada laporan resmi selama ini.
”Saya beberapa kali ikut rapat dengan Kementerian Kesehatan tentang perbaikan data tes dan pelaporan kasus, tetapi memang belum ada pembahasan tentang pelaporan angka kematian sesuai definisi WHO. Kematian yang dilaporkan masih yang ada hasil PCR positif,” kata epidemiolog di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Iwan Ariawan.
Sementara epidemiolog dari Universitas Jenderal Soedirman, Yudhi Wibowo, mengatakan, dinas kesehatan di daerah juga tidak memasukkan mereka yang meninggal dengan kondisi reaktif antigen sebagai korban Covid-19. Padahal, WHO sudah merekomendasikan penggunaan tes antigen untuk surveilans dan hal ini sudah pula diadopsi oleh Kemenkes.
”Namun, klaim kematian karena Covid-19 oleh rumah sakit belum bisa dilakukan kalau hanya dengan antigen, harus memakai PCR. Data kematian dengan korban diperiksa memakai tes antigen tidak dimasukkan dalam data kematian Covid-19 secara nasional,” ujarnya.
Tingkat keparahan
Jody W. Zylke, editor senior di Journal of the American Medical Association (JAMA) dalam artikelnya pada 4 Agustus 2020 menyebutkan, kematian harus menjadi ukuran akurat dari evolusi dan efek pandemi, hasil terburuk, hasil yang tegas. Namun, jumlah kematian yang dikaitkan dengan Covid-19 dalam laporan resmi dipastikan lebih kecil daripada kematian yang sesungguhnya karena persoalan pelaporan dan keterbatasan tes.
Orang-orang yang meninggal di rumah, sebelum didiagnosis atau dites terkena Covid-19, tidak akan terdata. Selain itu, menurut Zylke, Covid-19 juga bisa menyebabkan kematian secara tidak langsung walaupun di satu sisi bisa mengurangi risiko kematian dari penyebab lain.
Sebagai contoh, selama puncak kasus dan rumah sakit dipenuhi pasien Covid-19, upaya perawatan berbagai pasien dengan penyakit lain, misalnya gagal ginjal atau jantung, bisa terhambat yang meningkatkan risiko kematian. Sebaliknya, upaya pembatasan selama pandemi bisa menurunkan risiko kematian karena kecelakaan, penyakit influenza, dan berbagai penyakit menular lain.
Dengan memasukkan sejumlah faktor yang bisa menyebabkan peningkatan dan pengurangan risiko kematian ini, para ahli kemudian menggunakan excess death atau kematian berlebih selama pandemi sebagai ukuran yang paling real. Di Indonesia, studi excess death baru dilakukan Iqbal Elyazar dari Eijkman Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) dan tim untuk wilayah Jakarta. Hasilnya, selama 10 bulan pertama di tahun 2020 ditemukan 42.460 orang meninggal atau lebih banyak 61 persen dibandingkan dengan rata-rata tahunan.
Meski belum memperhitungkan berbagai variabel dalam penghitungan excess death, besarnya korban jiwa selama pandemi di Indonesia bisa tecermin dari Laporan Dinas Pemberdayaan Perlindungan Perempuan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jawa Timur pada Senin (9/8/2021).
Berdasarkan data Kependudukan (Konsolidasi) Bersih atau DKB Semester 1 Tahun 2021, pada akhir Juli 202, selama enam bulan jumlah penduduk di Jawa Timur berkurang hampir 50.000.
Jumlah penduduk Jawa Timur berdasarkan DKB Semester 2 Tahun 2020 sebesar 41.044.406 jiwa. Sementara berdasarkan DKB Semester 1 Tahun 2021 sebesar 40.994.515 jiwa alias ada penurunan 49.891 jiwa. Padahal, laporan resmi Kementerian Kesehatan total kematian di Jawa Timur sejak awal pandemi sampai sekarang baru 23.292 orang.
Penelusuran Kompas di beberapa desa di Pulau Jawa juga menunjukkan, lonjakan kematian hingga 10 kali lipat dan mayoritas tidak didata sebagai korban Covid-19. Misalnya, di Desa Burujul Wetan, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, dari 50 orang yang meninggal pada bulan Juli, hanya lima yang dikubur dengan protokol Covid-19.
Cemin beragam persoalan
Kembali ke tingginya data kematian Covid-19 di Indonesia—sekalipun masih underreported—sedangkan laporan kasus relatif kecil, menurut Dicky Budiman, hal ini mencerminkan adanya banyak masalah dalam penanganan pandemi di Indonesia. ”Melihat penambahan angka penambahan Indonesia menjadi yang tertinggi di dunia juga menunjukkan lemahnya intervensi tes dan tracing di hulu,” ujarnya.
Lemahnya tes dan lacak ini menyebabkan banyak kasus yang lolos dari deteksi sehingga selain berisiko memperbesar risiko penularan juga meningkatkan risiko kematian bagi yang bersangkutan. ”Orang dengan faktor risiko dan komorbid yang tidak terdeteksi akhirnya tidak tertolong, menyebabkan tingginya kematian warga di luar fasilitas kesehatan,” katanya.
Bicara kematian juga tidak bisa melihat aspek kesehatan, karena hal ini juga menjadi output dari banyak hal. Dari satu kematian, kita bisa melihat berbagai persoalan yang harus diatasi, bukan hanya kesehatan, melainkan juga sosial ekonomi.
Misalnya, perilaku sosial masyarakat desa saat ini yang menghindari rumah sakit karena takut mengalami stigma Covid-19 dan tetap bekerja harian karena tidak ada dukungan sosial ekonomi juga bisa menjadi faktor risiko yang meningkatkan kematian. Selain itu, tingginya risiko kematian bisa menandai keterbatasan akses terhadap fasilitas kesehatan.
Maka, dengan ketidakakuratan data kematian di Indonesia, seharusnya yang bisa dilakukan ialah memperbaikinya, bukan malah menghilangkannya sebagai indikator pembatasan. Data kematian yang akurat juga dibutuhkan masyarakat untuk menilai situasi sesungguhnya dari pandemi sehingga bisa meresponsnya secara lebih tepat....