Deteksi Dini dan Tata Laksana yang Tepat Dapat Cegah Kebutaan Pasien Lepra
Komplikasi yang terjadi pada pasien lepra atau kusta bisa dicegah dengan deteksi dini yang baik. Dengan deteksi dini, tata laksana yang harus dilakukan selanjutnya juga lebih tepat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasien lepra rentan mengalami berbagai komplikasi, mulai dari kondisi disabilitas pada kaki dan tangan hingga kebutaan. Karena itu, pemeriksaan rutin penting dilakukan agar deteksi dini serta tata laksana yang tepat bisa dijalankan secara optimal.
Head of Trauma Center Subspesialis Divisi Plastik dan Rekonstruksi Mata JEC Eye Hospitals and Clinics Yunia Irawati, di Jakarta, Senin (9/8/2021), mengatakan, lagoftalmus merupakan komplikasi yang cukup banyak dialami oleh pasien lepra atau yang juga disebut kusta. Gangguan ini terjadi ketika kelopak mata pada pasien tidak mampu menutup secara sempurna.
”Lagoftalmus yang tidak segera ditangani menyebabkan kerusakan sel pada bagian konjungtiva (lapisan tipis pelindung area putih mata). Apabila permukaan konjungtiva terus-menerus terbuka, lapisan air mata menjadi tidak stabil sehingga memicu terjadinya mata kering. Kondisi ini bisa berlanjut hingga berdampak pada kebutaan,” tuturnya.
Pasien lepra perlu lebih waspada akan terjadinya lagoftalmus apabila saat terdiagnosis lepra berusia lebih dari 15 tahun. Selain itu, kewaspadaan juga perlu ditingkatkan pada pasien yang sudah lebih dari satu tahun mengalami lepra, berusia lanjut, dan mulai mengalami kelelahan secara fisik.
Menurut Yunia, semua kelainan mata pada lepra termasuk lagoftalmus memerlukan deteksi dini dan tata laksana yang tepat untuk mencegah terjadinya gangguan penglihatan, khususnya kebutaan. Karena itu, pasien lepra sebaiknya tetap melakukan pemeriksaan rutin, termasuk pemeriksaan kesehatan mata setidaknya setiap enam bulan sekali.
Apabila permukaan konjungtiva terus-menerus terbuka, lapisan air mata menjadi tidak stabil sehingga memicu terjadinya mata kering. Kondisi ini bisa berlanjut hingga berdampak pada kebutaan.
Ketika sudah telanjur mengalami gangguan, kondisi kesehatan tidak bisa dikembalikan seperti semula. Fungsi penglihatan bisa menurun. Oleh sebab itu, upaya pencegahan dan deteksi dini menjadi sangat penting.
Meski begitu, Yunia menuturkan, sejumlah upaya tetap harus dilakukan agar gangguan yang terjadi, seperti lagoftalmus, pada pasien lepra bisa diatasi. Umumnya, tata laksana lagoftalmus akan dilakukan dengan mempertimbangkan lamanya gangguan tersebut dialami, jarak lagoftalmus (terbukanya kelopak mata), serta ada atau tidaknya pajanan pada kornea.
Apabila gangguan terjadi lebih dari 6 bulan, jaraknya lebih dari 6 milimeter, dan ada pajanan pada kornea, tata laksana yang paling tepat adalah dengan melakukan operasi rekonstruksi kelopak. Biasanya teknik rekonstruksi yang dilakukan dengan teknik upper eyelid loading yang menggunakan beban emas 24 karat. Teknik ini disebut juga dengan implan beban emas.
Namun, melalui penelitian yang dilakukan Yulia untuk meraih gelar doktor dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK KMK) Universitas Gadjah Mada, teknik modifikasi tarsorafi ternyata terbukti memiliki efektivitas yang sama dengan metode implan beban emas dalam tata laksana lagoftalmus pada pasien lepra. Sidang terbuka promosi program doktor yang dijalani Yulia tersebut digelar secara daring pada 9 Agustus 2021. Yulia berhasil meraih gelar doktor UGM ke-5.252 dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,96.
”Teknik modifikasi tarsorafi terbukti sama efektifnya dengan metode gold weight implant yang paling sering digunakan untuk menangani lagoftalmus pada penderita lepra. Bahkan, dibandingkan metode tersebut, teknik ini juga teruji lebih efisien dari sisi komplikasi dan biaya operasi. Efisiensi biaya bisa tiga kali lipat lebih murah,” katanya.
Teknik modifikasi tarsorafi dilakukan dengan menggabungkan teknik tarsorafi lateral permanen dan levator recess, serta teknik kantopeksi/lateral tarsal strip (LTS) dan kantoplasti. Penelitian ini dilakukan mulai Oktober 2018-Mei 2020 pada 27 mata dari 19 subjek.
”Bagi penderita lepra yang sebagian besar berasal dari masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah dan pekerjaan yang tidak tetap, biaya untuk melakukan gold weight implant akan memberatkan. Diharapkan, modifikasi tarsorafi dapat menjadi alternatif tata laksana operatif lagoftalmus paralisis untuk masyarakat yang lebih luas,” papar Yulia.
Guru Besar FK KMK UGM Hadi Susilo Arifin, yang menjadi ketua promotor promosi doktoral Yulia, menuturkan, penanganan pada penyakit lepra harus dilakukan secara komprehensif. Itu mulai dari upaya preventif, kuratif, rehabilitatif, dan rekonstruktif.
Jumlah pasien lepra di Indonesia masih cukup tinggi. Secara global, Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara dengan penderita lepra terbanyak, setelah India dan Brasil. Pada 2019, jumlahnya mencapai 17.439 kasus, naik 2,48 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Selain dalam upaya pengendalian lepra, Hadi menuturkan, persoalan terkait stigma juga masih menjadi masalah yang dihadapi. Karena itu, upaya pendekatan dan sosialisasi kepada masyarakat harus lebih masif.
”Karena kusta merupakan penyakit kronis, stigma akan melekat lebih lama. Stigma yang melekat pada penderita kusta ini masih sangat buruk. Stigma ini pula yang menyebabkan diskriminasi,” ucapnya.