Dua Pekan Data Dibenahi, Kematian Sementara Tak Dipakai sebagai Indikator Pengendalian Covid-19
Pemerintah untuk sementara waktu tidak menggunakan data kematian sebagai indikator penanganan Covid-19. Langkah ini dinilai tidak tepat karena bisa berpengaruh pada pengambilan kebijakan yang tidak tepat sasaran.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Pemerintah untuk sementara waktu tidak menggunakan data kematian sebagai indikator pengendalian pandemi Covid-19 di Indonesia. Sebab, ada pelaporan data yang dianggap tidak akurat.
“Langkah-langkah perbaikan untuk memastikan data yang akurat terus dilakukan. Sekarang sedang dilakukan clean up data dan sudah ada tim khusus yang diturunkan. Kami harap dalam dua minggu ke depan sudah bisa selesai,” ujar Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi saat dihubungi di Jakarta, Rabu (11/8/2021).
Ia mengatakan, data kematian tersebut tidak dipakai untuk sementara waktu karena ditemukan adanya pelaporan data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu sebelumnya. Hal ini dinilai menimbulkan penyimpangan atau distorsi dalam penilaian pengendalian Covid-19.
Menurut dia, banyak data kematian yang ditumpuk sehingga pelaporannya pun menjadi terlambat. Akibatnya, hasil analisis dari data tersebut menjadi bias sehingga sulit menilai perkembangan situasi yang sebenarnya di suatu daerah.
“Nanti akan di-include indikator kematian ini jika data sudah rapi. Sementara ini masih kita gunakan lima indikator lain untuk assessment, seperti BOR (tingkat keterisian tempat tidur rumah sakit), kasus konfirmasi, perawatan di RS, tracing, testing, dan kondisi sosio-ekonomi masyarakat,” tutur Jodi.
Tak boleh dihilangkan
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M Faqih menyampaikan, indikator kematian tidak boleh dihilangkan dalam indikator penilaian pengendalian Covid-19. Indikator kematian sangat penting untuk menilai tingkat keparahan serta besarnya masalah pandemi yang sedang dihadapi.
Selain itu, indikator kematian ini diperlukan untuk menilai tingkat keberhasilan penanganan pandemi. Tingkat penyelamatan pasien yang ditangani juga bisa dilihat dari indikator tersebut.
Angka kematian merupakan indikator yang sangat esensial dalam pelayanan kesehatan. Jika indikator ini dihapus kita tidak bisa mengevaluasi upaya pengendalian pandemi secara komprehensif sehingga kebijakan kita dalam penanganan pandemi sangat dikhawatirkan tidak adekuat dan kurang tepat sasaran. (Daeng M Faqih)
“Angka kematian merupakan indikator yang sangat esensial dalam pelayanan kesehatan. Jika indikator ini dihapus kita tidak bisa mengevaluasi upaya pengendalian pandemi secara komprehensif sehingga kebijakan kita dalam penanganan pandemi sangat dikhawatirkan tidak adekuat dan kurang tepat sasaran,” ucap Daeng.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan dalam konferensi pers, Senin (10/8) mengatakan, evaluasi PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) dlakukan dengan mengeluarkan indikator kematian dalam penilaian. Itu dilakukan karena ditemukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang sehingga menimbulkan distorsi dalam penilaian.
Dari evaluasi tersebut pun disampaikan, PPKM di Jawa dan Bali pun diperpanjang mulai 11 Agustus-16 Agustus 2021. Dalam penerapan pembatasan ini akan ada penyesuaian yang diuji coba, yakni pada sektor perbelanjaan atau mal serta industri esensial berbasis ekspor dan penunjangnya.
Pemerintah akan melakukan uji coba pembukaan pusat perbelanjaan atau mal secara gradual di wilayah level 4 dengan tetap memperhatikan implementasi protokol kesehatan. Uji coba pembukaan ini akan dilakukan di kota Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Semarang dengan kapasitas 25 persen.
Masyarakat yang boleh masuk ke mal harus sudah divaksinasi dan harus menggunakan aplikasi Peduli Lindungi. Selain itu, anak di bawah usia 12 tahun dan warga usia di atas 70 tahun masih tidak diperbolehkan masuk ke dalam pusat perbelanjaan atau mal.
Sementara untuk sektor esensial di beberapa kota dengan PPKM level 4 sudah bisa mempekerjakan 100 persen staf minimal dibagi dalam 2 shift. Kabupaten ataupun kota di wilayah level 4 juga dapat melakukan ibadah dengan kapasitas maksimum 25 persen atau maksimal 20 orang.