Data Kematian Indikator Keparahan Pandemi Tidak Bisa Dihapus
Tingkat kematian adalah indikator penting keparahan suatu wabah di suatu daerah. Angka ini agar disampaikan secara jujur untuk menggambarkan kondisi sesungguhnya untuk penanganan lebih akurat.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Data kematian merupakan indikator sangat penting dalam penanganan pandemi dan hingga kini hal ini masih jauh lebih rendah daripada kondisi di lapangan. Masalah dalam input data kematian seharusnya diperbaiki, bukan dihilangkan.
”Angka kematian tidak bisa dihilangkan sebagai indikator penting dalam pandemi. Kalau datanya tidak akurat atau terlambat inputnya, seharusnya diperbaiki, bukan justru dihilangkan sehingga keputusan yang diambil dengan mengabaikan data itu justru bisa keliru,” kata epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, Selasa (10/8/2021).
Dicky mengatakan hal ini menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi yang juga Koordinator Pemberlauan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa-Bali, Luhut Binsar Pandjaitan.
Dalam konferensi pers secara daring pada Senin (9/8/2021), Luhut mengatakan, terdapat 26 kabupaten/kota yang berhasil turun dari PPKM level 4 ke level 3. Penurunan ini didasarkan pada angka kasus terkonfirmasi di Jawa dan Bali yang cukup signifikan di mayoritas provinsi, salah satunya DKI Jakarta.
Meski demikian, menurut Luhut, angka kematian tetap tinggi dan hal ini diakibatkan oleh keterlambatan dalam memasukkan data kematian. ”Evaluasi tersebut kami lakukan dengan mengeluarkan indikator kematian dalam penilaian karena kami temukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang sehingga menimbulkan distorsi dalam penilaian,” kata Luhut.
Dicky mengatakan, angka kasus dan rasio kepositifan (test positivity rate) serta tingkat kematian merupakan indikator dasar dalam epidemiologi guna pengendalian wabah. ”Rasio kepositifan menggambarkan situasi pengendalian. Kalau angka tes kepositifan di atas 5 persen, artinya belum terkendali. Kalau angka kematian untuk mengetahui dampaknya, terutama jika jumlah tes dan lacak kita sangat terbatas seperti sekarang,” katanya.
Menurut Dicky, tingkat kematian adalah indikator penting keparahan suatu wabah. ”Dengan menghapusnya, kita akan kehilangan indikator sangat penting untuk mengetahui seberapa parah dampak pandemi Covid-19 di suatu wilayah,” lanjutnya.
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia, Iwan Ariawan, mengatakan, sebelumnya ada pembahasan mengenai pelaporan angka kematian yang keliru, seperti terlambat memasukkan datanya dan kemungkinan data ganda. ”Seharusnya diperbaiki, bukan dihilangkan,” katanya.
Iwan mengatakan, jika dilihat dalam pemantauan data mingguan di Kementerian Kesehatan, data kematian masih ada. ”Sampai tanggal 9 Agustus masih jadi indikator pemantauan,” ujarnya.
Banyak belum terdata
Data Kementerian Kesehatan, jumlah kasus Covid-19 secara nasional bertambah 32.081 kasus baru. Penambahan kasus tertinggi terjadi di Jawa Tengah sebesar 4560 kasus baru, disusul Jawa Barat 4.163 kasus baru, dan Jawa Timur 3.618 kasus baru. Kasus aktif secara nasional turun sebesar 11.453 sehingga secara total sebesar 437.055 kasus aktif.
Adapun korban jiwa bertambah 2.048 sehingga total mencapai 110.619 orang yang meninggal secara nasional. Penambahan korban terbanyak terdapat di Jawa Barat sebesar 491 orang, Jawa Tengah 490 orang, dan Jawa Timur 329 orang. Di luar Jawa, penambahan angka kematian terbanyak terdapat di Kalimantan Timur yang mencapai 79 orang.
Klaim kematian karena Covid-19 oleh rumah sakit belum bisa dilakukan kalau hanya dengan antigen, harus pakai PCR. Data kematian dengan korban dengan antigen tidak dimasukkan dalam data kematian Covid-19 secara nasional.
Sementara data LaporCovid-19 menunjukkan adanya selisih data kematian yang cenderung melebar antara data versi kabupaten/kota dan data Kementerian Kesehatan ini. Rekapitulasi data bersumber laporan 510 kabupaten/kota di Indonesia hingga 7 Agustus 2021 menunjukkan angka kematian karena Covid-19 sudah mencapai 124.790 jiwa, sedangkan pada hari yang sama laporan Kemenkes baru ada 105.598 korban jiwa. Ini berarti ada selisih 19.192 jiwa data kematian yang dilaporkan kabupaten/kota tidak ada dalam laporan Kemenkes.
Dicky mengatakan, data kematian terkait Covid-19 di Indonesia sejauh ini juga belum mengikuti panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Mengacu pada panduan WHO pada 18 April 2020, korban jiwa karena Covid-19 ditentukan berdasarkan kondisi klinis, termasuk mereka yang probable atau terduga dan yang telah terkonfirmasi melalui tes. Dikecualikan jika ada penyebab kematian lain yang sudah pasti bukan Covid-19, misalnya karena kecelakaan.
Namun, laporan kematian karena Covid-19 di Indonesia hanya mereka yang sudah terkonfirmasi melalui tes polimerase rantai ganda (PCR). Kondisi ini menyebabkan angka kematian karena Covid-19 yang sesungguhnya bisa jauh lebih tinggi dari laporan resmi selama ini.
Epidemiolog lapangan dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Yudhi Wibowo, mengatakan, dinas kesehatan daerah tidak memasukkan mereka yang meninggal dengan kondisi reaktif antigen sebagai korban Covid-19. Padahal, WHO sudah merekomendasikan penggunaan tes antigen untuk surveilans dan hal ini sudah pula diadopsi oleh Kemenkes.
”Namun, klaim kematian karena Covid-19 oleh rumah sakit belum bisa dilakukan kalau hanya dengan antigen, harus pakai PCR. Data kematian dengan korban dengan antigen tidak dimasukkan dalam data kematian Covid-19 secara nasional,” katanya.
Dengan kondisi ini, Institute for Health Metrics and Evaluation University of Washington menyebutkan, kematian karena Covid-19 di Indonesia pada Mei 2021 lalu mencapai 2,5 kali lipat dari laporan resmi pemerintah.