Jejak Kusta di Nusantara
Kusta sudah dikenal sejak Kerajaan Majapahit. Hari ini, berabad-abad kemudian, kusta masih ada di tengah kita. Bagaimana penanganannya sepanjang masa ini menjadi catatan sejarah yang penting dipelajari.
”... Hidup mereka akan tanpa mendapat kesehatan, mereka akan sakit kusta, tidak dapat melihat sempurna, sakit gila, cacat mental, buta, bungkuk. Maka semua orang yang tidak mematuhi akan dikutuk oleh Raja Patigundala yang suci.” Demikian penggalan Kitab Rajapatigundala.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, naskah ini dari era Majapahit yang salah satu bagiannya mengisahkan kutukan bagi orang-orang yang tidak taat pada hukum kala itu.
Disebutnya kusta dalam Kitab Rajapatigundala menggambarkan bahwa penyakit ini telah dikenal di Indonesia sejak berabad-abad silam. Artinya, penyakit kusta juga sudah diderita sebagian penduduk Jawa.
Kusta berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti kumpulan gejala kulit secara umum. Penyakit ini juga dikenal dengan sebutan lepra dari bahasa Inggris, leprosy. Tak hanya itu, kusta juga dikenal dengan sebutan penyakit hansen atau morbus hansen sesuai nama dokter ahli penemu kusta: Gerhard Armauer-Hansen.
Penyakit kusta diduga dari Asia atau Afrika Tengah. Penyakit ini kemudian menyebar melalui interaksi manusia dalam proses perdagangan, perang, hingga penjajahan antarbenua. Jejak penyakit kusta salah satunya ditemukan tahun 2000 Sebelum Masehi (SM) dalam sajak epos yang dituliskan oleh raja kota Uruk, Gilgamesh. Dalam sajak ini, Gilgamesh menceritakan tentang dirinya yang terkena penyakit kusta.
Disebutnya kusta dalam Kitab Rajapatigundala menggambarkan bahwa penyakit ini telah dikenal di Indonesia sejak berabad-abad silam.
Penyakit kusta juga ditemukan tahun 1350 SM pada era Mesir Kuno. Kala itu, penyakit kusta ditemukan dari kalangan budak dari Sudan. Temuan ini menggambarkan bahwa penyakit kusta bukanlah suatu penyakit baru, melainkan telah ada sejak ribuan tahun sebelumnya.
Di Indonesia, jejak penyakit kusta bahkan dicatat di dalam dua naskah kesusastraan. Selain Kitab Rajapatigundala, kusta juga disebut dalam Kitab Korawacrama. Naskah ini diperkirakan ditulis sekitar abad ke-14 Masehi.
Dalam Korawacrama, kusta disebut dua kali dengan maksud yang berbeda. Pertama adalah wudug, yakni penyakit kusta yang belum parah. Selain itu, juga dikenal istilah barah untuk menyebut penyakit kusta yang telah parah. Memasuki era pemerintahan Hindia Belanda, kusta masih merebak.
Leo van Bergen, ahli sejarah kesehatan dari Belanda, mencatat, penyakit ini telah diderita orang-orang di Pulau Jawa, Madura, dan beberapa daerah lainnya (Bergen, 2018). Pada 1867, misalnya, tercatat terdapat 145 penderita kusta di Pulau Jawa dan Madura yang dirawat tenaga medis. Jumlah ini bergerak fluktuatif dalam kurun waktu 10 tahun setelahnya. Pada tahun 1869, jumlah penderita kusta mencapai 181 orang dan turun menjadi 64 orang tahun 1876. Penyakit kusta juga diderita masyarakat di luar Pulau Jawa.
Pada tahun 1869 tercatat 86 penderita kusta pada daerah-daerah di luar Pulau Jawa yang dirawat. Jumlah ini turun menjadi 44 penderita pada 1876. Sama halnya dengan Pulau Jawa, jumlah penderita kusta yang dirawat di luar Pulau Jawa juga bergerak fluktuatif.
Memasuki periode kemerdekaan, penyakit kusta masih diderita sebagian masyarakat Indonesia. Pada tahun 1950-1960, Kementerian Kesehatan memperkirakan terdapat 0,1 persen penduduk di Indonesia yang terkena penyakit kusta.
Pada era Orde Baru, kusta juga masih menjadi suatu penyakit yang banyak diderita. Pada masa ini, jumlah penderita kusta dikatakan mencapai puncaknya, yakni mencapai ratusan ribu penderita. Jumlah penderita kusta pada era ini jauh lebih tinggi dibandingkan penderita pada 1954 yang sebesar 22.000 jiwa.
Penanggulangan
Sejarah panjang kusta juga diikuti upaya penanggulangan dengan cara yang berbeda sesuai zamannya. Sebelumnya, penanggulangan dilakukan dengan cara mengasingkan penderita kusta dari masyarakat umum. Upaya pengasingan ini salah satunya terekam pada abad ke-17. Hendrik E Niemeijer, ahli sejarah Indonesia dari Belanda, menuliskan, penyakit kusta mulai merebak pada medio abad ke-17.
Untuk menanggulanginya, panti kusta dibangun tahun 1666. Lokasinya di Angke Fort atau Benteng Angke yang merupakan wilayah pertahanan bagian barat Kota Batavia. Namun, panti kusta ini kemudian dipindahkan ke Pulau Purmerend di gugusan Kepulauan Seribu. Alasannya tak lain adalah kekhawatiran terhadap bahaya penularan kepada masyarakat umum. Kini, pulau tersebut dikenal sebagai Pulau Bidadari dan telah menjadi salah satu obyek wisata.
Baca Juga: Melihat Potret Kusta di Indonesia
Fakta tentang pengasingan penderita kusta membuktikan bahwa penyakit ini amat ditakuti kala itu. Kondisi ini mirip dengan penanggulangan kusta di kawasan Skandinavia. Berdasarkan pemeriksaan terhadap kerangka manusia yang ditemukan di Skandinavia, diketahui adanya jejak isolasi ketat bagi penderita kusta di kawasan ini sekitar abad pertengahan.
Upaya pengelompokan khusus bagi penderita kusta juga dilakukan pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Saat itu, dibentuk leproseri atau barak khusus untuk penderita penyakit kusta. Lokasi penampungan penderita kusta ini tersebar dari Pulau Sumatera, Jawa, hingga Maluku.
Upaya pemberantasan penyakit kusta mulai diupayakan oleh Jacob Bernadus Sitanala, ahli kusta pertama di Indonesia. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah melakukan penelitian di Bali dan Lombok pada awal tahun 1935. Hasilnya, diketahui 10 dari 1.000 penduduk di daerah tersebut menderita kusta.
Hingga 1937 telah terdapat 29 poliklinik kusta di sekitar Pulau Jawa. Penderita kusta dapat berobat di poliklinik ini. Namun, terbatasnya ahli kusta saat itu menyebabkan setiap dokter harus mengunjungi minimal tiga poliklinik sekaligus setiap harinya.
Memasuki periode kemerdekaan, penanggulangan kusta mulai dilakukan dengan lebih serius. Pada 1951, pemerintah melalui Departemen Kesehatan mendirikan rumah sakit khusus kusta di Tangerang yang merupakan pindahan dari rumah sakit kusta di Lenteng Agung. Kini, rumah sakit tersebut dikenal sebagai Rumah Sakit Umum Pusat Sitanala.
Pada dekade 1950-an, terdapat 52 fasilitas rumah sakit dan perkampungan kusta di Indonesia dengan kapasitas sebesar 5.000 tempat tidur. Jumlah penderita kusta yang ditampung kala itu mencapai 4.426 jiwa.
Saat itu, kendala yang dihadapi Indonesia adalah kekurangan tenaga medis. Indonesia hanya memiliki lima dokter ahli dan 72 juru rawat. Jika dibandingkan dengan penderita kusta pada 1954 yang mencapai 22.000 orang, satu dokter harus menangani hingga lebih dari 4.000 penderita.
Memasuki era Orde Baru, upaya penanggulangan kusta dilakukan hingga ke tingkat kabupaten/kota. Pada tahun 1979, terdapat enam rumah sakit kusta pada daerah tingkat II. Rumah sakit ini tersebar pada daerah di Indonesia timur, yakni Merauke, Gorontalo, Tana Toraja, Parepare, Luwu, dan Buton.
Berbagai upaya penanggulangan ini menunjukkan bahwa kusta merupakan penyakit yang selalu mendapatkan perhatian sejak beberapa abad silam.
Sementara pada daerah tingkat I terdapat 17 rumah sakit kusta yang tersebar di 17 daerah. Beberapa di antaranya RS Kusta Semarang di daerah Tugurejo, RS Kusta Pulau Sicanang di Medan, dan RS Kusta Balun di Denpasar.
Berbagai upaya penanggulangan ini menunjukkan bahwa kusta merupakan penyakit yang selalu mendapatkan perhatian sejak beberapa abad silam. Meski telah ditangani selama berabad-abad, penderita baru masih tetap ada pada setiap zamannya.
Sepanjang 2018 lalu, terdapat 17.017 penderita baru penyakit kusta di Indonesia. Tentu saja, catatan panjang sejarah kusta ini dapat menjadi cermin bagi Indonesia bahwa bagaimanapun kusta tetap ada sehingga perlu penanggulangan sekecil apa pun jumlah penderitanya. (DEDY AFRIANTO/Litbang Kompas)